Umsida.ac.id – Konsep belajar IPA yang mengintegrasikan beragam keilmuan dengan cara yang menyenangkan menjadi metode paling mumpuni untuk menarik minat para siswa dalam mengembangkan gaya belajar inovatif di masa kini.
Melalui kegiatan diseminasi perangkat dan instrumen pembelajaran IPA berbasis etno-STEM, Dr Septi Budi Sartika MPd, Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) beserta timnya kenalkan perangkat tersebut di SMP Muhammadiyah 10 Sidoarjo. Sekolah ini menjadi salah satu sekolah mitra rujukan dari 10 sekolah Muhammadiyah yang ada di Sidoarjo.
Layak mendapat apresiasi, inovasi perangkat dan instrumen pembelajaran IPA berbasis etno-STEM tersebut telah berhasil terdaftar di Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Menurut Septi, pembelajaran berbasis etno-STEM merupakan pembelajaran yang mencoba memahami konsep IPA melalui model kearifan lokal khususnya Sidoarjo yang diintegrasikan dengan teknologi, engineering, dan matematika. “Kearifan lokal merupakan hal yang penting dan perlu dilestarikan, sehingga tidak ada lagi klaim oleh negara lain lagi, seperti kasus seni reog ponorogo,” tuturnya kepada Umsida.ac.id, Jumat (15/4).
Kegiatan diseminasi yang dilakukan selama 3 bulan (Januari-Maret) ini menjadi upaya untuk perbaikan perangkat dan instrumen sekaligus melakukan uji coba secara luas di sekolah mitra. Ada 3 hal yang menjadi indikasi keberhasilan pengaplikasian pembelajaran IPA berbasis etno-STEM yaitu 1) siswa merasa lebih mengenal kearifan lokal Sidoarjo, 2) belajar IPA dengan kearifan lokal merupakan hal baru bagi siswa, dan 3) siswa mampu memahami konsep IPA.
“Hasil respon siswa menyatakan bahwa siswa cukup antusias dalam mempelajari IPA yang sekaligus mereka juga mengenal lebih dalam kearifan lokal Sidoarjo,” paparnya.
Setelah dilakukan kegiatan diseminasi di sekolah mitra, dosen yang akrab disapa Septi itu mengemukakan ada beberapa catatan yang perlu direvisi kembali dalam menerapkan perangkat dan instrumen pembelajaran IPA berbasis etno-STEM. Beberapa diantaranya 1) siswa kesulitan dalam memahami materi IPA yang dikaitkan dengan kearifan lokal misalnya sistem pernapasan manusia yang ada di daerah tambak, industri atau pabrik, serta sawah yang memiliki perbedaan, 2) siswa kesulitan dalam membuat produk, misalnya seperti model struktur hewan atau tumbuhan khas Sidoarjo, dan 3) siswa kesulitan dalam menjawab soal, karena soal berupa pengetahuan tentang kearifan lokal Sidoarjo dengan konteks IPA.
Oleh karenanya, lanjut Septi, perlu ada revisi atau perbaikan perangkat untuk meminimalisir kendala yang nantinya dihadapi oleh guru pengampu mata pelajaran IPA itu sendiri. “Hal ini perlu dikaji kembali dan dilakukan proses pemahaman atau penyamaan persepsi kepada guru tentang kemungkinan yang terjadi selama kegiatan diseminasi. Sehingga kendala-kendala yang dihadapi akan dapat dicari solusinya dan tidak mempengaruhi proses implementasi,” imbuhnya. (Shinta Amalia/ Etik)
*Humas Umsida