Umsida.ac.id – Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) menegaskan tidak akan memberikan gelar guru besar kehormatan (honoris causa). Hal tersebut sejalan dengan arahan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.
Lihat juga: Pengukuhan 3 Guru Besar Umsida, Perkuat Visi Perguruan Tinggi Unggul
Rektor Umsida, Dr Hidayatulloh MSi, menjelaskan bahwa keputusan PP Muhammadiyah tersebut tepat, karena gelar akademik tertinggi, yakni profesor, tidak bisa diberikan secara sembarangan.
“Memang kalau menyangkut gelar akademik tertinggi (profesor) itu memang tidak bisa sembarang perguruan tinggi memberikan. Walaupun itu ada embel-embel honoris causa tapi ini mempertaruhkan reputasi kampus,” ujar Wakil Ketua PWM Jatim itu.
Jadi Profesor Butuh Proses Panjang
Untuk mencapai gelar akademik tersebut, tambahnya, terdapat beberapa tahap yang cukup panjang yang harus dilewati seorang dosen, mulai dari jabatan fungsional paling rendah yakni asisten ahli, lektor, lektor kepala, lalu guru besar.
“Jadi tidak mungkin kita memberikan gelar akademik profesor bagi orang yang tidak melewati pencapaian jabatan akademik mulai dari bawah tersebut,” ujarnya.
Seorang dosen yang menjadi guru besar, kata Dr Hidayatulloh, juga harus memiliki berbagai riset, publikasi, dan pengabdian masyarakat. Itu merupakan proses kemampuan akademik bagi dosen yang sudah teruji.
Jika tiba-tiba ada perguruan tinggi yang memberikan gelar akademik tertinggi tanpa melewati proses tersebut, menurutnya akan menimbulkan banyak pertanyaan.
“Sesuai dengan instruksi Ketum PP Muhammadiyah khususnya kepada seluruh PTMA, jangan latah dengan memberikan gelar kehormatan,” pesannya.
Perbedaan Pemberian Gelar Doktor Honoris Causa
Namun hal tersebut berbeda dengan pemberian gelar doktor honoris causa. Gelar ini merupakan apresiasi bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di suatu bidang.
Orang yang memiliki keahlian, banyak manfaat yang diterima masyarakat, dan bisa mempertanggung jawabkan, maka ia layak diberi gelar doktor honoris causa.
“Bisa jadi Umsida memberikan gelar doktor honoris causa kepada seseorang yang memiliki keahlian. Misal ada ilmuwan yang sudah menuntaskan S2 dan memiliki karya namun tidak melanjutkan studi doktor, maka bisa saja kami memberikan gelar tersebut selagi inovasi itu sejalan dengan prodi yang kita miliki,” ujarnya.
Menurutnya, cara mengenalkan suatu kampus kepada khalayak tak harus dengan memberikan gelar profesor kehormatan kepada seseorang, apalagi orang yang berpengaruh.
“Bagi orang yang tidak memahami dunia perguruan tinggi, akan menganggap pemberian itu bisa mengangkat nama kampus. Namun bagi orang yang mengerti, hal tersebut bisa kontradiktif dan menganggap kampus tidak menjaga marwah akademik,” kata dosen pasca sarjana Umsida itu.
Karena menurutnya, urusan akademik tidak bisa dijual belikan untuk kepentingan tertentu.
Strategi Menjaga Integritas Akademik
Dr Hidayatullah mengatakan bahwa setiap kampus memiliki cara tersendiri untuk menjalankan pendidikan tinggi berdasarkan statuta yang menjadi kebijakan utama perguruan tinggi.
Lalu, perguruan tinggi juga harus memiliki integritas. Selama mereka menjaga integritasnya, maka tidak mungkin mengorbankan kewibawaan perguruan tinggi.
Lebih lanjut, Dr Hidayatulloh memaparkan beberapa strategi yang diterapkan Umsida untuk menjaga integritas akademik.
Yang pertama, pimpinan perguruan tinggi harus memberi contoh kepada semua pihak yang ada di dalamnya. Namun, jika ia sendiri tidak menjaga integritas diri dan lembaga maka hal lain juga akan mengikutinya.
Selanjutnya, di perguruan tinggi terdapat ketentuan yang mengatur tentang mekanisme kerja akademik dan non akademik yang menjadi rambu-rambu sekaligus arah dalam menjalankan fungsi dan tugas utamanya.
“Yang ketiga, jika ada salah satu anggota di dalam perguruan tinggi tersebut yang melanggar kode etik, maka ia dipastikan akan ditindak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal tersebut menyangkut dengan kewibawaan akademik dan reputasi lembaga,” terangnya.
Keempat, pimpinan perguruan tinggi harus benar-benar bisa memfasilitasi dosen untuk mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi, termasuk pengurusan jabatan fungsional.
“PTMA sudah memiliki sistem yang tertata. Pernyataan dari Ketum PP Muhammadiyah tentang hal ini akan diterjemahkan oleh majelis Dikti Litbang PP Muhammadiyah,” katanya.
Selanjutnya, majelis Dikti Litbang melakukan koordinasi, konsolidasi, penguatan, dan pembinaan kepada seluruh PTMA mewujudkan kebijakan bahwa PTMA tidak akan memberikan gelar profesor honoris causa.
Setiap tahun Majelis Dikti Litbang menggelar Rakenas bersama seluruh pimpinan PTMA. Mereka juga melakukan pembinaan kepada masing-masing bidang, seperti bidang keuangan, akademik, SDM, riset, dan lain-lain.
Selain itu terdapat pula tim yang dibentuk majelis Dikti Litbang untuk memberikan pendampingan secara langsung ke kampus-kampus.
Lihat juga: 3 Guru Besar Umsida Diingatkan Jalankan Misi Profetik Muhammadiyah
“Dengan begitu, sejak awal, PP Muhammadiyah bisa memantau jalannya akademik di seluruh PTMA terkait kebijakan yang dibuat,” pungkasnya.
Penulis: Romadhona S.