Umsida.ac.id – Bencana banjir yang melanda Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatera Utara beberapa waktu lalu kembali mengingatkan pentingnya pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
Lihat juga: Banyak Kayu Gelondongan Terseret Banjir, Pakar Umsida: Perusahaan Harus Seimbangkan Ekonomi dan Ekologi
Air bah yang datang secara tiba-tiba bukan hanya merendam pemukiman warga, tetapi juga mengungkap kompleksitas penyebab di baliknya.
Menanggapi hal tersebut, Hendri Hermawan ST MT, dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), memberikan pandangan tentang cara melihat persoalan ini secara lebih ilmiah dan sistematis.
Menurutnya, penanganan banjir seharusnya dilakukan melalui Root Cause Analysis (RCA) atau analisis akar penyebab yang sistematis agar solusi yang diambil tidak bersifat sementara.
“Pendekatan RCA ini berlapis. Kita harus melihat pemicu langsung, faktor penyumbang, dan penyebab mendasar yang saling terkait,” jelas Hendri.
Curah Hujan Tinggi Sebagai Pemicu Utama Banjir
Secara teori, Hendri menjelaskan bahwa banjir sering kali dipicu oleh curah hujan dengan intensitas sangat tinggi.
Kondisi tersebut menciptakan efek “dinding air”, yaitu ketika air turun dalam volume besar dan waktu singkat hingga membuat drainase alami maupun buatan tidak mampu menampungnya.
“Kondisi ini memunculkan apa yang kita sebut flash flood atau banjir bandang. Air datang mendadak dan mengejutkan penduduk sekitar,” tuturnya.
Namun, menurutnya, fenomena ini tidak bisa dilihat sebagai peristiwa tunggal.
Curah hujan hanyalah pemicu awal yang diperparah oleh faktor geografis dan perilaku manusia terhadap alam.
“Kita tidak bisa hanya menyalahkan hujan. Dampaknya akan berbeda jika kondisi lingkungan kita lebih siap menampung air,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa perubahan iklim global juga memperburuk pola cuaca ekstrem yang kini makin sering terjadi.
Oleh sebab itu, setiap daerah perlu memiliki sistem peringatan dini dan manajemen tata air yang adaptif terhadap perubahan tersebut.
“Secara geografis, daratan Sumatera memiliki kandungan serasah karbon lebih tinggi dibandingkan dengan unsur hara/nutrien seperti fosfor, kalium, dan magnesium yang bertipikal membuat limpasan air terjadi lebih cepat daripada penyerapan,” kata Hendri.
Medan ini, dikombinasikan dengan tanah yang kering karena kekeringan sebelum peristiwa, mengurangi infiltrasi dan menyalurkan air dengan cepat ke sungai.
Kondisi ini membuat air hujan cenderung cepat mengalir di permukaan tanah ketimbang meresap ke dalamnya.
Perubahan Lahan dan Infrastruktur Menambah Risiko

Faktor manusia dan infrastruktur juga tidak kalah besar.
Ekspansi perkotaan yang masif membentuk suatu lapisan kedap air seperti jalan, trotoar, dan bangunan.
“Permukaan kedap air itu menghambat infiltrasi. Akibatnya, drainase alami hilang, dan air hujan menumpuk di permukaan,” katanya.
Hendri juga menyoroti deforestasi yang terjadi di banyak wilayah Sumatera.
Berdasarkan data akademik, konversi hutan menjadi lahan non-hutan di kawasan Danau Toba mencapai sekitar 4.288 hektare dari rentang tahun 2009 hingga 2018.
“Ketika hutan hilang, penyangga air alami ikut hilang. Vegetasi yang seharusnya menyerap air dan menahan erosi tidak lagi berfungsi optimal,” ujar dosen lulusan S2 ITS itu..
Ia menilai kondisi tersebut memperbesar risiko banjir, longsor, serta degradasi tanah yang berkepanjangan.
Keseimbangan Alam Harus Dijaga Bersama

Lebih dalam, Hendri menjelaskan bahwa banjir harus dipahami sebagai bagian dari sistem sebab-akibat alamiah.
Ia menyinggung prinsip Hukum Termodinamika, bahwa energi tidak dapat diciptakan maupun dimusnahkan, hanya berubah bentuk.
Prinsip ini menggambarkan bahwa setiap aktivitas manusia akan menghasilkan dampak terhadap lingkungan.
Penegasan kalimat tersebut dipastikan kembali oleh Hukum Kedua Termodinamika, yaitu sistematika alamiah selalu meningkatkan nilai entropi (ketidakteraturan).
“Banjir bukan hanya kejadian alam, tapi reaksi dari ketidakseimbangan yang kita ciptakan. Semakin besar gangguan yang kita lakukan terhadap sistem alam, semakin tinggi pula potensi bencana yang muncul,” jelasnya.
Dari beberapa perspektif diatas, ia mendorong agar kebijakan pemerintah dan praktik pembangunan diarahkan pada keseimbangan antara ekonomi dan ekologi.
Regulasi yang tegas, keadilan bagi masyarakat, dan keadilan bagi alam harus menjadi satu kesatuan dalam perencanaan nasional.
“Meskipun beberapa pandangan skeptis selalu bermunculan, akan lebih baik jika optimisme di masa mendatang lebih dimunculkan bersama-sama dalam memperkuat urgensi mitigasi seperti pengurangan emisi, dan pengendalian deforestasi untuk menjaga keseimbangan sistem bumi,” jelasnya.
Hendri berharap analisis ilmiah seperti ini bisa menjadi acuan dalam membuat kebijakan yang tidak hanya menyelesaikan masalah sesaat, tetapi juga menjaga keberlanjutan ekosistem di masa depan.
Lihat juga: Masyarakat Dihadapkan dengan Bencana Hidrometeorologi, Banjir Jadi Salah Satunya
“Kalau kita memahami akar masalahnya dengan benar, maka solusi yang diambil juga akan lebih tepat sasaran,” pungkasnya.
Penulis: Romadhona S.



















