Umsida.ac.id – Fenomena korup terus bermunculan di Indonesia, yakni fenomena kebobrokan pada semua lini kehidupan. Tidak hanya pada aspek material, bahkan etika.
Banyak fenomena degradasi atau keroposnya moral dan etika yang melanda Indonesia. Hampir di semua aspek kehidupan. Ya, fenomena di mana aparat penegak hukum seperti polisi atau hakim terlibat dalam kejahatan atau bertindak tidak adil tidaklah jarang terjadi. Beberapa contoh fenomena serupa melibatkan penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, atau pelanggaran hak asasi manusia.
Lihat juga: Ulama dan Pemimpin Bisa Jadi Penyebab Rusaknya Negeri
Jika kita rincikan, ada banyak kejadiannya. Korupsi di kalangan Polisi, Pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh penegak hukum, hakim yang terlibat dalam korupsi atau tindakan tidak adil, manipulasi bukti atau pemalsuan kasus, penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat penegak hukum, keterlibatan hakim atau pengacara dalam kegiatan kriminal.
Dalam ranah sosial dan politik, juga terdapat berbagai fenomena yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan, ketidakadilan, dan tindakan tidak etis. Korupsi tersebut diantaranya:
- Pelanggaran HAM
- Manipulasi politik dan pemilihan yang tidak adil
- Polarisasi sosial dan politik
- Ketidaksetaraan sosial dan ekonomi
- Kekerasan politik dan konflik
- Propaganda dan penyebaran disinformasi
- Haus kekuasaan seorang presiden di era demokrasi yang menghalalkan segala cara untuk menjadikan anaknya menjadi penguasa.
Namun apa yang dilihat tersebut hanyalah a tip of iceberg. Ia hanyalah ujung dari sebuah puncak gunung es yang nampak di permukaan laut. Padahal hal yang serupa itu yang lebih besar dan dahsyat tidak nampak di permukaan.
Iceberg itu seperti digambarkan tentang bagaimana adanya mafia di kepolisian, mafia di pengadilan; oligarki kekuasaan jahat yang selama ini diungkapkan para pakar di media sebagai musuh bersama yang tengah mengelilingi, untuk menghindari kata menguasai, the big boss.
Apakah ini hal yang wajar? Bagaimana kemudian menjelaskan hal ini? Sebuah tatanan sosial yang rusak, korup.
Korupsi hancurkan peradaban manusia
Mengingat deskripsi yang disampaikan oleh Robert Payne dalam bukunya The Corrupt Society: From Ancient Greece to Present-day America yang terbit 1 November, 1975. Buku kesekian Payne ini dimaksudkan sebagai anatomi korupsi sosial dari Zaman Periclean hingga pemerintahan Nixon.
Dalam masyarakat yang korup, Payne memulai dengan ilustrasi deskriptif yang seram, pada bagian awal bukunya, tentang “kerusakan” atau pembusukan tubuh manusia setelah kematian. Pembusukan ini mejalar perlahan-lahan ke seluruh tubuh.
Ini menjadi metafora tentang tubuh politik untuk menjelaskan proses disintegrasi sosial. Ada daftar panjang dari “gejala” pembusukan sosial, Tindakan kerusakan/korup oleh anggota masyarakat akan membawa pembusukan yang menular ke seluruh organ tubuh.
Lihat juga: MK Perbolehkan Parpol Kampanye di Tempat Pendidikan, Pakar Hukum Umsida Beri Tanggapan
Kita postulatkan yang dialami masyarakat yang korup itu itu berawal dari bandar narkoba. Bandar narkoba menularkan pembusukan dengan penyebaran narkoba. Dan pembusukan itu pun telah menjalar dalam kepolisian kita. Dan kini telah nampak pertama kali ada serombongan polisi ditangkap karena terlibat narkoba dan “pesta” narkoba itu dipimpin seorang Kapolsek. Ke-12 polisi yang menggunakan narkoba itu seperti gerombolan mafia narkoba yang sedang beraksi, yang dipimpin bosnya, seorang kapolsek. Bagaimana pun kasus yang sangat memalukan ini merupakan deskripsi telak tentang pembusukan tersebut.
Sulitnya menemukan kebenaran
Proses pembusukan itu dimulai ketika bandar narkoba dan para polisi bejat itu berusaha untuk mengaburkan makna kebenaran, sehingga antara kebenaran dan kepalsuan tidak bisa lagi dibedakan, benar dan salah menjadi pudar batas-batasnya. Seperti dijelaskan oleh Jean Baudrillard dalam Simulacra dan Simulation (1981). Baudrillard menggambarkan tentang realitas hiper yakni ketika polisi yang telah sekaligus menjadi penjahat; hakim yang juga sekaligus melanggar hukum, dst.ketika kebenaran tidak bisa lagi dipegang nilainya. Kondisi ini dijelaskan sebagai simulacrum.
Pemujaan yang menunjukkan betapa irasionalnya perilaku konsumtif orang-orang yang rela melepas nilai yang diyakininya hanya untuk memuaskan nafsu, insting, dorongan dan impuls. Kolektivitas yang muncul adalah semu. Segerombolan orang riang gembira menikmati kebersamaan mereka. Kemudian kembali terpecah menjadi individu-individu yang menjemukan dengan rutinitas yang itu-itu saja. Ini adalah sebuah simulakrum
Kehancuran dimulai dari rusaknya moral
Dalam bukunya yang berjudul Collapse: How Societies Choose to Fail or Survive, Prof. Jared Diamond menggambarkan kolapsnya berbagai peradaban dunia, mulai dari peradaban kuno di Montana, Kepulauan Pitcairn dan Henderson, Anasazi, Maya, Viking, Norse Greenland, hingga peradaban modern di Rwanda, Dominika, Haiti, China, dan Australia.
Buku yang ditulis tahun 2004 itu menjelaskan faktor penghancur peradaban itu sangat beragam dan mungkin kompleks. Satu sama lain saling berkaitan. Dan, masyarakat memilih sendiri kehancurannya atau keselamatannya. Bisa jadi apa yang terjadi dalam perpolitikan Indonesia saat ini merupakan indikasi bahwa kita memilih kehancuran kita sendiri.
Lihat juga: Tanggapi Judi Online, Pakar Hukum Umsida: Aparat Bisa Bekerjasama dengan Google
Bagi Diamond, sosok penulis yang bukunya Guns Germs and Steel merupakan favorit Bill Gates ini mengungkapkan persoalan mendasar yang dihadapi oleh masyarakat global saat ini adalah kendali diri Perilaku. Kendali diri perilaku yang bermuara pada akhlak ini berkontribusi besar pada keruntuhan peradaban.
Hal senada disampaikan oleh pakar sejarah peradaban dunia Prof. Arnold J. Toynbee (lahir 1889- wafat 1975)yang menyimpulkan, bahwa banyak peradaban yang hancur (mati) karena “bunuh diri” dan bukan karena benturan dengan kekuatan luar. Toynbee tidak menekankan pada wacana clash of civilizations seperti yang digagas oleh Samuel Huntington yang menggambarkan kehancuran peradaban lain karena benturan, tetapi lebih menekankan pada aspek “peran dinamis agama dan spiritualitas dalam kelahiran dan kehancuran suatu peradaban.”
Dalam studinya yang mendalam dan panjang tentang kebangkitan dan kehancuran peradaban, Toynbee menemukan, bahwa agama dan spiritualitas memainkan peran yang luar biasa dalam jatuh dan bangunnya sebuah peradaban. Karena itu aspek spiritual memainkan peran sentral dalam mempertahankan eksistensi suatu peradaban. Peradaban yang telah hilang inti spiritualitasnya, maka ia akan mengalami penurunan bahkan kehancuran.
Kesimpulan Diamond dan Toynbee di atas jauh-jauh waktu telah tercermin dalam buku berjudul “Muqadimah” yang ditulis Filsuf dan ilmuwan Ibnu Khaldun (lahir1332 – wafat1406). Khaldun menegaskan bahwa jika Tuhan berkehendak menghancurkan peradaban, mereka akan diuji dengan seberapa jauh konsistensi dan komitmen memegang nilai dan moralitas di saat kemaksiatan merebak dimana-mana.
Ibn Khaldun mengidentifikasi tanda-tanda negara yang mendekati kehancuran. Diantaranya adalah kekurangan lapangan pekerjaan. Ibn Khaldun mengatakan: “Ketahuilah bahwa apabila kerja sudah tidak ada lagi, atau telah kurang, maka itu berarti Allah telah mengizinkan agar laba dihilangkan”.
Dengan demikian keadaan suatu negara yang sudah mencapai usia senja itu ditandai dengan terjadinya krisis ekonomi. Berbagai faktor lain yang dapat menyebabkan percepatan kehancuran suatu negara adalah berhubungan dengan moralitas. Akhlak, budi pekerti dan kesusilaan yang terdapat dalam masyarakat makin lama makin menurun, sehingga menciptakan suatu bentuk kebobrokan moral.
Penulis: Kumara Adji