Umsida.ac.id – Dalam perjalanan (Isra’ dan Mi’raj) Rasulullah SAW, diceritakan bahwa beliau di mi’rajkan (diangkat) menghadap Allah, dengan proses melalui melewati langit pertama sampai ke tujuh dan melakukan perjalanan antar ruang dan waktu.
Lihat juga: Isra’ Mi’raj, Memaknai Salat Sebagai Penyucian Jiwa dari yang Selain Allah SWT
Yang dimaksud dengan tujuh langit pada sebagian orang, diduga buka langit fisik yang berupa benda-benda langit. Mereka menganggap sebagai langit non fisik.
Anggapan demikian muncul karena dalam kisah itu tercampur antara fenomena fisik di satu sisi dan beragam fenomena non-fisik ada sisi lain.
Fenomena fisik misalnya, perjalanan dari Mekah ke Palestina, melihat kafilah dalam perjalanan yang menjadi bukti perjalanan Rasulullah, dan beliau meminum susu ketika ditawari dua bejana minuman.
Tetapi disamping kisah-kisah tersebut, banyak juga fenomena non-fisik yang dialami oleh Rasulullah, misalnya perjalanan beliau bersama malaikat Jibril, pertemuan dengan para Nabi, dan melihat Sidratul Muntaha (QS.53:13-15).
Perjalanan Antar Dimensi
Perjalanan Rasulullah dalam kisah Isra’ Mi’raj ini lebih tepat dimaknai sebagai perjalanan antar dimensi. Hal ini karena fenomena fisik yang berada dalam bingkai ruang dan waktu, dan fenomena non-fisik di luar dimensi ruang dan waktu.
Rasulullah dalam perjalanan diajak oleh oleh Jibril keluar dari dimensi ruang dan waktu menuju dimensi yang lebih tinggi.
Dimensi adalah suatu kerangka acuan yang menggambarkan alam ini. Dimensi satu berupa garis, dengan gerak maju mundur saja.
Dimensi dua berupa bidang dengan gerak yang lebih bebas: maju mundur, ke kiri atau ke kanan.
Dimensi tiga lebih bebas lagi, selain gerak bidang datar, bisa ke atas atau ke bawah.
Dimensi empat geraknya bukan hanya ruang, tetapi juga gerak waktu. Kita hidup di dimensi empat, yaitu dimensi ruang dan waktu.
Karena kita selalu mengukur berdasarkan ukuran seperti besar, kecil, jauh, dekat dan waktu seperti: masa lalu, sekarang, masa depan, lama dan sebentar.
Untuk memahami perjalanan antar waktu, kita ibaratkan ada alam dua dimensi berbentuk bidang “Ս” besar. Sebut saja makhluk di alam tersebut berupa semut. Semut untuk berpindah dari ujung “Ս” yang satu ke ujung lain harus menempuh jarak yang jauh.
Kita hidup di ruang tiga dimensi dengan mudahnya mengangkat semut tersebut dari satu ujung ke ujung lainnya. Mengajak semut tersebut keluar dari dimensi dua menuju dimensi tiga. Jaraknya jelas lebih pendek.
Demikianlah analogi sederhana perjalanan antar dimensi. Mekanismenya di luar kemampuan sains, tetapi Allah telah memperjalankan hamba-Nya, Rasulullah bersama Jibril yang memang berada di luar dimensi yang lebih tinggi dari dimensi ruang dan waktu.
Logika sains seperti ini hanya untuk menunjukkan bahwa Isra’ Mi’raj bukan hal yang mustahil memperjalankan Rasulullah dengan jasadnya, dan bukan hanya sekedar ruh.
Bersama Jibril, Rasulullah keluar dari dimensi ruang dan waktu yang membatasi pola pikir manusia pada jarak dan waktu. Sedangkan waktu dalam dimensi ruang tidak mungkin berjalan mundur.
Dengan keluar dari dimensi ruang dan waktu, Rasulullah tidak lagi terikat oleh jarak dan waktu. Dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dapat dilakukan sekejap, sementara Rasulullah masih bisa mengamati kafilah dalam perjalannya dan tetap bisa merasakan fenomena fisik dimensi ruang dan waktu, seperti minum susu yang ditawarkan Jibril.
Rasulullah pun juga dapat berdialog dengan para Nabi karena tidak ada lagi batasan waktu. Rasulullah juga mendapat gambaran surga dan neraka yang juga bukan fenomena ruang-waktu kita, sehingga tidak mungkin dijelaskan secara tepat di mana dan kapan terjadinya.
Langit ke Tujuh Bukan Langit Fisik
Langit pada kisah Isra’ bukan merupakan langit fisik seperti “Tujuh Langit” dalam ungkapan al-Qur’an (QS.2:29).
Sementara itu, ayat pertama pada QS.17:17 dan QS. 53: 13-18, menceritakan sekilas tentang Isra’ dan Mi’raj dengan tidak menyebutkan tujuh langit.
Sebutan langit pertama sampai langit ke tujuh pada kisah Isra’ Mi’raj hanya ada dalam hadits. Informasi Rasulullah ini menggambarkan perjalanan yang tidak lazim menurut kebiasaan manusia, tetapi diyakini benar terjadi.
Dimensi ruang dan waktu tidak lagi membatasi perjalanan beliau.
Setelah Isra’ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, Rasulullah Mi’raj ke langit. Di langit pertama sampai langit ke tujuh, Rasulullah bertemu dengan para Nabi.
Di langit pertama bertemu Nabi Adam. Di langit kedua bertemu dengan Nabi Isa dan Nabi Yahya. Di langit ketiga bertemu dengan Nabi Yusuf. Nabi Idris dijumpai di langit keempat.
Lalu Nabi Muhammad bertemu dengan Nabi Harun di langit ke lima, Nabi Musa di langit ke enam, dan Nabi Ibrahim di langit ke tujuh.
Jelas pertemuan dengan para Nabi tersebut bukan di planet-planet tertentu di langit, karena para Nabi yang telah wafat tidak ada di planet-planet tertentu.
Sidratul Muntahā pun bukan suatu tempat dan saat yang keberadaannya dalam dimensi ruang dan waktu.
Keyakinan adanya dimensi lain di alam juga didasari pada keyakinan adanya jin dan malaikat yang berada di luar dimensi ruang dan waktu.
Dua jenis makhluk Allah itu tidak dibatasi ruang yang sehingga dengan mudahnya pergi ke manapun dan tidak dibatasi waktu sehingga tidak ada kematian bagi mereka, kecuali dengan ketentuan Allah.
Kalau mengikuti analogi makhluk di dimensi dua tersebut di atas, kita yang hidup di dimensi ruang dimensi tiga bisa melihat tingkah laku makhluk berupa semut tersebut, tetapi makhluk itu tidak mengetahui keberadaan kita karena di luar dimensinya.
Demikian juga halnya manusia tidak mengetahui keberadaan jin dan malaikat, walau kita tahu mereka berada di alam (dimensi) mereka dan mampu mengetahui gerak-gerik kita.
Isra’ Mi’raj Tak Berhubungan dengan Teori Relativitas
Kisah Isra’ Mi’raj tidak dapat dianalisis dengan teori relativitas dengan anggapan Rasulullah berjalan dengan kecepatan cahaya bersama buraq.
Bila kita gunakan teori relativitas, fenomena yang terjadi justru kebalikannya. Menurut teori relativitas, pada kerangka yang bergerak dengan mendekati kecepatan cahaya, waktunya yang tercatat di jam menjadi lebih lambat.
Artinya orang yang berjalan mendekati kecepatan cahaya akan merasa lebih muda dan waktu yang dialaminya lebih singkat dibandingkan dengan orang yang ditinggalkannya.
Oleh karenanya kita mengenal dengan istilah “paradok anak kembar” pada teori relativitas. Saudara kembar yang merantau dengan kecepatan mendekati cahaya akan mendapati saudaranya yang ditinggalkan lebih tua dari dirinya menurut rekaman waktu yang dibawanya.
Yang dialami Rasulullah, justru kebalikannya. Rasulullah mengalami perjalanan waktu yang sangat panjang sehingga bertemu dengan para Nabi dan berbagai kejadian/peristiwa lainnya, sedangkan para sahabat yang ditinggalkannya hanya merasakan waktu satu malam.
Logika sains untuk menggambarkan perjalanan Rasulullah sebagai perjalanan antar dimensi hanyalah upaya untuk menjelaskan bahwa Isra’ Mi’raj benar adanya dan dilakukan dengan fisik, bukan sekedar mimpi atau perjalanan ruh Rasulullah.
Perjalanan antar dimensi oleh manusia biasa mungkin belum dimungkinkan secara eksperimen, tetapi konsep dimensi fisik yang lebih dari sekedar dimensi ruang dan waktu dikenal dalam sains.
Lihat juga: Dosen Umsida Jelaskan Sejarah Singkat Bulan Rajab dan Amalan yang Dianjurkan
Sains dapat membantu memperkuat akidah kita, tanpa harus mereka-reka dalam cerita pseudosains saja. Subhanaka la ‘ilma lana illa maa ‘alamtana (shd).
Sumber Rujukan:
- Kementerian Agama RI, Penciptaan Jagat raya dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains, 2012
- Tim Baitul Kilmah, Ensiklopedia Pengetahuan al-Qur’an dan Hadits, Jakarta: kamil Pustaka, 2013
- Agus Purwanto, D.Sc, Nalar Ayat-ayat Semester, Bandung: Mizan, 2012
Penulis: Rahmad Salahuddin