Umsida.ac.id – Pakar pertanian Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Intan Rohma Nurmalasari SP MTP, berpendapat bahwa kasus beras oplosan bisa disebabkan oleh banyak hal, termasuk dari sektor pertanian yang menentukan kualitas beras.
Lihat juga: Kasus Beras Oplosan Jadi Ancaman Serius, Dosen Umsida Soroti Pengawasan Pangan yang Lemah
“Menurut saya, mutu beras yang dihasilkan petani sangat dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu kondisi lahan, varietas padi yang digunakan, dan praktik budidaya yang diterapkan,” ujarnya.
Ketiganya saling berkaitan erat dan menentukan kualitas akhir dari beras yang sampai ke tangan konsumen.
Penyebab Kasus Beras Oplosan dalam Sektor Pertanian

Pertama, kondisi lahan berperan penting dalam menentukan produktivitas dan kualitas gabah.
“Lahan yang subur, memiliki kandungan unsur hara yang seimbang, serta sistem irigasi yang baik akan mendukung pertumbuhan tanaman padi secara optimal,” tutur Intan.
Sebaliknya, katanya, lahan yang miskin unsur hara, terlalu asam, atau mengalami kekeringan atau genangan berlebih dapat menyebabkan bulir padi tidak terisi sempurna, mudah pecah saat digiling, hingga mengurangi nilai gizi beras.
Kedua, menurut ketua Pusat Studi Pusat Studi SDGs Umsida itu, pemilihan varietas padi menjadi penentu utama karakteristik beras, seperti aroma, tekstur, warna, dan ketahanan terhadap hama dan penyakit.
Varietas unggul seperti Inpari, Ciherang, atau Pandan Wangi memiliki mutu fisik dan rasa yang lebih baik dibanding varietas lokal yang belum diseleksi.
Namun, kata Intan, pemilihan varietas juga harus disesuaikan dengan kondisi agroekologi setempat agar hasil maksimal bisa diperoleh.
Ketiga, praktik budidaya yang tepat, seperti penggunaan benih bermutu, pemupukan berimbang, pengendalian hama terpadu, serta panen dan pascapanen yang tepat waktu—akan sangat memengaruhi mutu gabah dan hasil akhir beras.
Ia mengatakan bahwa kesalahan dalam budidaya seperti panen yang terlalu awal atau keterlambatan pengeringan, dapat menyebabkan kadar air tinggi dan menurunkan kualitas beras, termasuk menyebabkan mudah rusak saat penyimpanan”
“Dengan demikian, peningkatan mutu beras tidak bisa hanya bergantung pada satu aspek saja. Diperlukan pendekatan menyeluruh agar petani mampu menghasilkan beras berkualitas tinggi dan bernilai jual lebih baik,” ujarnya.
Strategi Petani dan Pengelola Pasca Panen untuk Menjaga Kualitas Beras
Untuk menghindari beras jatuh ke tangan pengoplos, Intan menyarankan beberapa langkah yang dapat diambil oleh petani dan pengelola pascapanen.
Pertama, penerapan sistem penelusuran asal (traceability) sangat penting.
“Petani dan pengelola pascapanen bisa mencantumkan informasi asal-usul, varietas, dan proses pengolahan agar konsumen bisa lebih percaya pada kualitas beras yang mereka beli,” ujarnya.
Kedua, pengemasan yang baik dan berlabel resmi merupakan upaya nyata menjaga kualitas beras.
“Dengan mengemas beras dalam karung atau plastik bermerek dan tersegel, produk akan lebih sulit dimanipulasi oleh pihak tak bertanggung jawab,” tambah dosen pakar budidaya pertanian dan lingkungan itu.
Ketiga, kemitraan langsung dengan konsumen atau toko bahan pangan sehat bisa menjadi solusi untuk memperpendek rantai distribusi, sehingga beras tidak jatuh ke tangan tengkulak atau distributor ilegal.
Kelembagaan yang kuat, seperti koperasi petani, juga menjadi kunci untuk mengontrol kualitas beras dan memperkuat distribusi yang lebih terorganisir.
Perbedaan Kualitas Beras Baik, Sedang, dan Afkiran

Intan menjelaskan bahwa perbedaan utama antara beras berkualitas baik, sedang, dan afkiran terletak pada kebersihan, keutuhan butir, aroma, kadar air, dan patahan beras.
“Beras kualitas baik umumnya memiliki ciri fisik yang bersih, mengkilap, butiran utuh dan seragam, tidak tercampur dengan menir (butiran patah), bebas dari kutu, jamur, atau benda asing,” terang Intan.
Selain itu, imbuhnya, kadar airnya terjaga yakni sekitar 14%, menghasilkan nasi yang pulen, harum, dan tahan lama setelah dimasak.
“Beras kualitas sedang biasanya melibatkan campuran antara butir utuh dan patah, sementara beras afkiran mengandung banyak kotoran, menir, dan bahkan jamur,” jelasnya.
Mutunya lebih rendah dari beras premium, namun masih bisa menghasilkan nasi yang layak dikonsumsi.
Harga beras sedang juga lebih terjangkau, sehingga banyak dikonsumsi oleh masyarakat luas.
Sementara itu, beras afkiran umumnya terdiri dari menir, patahan kecil, banyak kotoran seperti kulit padi, batu kecil, atau dedak, berbau apek, dan sering kali sudah terkontaminasi kutu atau jamur.
“Beras jenis ini seringkali tidak layak untuk konsumsi manusia dan hanya dijadikan pakan ternak atau bahan campuran industri non-pangan,” imbuh dosen lulusan Magister Pertanian di UNS itu.
Lihat juga: Beras Oplosan: Ciri, Efek Samping, dan Cara Membedakannya Menurut Dosen Umsida
Dengan memahami perbedaan ini, Intan berharap konsumen dapat lebih bijak dalam memilih beras yang sesuai kebutuhan dan memastikan bahwa beras berkualitas tinggi tidak dicampurkan dengan beras afkiran di pasaran.
Penulis: Romadhona S.