Umsida.ac.id – Sejak kita membuka mata sampai kembali menutup mata, kita tidak bisa lepas dari produk. Dari ujung rambut sampai ujung kaki seseorang ada banyak produk yang melekat, entah apakah itu produk lokal atau bukan.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, manusia bekerja untuk mendapat gaji. Gaji ini digunakan untuk membeli produk kebutuhan sehari-hari, mulai dari makanan, pakaian, peralatan (gadget) yang berteknologi rendah sampai tinggi, dan sebagainya yang ditukarkan dari uang hasil keringatnya.
Sejak bangun tidur manusia mandi memakai sabun, sampo, pasta gigi dan sikatnya, hingga peralatan cukur. Kemudian mengenakan (pakaian luar dan dalam, wanita lebih kompleks), make up (produk kecantikan bagi perempuan), sepatu, dst. Kemudian berangkat kerja dengan kendaraan. Peralatan kantor, peralatan kerja, makanan cepat saji di restoran untuk makan siang, Semuanya merupakan produk. Manusia ini menjadi makhluk yang hidupnya bergantung pada produk. Namun juga ia bisa menciptakan produk. Tidak salah jika manusia boleh jadi disebut sebagai homo product.
Produksi merupakan segala hal yang bisa ditawarkan di pasar agar bisa dikonsumsi atau digunakan untuk bisa memenuhi keperluan atau kebutuhan konsumen di pasar.
Baca juga: Dinasti Jokowi, Saingi 4 Politik Trah yang Ada?
Namun Ironisnya, orang Indonesia tidak peduli terkait siapa pembuat produknya, apa produk itu dari luar ataukah produk lokal. Mengapa produk ini muncul, karena memperhatikan siapa yang membuatnya menunjukkan kepedulian terhadap pengembangan ekonomi. Mulai dari ekonomi komunitas hingga ekonomi negara.
Ironisnya lagi, orang merasa merdeka dengan apa-apa yang dibeli dengan uangnya. Namun persoalannya kemudian orang tidak sadar bahwa ia telah dijajah. Dijajah bukan dalam pengertian bahwa individu dikekang secara fisik, tetapi dijajah secara mental dan perilaku. Mental dan perilaku kita dikontrol untuk menjadi tergantung dengan produk yang dibuat oleh produsen yang sengaja menciptakan ketergantungan tersebut.
Menurut Theotonio Dos Santos dalam Jurnal The American Economic Review dengan judul “The Structure of Dependence” (1970) mengungkapkan bahwa dependensi (ketergantungan) adalah keadaan di mana kehidupan ekonomi negara tertentu dipengaruhi oleh perkembangan dan ekspansi dari kehidupan ekonomi negara–negara lain, di mana negara tertentu ini hanya berperan sebagai penerima akibat saja. Indonesia menjadi pembuktian atas teori yang dikembangan ekonomi asal Brazil ini.
Kebanggaan AS dengan produk lokalnya
Amerika Serikat misalnya, mendukung industri, pertanian para petani, dan produk lokal lain di negaranya. Lebih jauh termasuk juga membuka jalan distribusi bagi bagi para petaninya dengan menciptakan ketergantungan negara lain kepada negeri berjuluk Land of Hope ini. Misalnya produk lokal pertanian kedelai. Pemerintah AS memberikan subsidi besar kepada para petani kedelai baik untuk pupuk ataupun yang lainnya demi berkembangnya produk lokal tersebut.
Tidak berhenti di sini, pemerintah AS pun membuka jalan untuk distribusinya produk lokal mereka dengan menawarkan dengan harga yang murah ke negara lain, bahkan lebih murah dari pasar lokal. Akibatnya, pemerintah Indonesia memilih impor kedelai dari AS daripada membeli dari petani sendiri. Terlepas kongkalingkong yang menguntungkan para legislator alias DPR Indonesia dalam menggolkan aturan untuk impor ini.
Baca juga: Riset Dosen Umsida Sebut Bank Konvensional Banyak Dipilih Pedagang Sebagai Sumber Modal Usaha
Mekanisme tersebut akhirnya mengakibatkan para petani kedelai lokal enggan untuk menanam kembali kedelai karena mereka merasa rugi alias kalah saingan dengan kedelai impor. Dampaknya adalah adanya ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai dari AS karena itu petani lokal tidak lagi produksi kedelai.
Demikian juga dengan kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor yang asli produk lokal Indonesia tidak kita temukan. Jika kita lihat kendaraan yang berlalu lalang di jalanan kota hingga pedesaan adalah kendaraan produksi Jepang dan negara Eropa, baik mobil, sepeda motor, lebih-lebih kendaraan udara atau pesawat terbang, hampir tidak ada produk lokal.
Misalnya mobil Toyota Kijang yang dianggap sebagai produk Indonesia dalam sebuah anekdot di era tahun 80an. Suatu ketika delegasi asing berkunjung ke Indonesia dan melihat perkembangan teknologinya. Dia pun melihat Toyota Kijang dipamerkan sebagai kendaraan nasional. Ia pun bertanya, “apanya yang asli Indonesia, Toyota milik Jepang. Apa kijangnya yang asli Indonesia?”.
Tidak ada dukungan terhadap produk lokal
Transportasi darat
Yang terbaru, Mobil Esemka, Mobil yang digadang-gadang oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi kendaraan nasional asli Indonesia, bukan rakitan dari produk ataupun kerjasama dengan pihak asing pun ternyata tidak ada gaungnya sama sekali setelah disuarakan oleh Jokowi bahwa untuk memesannya saja harus inden beberapa tahun.
Ada pula produk lokal berupa mobil listrik yang telah banyak dirancang dan dibuat oleh anak bangsa ternyata tidak mendapat respon positif dari pemerintah. Padahal mobil listrik ini adalah mobil masa depan yang sepatutnya pemerintah Indonesia memperjuangkannya. Ada banyak intelektual bidang mobil listrik ini.
Termasuk yang digawangi oleh para mahasiswa Indonesia yang telah diperlombakan di luar negeri dengan kecepatan hingga mencapai 200 km/jam. Kita sebut saja antara lain Mobil Garuda Hybrid, Mobil Listrik Kaliurang Unisi, Anargya EV Mark 1.0, Lowo Ireng Reborn, Antasena FCH 1.0, Mobil Listrik karya Arjuna UGM, Neo Blits, dan seterusnya.
Pemerintah bisa mengumpulkan para ahli tersebut untuk merancang mobil listrik yang bisa menjadi kebanggan Indonesia. Tapi bukannya membuat peta jalan pengemangan mobil listrik Indonesia, pemerintah malah memilih membangun pabrik baterai kendaraan listrik, sepekan lalu.
Baca juga: Simak 4 Sistem Keuangan Digital dari Dosen Umsida
Pabrik baterai kendaraan listrik itu merupakan bagian dari nota kesepahaman yang disepakati antara Indonesia dengan Korea Selatan terkait proyek investasi cell baterai kendaraan listrik terintegrasi senilai US$ 9,8 miliar atau setara Rp 142 triliun. Perusahaan pemilik pabrik itu merupakan gabungan antara konsorsium perusahaan Korsel dan konsorsium BUMN RI. Tidak ada yang membanggakan dari project ini.
Transportasi udara
Di bidang kedirgantaraan, Indonesia telah memiliki cukup infrastruktur dan suprastruktur untuk membuat pesawat. PT Dirgantara Indonesia digadang menjadi motor industri pesawat terbang Indonesia. Dengan berbagai potensi anak bangsa yang ada semenjak era BJ Habibie hingga sekarang, belum ada berita besar yang membanggakan produk lokal di bidang industri dirgantara Indonesia. Potensi yang luar biasa itu tidak didukung oleh kebijakan pemerintah.
Bidang kesehatan
Demikian juga halnya dengan bidang kesehatan. Di masa pandemi ini vaksin didaulat menjadi cara terbaik menyelesaikan pandemi Covid-19. Pemerintah memilih mengimpor semua jenis vaksin yang beredar di pasar internasional, terutama Sinovac, selain Pfizer, Moderna, dan Johnson and Johnson. Padahal Indonesia tidak kurang sumberdaya untuk membuat vaksin asli dari produk lokal para ilmuwan Indonesia.
Fungsi berdirinya Gernas BBI
Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) sebenarnya cukup menggembirakan. Presiden Jokowi pada 8 September lalu membentuk Tim Gernas BBI diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves). Wakil ketuanya yakni Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Gubernur Bank Indonesia (BI), dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Kemudian, ketua harian Tim Gernas BBI dijabat oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf)/ Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sedangkan wakil ketua harian yaitu Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Dengan nama-nama mentereng itu diharapkan ada buatan Indonesia yang bisa membanggakan Indonesia.
Baca juga: Pendidikan Anak di Era Society 5.0 Tak Hanya Soal Akademik
Buatan Indonesia itu, apakah produk asing yang dibuat di Indonesia meski produsennya adalah orang asing, atau semua ide/gagasan dan pembuatannya oleh orang Indonesia dan dibuat di Indonesia. Tentu presiden Joko Widodo menghendaki agar seluruhnya adalah dari dan oleh orang Indonesia. Namun faktanya apakah demikian?
Istilah produk “Made in…”
Kalau dulu di setiap produk itu menunjukkan nasionalismenya. Istilah ini pun sangat terkenal. Karena tertulis pada produk bersangkutan. Istilah itu adalah “Made In …” Kita lihat pada setiap produk tertulis misalnya Made ini China, Made in Japan, Made in USA, dan seterusnya. Nasionalisme ini sangat kuat hingga sampai ke produk. Tapi tidak kita jumpai “Made in Indonesia.”
Namun orang Indonesia itu tidak kurang akal. Istilah “Made in…” pun diartikan dengan diplesetkan menjadi “Made di China,” “Made di Jepang,” “Made di Amerika Serikat,” dst. Made di sini adalah nama seorang Indonesia, nama khas Bali. Namun disebutkan bahwa Made itu adalah orang Indonesia yang menginternasional. Karena si Made ada di mana-mana di setiap produk yang ada.
Semoga membuat plesetan itu tidak dilabeli “Made in Indonesia” alias produk asli Indonesia.
Penulis: Kumara Adji