Umsida.ac.id – Muktamar Talk Edisi ke-11 mengundang Prof Achmad Jainuri MA PhD dan dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Dr Phill Ridho Al-Hamdi MA dalam diskusi yang disiarkan secara live melalui stasiun Televisi Muhammadiyah (TVMU) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Jumat (1/7/2022).
Diskusi Muktamar Talk siang itu diawali Prof Achmad Jainuri mengungkap prinsip Muhammadiyah bersikap kooperatif dalam hal positif dengan siapapun. Termasuk dalam membangun hubungan dengan pemerintah. Keduanya seperti sejawat, saling terikat dalam menjalankan fungsi dan peran.
”Sama-sama melakukan pekerjaan dan tugas, serta saling melengkapi kekurangan yang ada di masing-masing ini. Oleh karena itu juga saling mengingatkan,” tuturnya.
Sejak berdiri, ujar dia, Muhammadiyah menekankan orientasi pada program filantropis. Wujudnya terkait dengan pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan sosial.
Hal tersebut, sambung dia, menjadi concern yang sama dengan pemerintah, sehingga dinamika hubungan Muhammadiyah dengan pemerintah tidak sampai menimbulkan konflik yang besar.
”Munculnya mungkin ketidakpuasan. Tapi itu bisa disalurkan melalui jalur-jalur yang proporsional dan lain sebagainya,” jelas Ahmad Jainuri yang juga Ketua BPH Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida).
Kemudian Prof Jainuri menyebut, warga Muhammadiyah memiliki kecenderungan untuk merasa puas hanya dengan berada dalam Muhammadiyah itu sendiri. ”Kadang itu sebagai dalih untuk membesarkan Muhammadiyah, ya sebetulnya membesarkan Muhammadiyah itu tidak hanya dari dalam, tetapi dari luar,” tuturnya.
Sempitnya pemikiran ini menjadi hambatan dalam menentukan arah pikiran dan kebijakan politik Muhammadiyah. Sebab, menurutnya, Muhammadiyah tidak bisa hanya berdiam, tetapi harus aktif ke mana-mana.
”Aturan dukungan dari organisasi secara formal dan pasif sangat diperlukan untuk mendorong warga Muhammadiyah yang punya potensi aktif di politik praktis,” lanjutnya.
Prof Jainuri mengungkapkan, untuk mendiseminasikan arah kebijakan politik Muhammadiyah, maka memfasilitasi suara masyarakat hingga ke tingkat yang paling bawah atau yang disebut jalur struktur organisasi menjadi sangat diperlukan.
”Tujuannya agar perjuangan melaksanakan program-program Muhammadiyah itu betul-betul berjalan mulus,” tegasnya.
Ia menyinggung bagaimana heterogenitas wawasan politik warga Muhammadiyah dan identitas Islam modern yang ditonjolkan Muhammadiyah memunculkan karakter partai politik baru yang berbeda, terlebih dengan inisiator partai yang umumnya dari kalangan modern Muhammadiyah.
”Hal ini tentu menjadi pikiran yang sangat serius bagi pimpinan persyarikatan, terutama nanti ini kan menjelang muktamar, ini bisa dijadikan sebuah isu untuk melahirkan kemungkinan aturan-aturan yang memungkinkan warga Muhammadiyah itu secara leluasa bisa aktif di luar Muhammadiyah, ke dalam partai politik,” tuturnya.
*Humas Umsida