Umsida.ac.id – Dr Dzulfikar Akbar R MUd menjelaskan pentingnya pembelajaran Aqidah dan Akhlak sebagai bagian utama dari Pendidikan Karakter Mahasiswa Umsida (PKMU). Hal tersebut ia sampaikan saat mengisi materi pada kegiatan Training of Trainers (ToT) fasilitator pada Sabtu, (23/8/2025).
Lihat juga: Mengapa Ibadah Menjadi Hal Utama yang Wajib Dimiliki Mahasiswa?
Menurutnya, kata aqidah berasal dari عَقَدَ yang bermakna mengikat atau meneguhkan.
Secara istilah, aqidah diartikan sebagai iman pada suatu hakikat yang diyakini tanpa keraguan. Cakupan aqidah mencakup enam rukun iman, yang menjadi pondasi utama keislaman.
Cakupan aqidah meliputi iman kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, serta qada dan qadar atau yang disebut dengan rukun Iman.
Rukun merupakan pondasi atau tiang yang jika hilang satu maka bangunan tersebut bisa roboh. jika salat tidak melakukan rukun, maka salat tersebut tidak sah.
“Jika ada orang yang tidak mengimani salah satunya saja maka orang tersebut merupakan seorang kafir, batal sudah keimanannya,” tegas dosen Prodi Magister Pendidikan Islam itu.
Dalam sesi diskusi, Dr Dzulfikar juga mengajak peserta membedah perbedaan pandangan tentang penciptaan manusia, mulai dari mitologi Sumeria hingga Islam. Kesimpulannya, hanya Allah yang menciptakan manusia dan seluruh alam semesta.
“Semua yang ada di dunia ini merupakan pemberian dari Allah, bahkan kehendak kita hanyalah pinjaman dari-Nya,” jelasnya.
Tidak ada yang bisa terjadi di dunia tanpa ilmu, ketentuan, dan kehendak Allah, dari hal yang paling kecil pun.
Aqidah dan Akhlak yang Terbentuk dalam Kehidupan
Selain membahas aqidah, Dr Dzulfikar juga menekankan pentingnya akhlak sebagai buah dari keimanan.
Ia mengutip pendapat Ibn Miskawayh dan Al-Ghazali bahwa akhlak adalah kondisi jiwa yang mendorong perbuatan tanpa perlu berfikir dan pertimbangan.
الخُلُقُ حالٌ لِلنَّفْسِ داعِيَةٌ لَها إِلى أَفْعالِها مِنْ غَيْرِ فِكْرٍ وَلا رَوِيَّة
“Akhlak itu bersifat reflek, jika seseorang belum sampai di level kereflekan tersebut, artinya akhlaknya juga masih kurang,” terangnya.
Ia menerangkan bahwa akhlak dapat terbentuk melalui tiga tahap.
Yang pertama adalah mengulang-ulang perbuatan baik hingga menjadi suatu kebiasaan. Yang kedua, kata Dr Dzulfikar, membiasakan berbuat sesuatu yang baik dan diterapkan dengan konsisten dan tetap.
Yang ketiga, sifat yang telah menetap itu akan mengherakkan manusia secara spontan atau tanpa perlu peritmbangan panjang.
Jadi perbuatan yang diulang-ulang, akan membentuk kebiasaan, kebiasaan yang menetap menjadi sifat, dan sifat itulah yang membentuk karakter.
“Misalnya saja dari hal kecil seperti pembiasaan membuang sampah di tempat sampah dulu yang tak hanya bisa dilakukan di sekolah tapi juga peran orang tua saat di rumah,” tambahnya.
Keterkaitan Aqidah dan Akhlak dalam Iman
Dr Dzulfikar menegaskan bahwa aqidah yang benar akan melahirkan jiwa yang tenang, dan jiwa yang tenang akan menghasilkan akhlak terpuji.
Keterkaitan aqidah dan akhlak telah tercantum dalam hadits:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ.
Artinya:
“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya. Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Ia kemudian mengutip sejumlah hadis tentang hubungan iman dan akhlak, seperti sabda Nabi yang menyebut iman terdiri dari banyak cabang, dan cabang paling utama adalah kalimat La ilaha illallah, sedangkan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.
الإِيمَانُ بضعٌ وَسَبْعُونَ – أَوْ بضعٌ وَسِتُّونَ – شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih — atau enam puluh lebih — cabang. Cabang yang paling utama adalah mengucapkan ‘La ilaha illallah’, dan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Sedangkan rasa malu (al-haya’) adalah salah satu cabang iman.”
Setelah memaparkan materi, Dr Dzulkarnain menutup sesi dengan mengajak para peserta membaca QS Al-Furqan ayat 63–76 bersama-sama sebagai panduan menjadi ibadur rahman.
Lihat juga: Menggali Nilai Islam dalam Pedoman Hidup Islami Muhammadiyah
Di surat ini, mereka menjelaskan tentang korelasi ayat dengan penumbuhan karakter Islami di kahidupan sehari-hari, seperti rendah hati, tekun beribadah, sabar, jujur, serta peduli terhadap sesama.
Penulis: Romadhona S.