Umsida.ac.id – Banjir besar yang melanda Aceh dan beberapa provinsi di Pulau Sumatera belum lama ini menyisakan pemandangan memilukan di lingkungan darat dan perairan.
Dari pantauan satelit, terlihat tumpukan kayu gelondongan terbawa arus hingga membentuk seperti pulau di tengah perairan.
Lihat juga: Masyarakat Dihadapkan dengan Bencana Hidrometeorologi, Banjir Jadi Salah Satunya
Jumlahnya tidak sedikit dan menunjukkan bahwa aktivitas penebangan di hulu sungai masih tinggi.
Akibat peristiwa tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) akhirnya mencabut izin delapan perusahaan yang diduga menjadi penyebab utama banjir bandang dan longsor besar di Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh.
Langkah ini menjadi perhatian banyak pihak, termasuk kalangan akademisi yang menilai perlunya keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian alam.
Lantas, bagaimana seharusnya perusahaan tersebut mengelola instansinya agar tetap menjaga keseimbangan ekonomi dan kelestarian alam?

Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr Kumara Adji Kusuma SFilI CIFP, menegaskan bahwa bisnis dan keberlanjutan lingkungan seharusnya tidak saling meniadakan, melainkan berjalan beriringan.
Menurutnya, perusahaan yang bertanggung jawab akan menempatkan perlindungan lingkungan sebagai bagian dari tata kelola bisnis yang sehat.
“Perusahaan yang benar-benar bertanggung jawab biasanya menempatkan perlindungan lingkungan sebagai bagian dari tata kelola bisnis,” terang Dr Adji.
Ia menambahkan bahwa perusahaan juga wajib memastikan bahan baku yang digunakan legal, menjaga tutupan hutan, serta melakukan audit lingkungan secara berkala.
Selain itu, perusahaan juga perlu melibatkan masyarakat dalam pengawasan agar proses bisnis berjalan transparan.
“Prinsipnya sederhana, pertumbuhan bisnis tidak boleh mengorbankan ekosistem,” tegas Kepala Sekretariat Umsida itu.
Perusahaan Harus Merencanakan Keberlanjutan Lingkungan
Dosen program studi manajemen itu berpendapat bahwa profit dan lingkungan bukan dua hal yang bertentangan.
“Keuntungan jangka panjang justru sangat ditentukan oleh stabilitas ekologi,” katanya.
Karena itu, imbuh Dr Adji, perusahaan harus menginternalisasi biaya lingkungan, pencegahan banjir, rehabilitasi lahan, dan pengelolaan limbah ke dalam perhitungan bisnisnya.
Menurutnya, konsep keberlanjutan tidak boleh berhenti pada slogan atau laporan tahunan semata, tetapi harus menjadi bagian nyata dari strategi operasional perusahaan.
Pengawasan Ketat dan Insentif untuk Perusahaan Patuh

Lantas, bagaimana jika perusahaan tersebut berada di kawasan rawan banjir atau longsor?
Dr Adji mengatakan bahwa jika berada di daerah rawan, maka kewajiban perusahaan lebih tinggi.
“Mereka harus melakukan kajian risiko berbasis ilmiah, misalnya tidak menebang vegetasi penahan air, menjaga daerah tangkapan hujan, serta membangun infrastruktur pengendali erosi,” terangnya.
Di musim hujan, imbuh Dr Adji, operasi perusahaan juga perlu dibatasi agar tidak memperburuk kondisi tanah dan aliran sungai.
Langkah-langkah ini dinilai penting agar kegiatan perusahaan tidak memicu banjir atau longsor.
Menurut Dr Adji, secara regulasi Indonesia sebenarnya sudah memiliki dasar hukum yang kuat, mulai dari undang-undang perlindungan lingkungan hingga sertifikasi legalitas kayu.
Namun, efektivitas aturan tersebut masih tergantung pada penegakan hukum di lapangan.
“Masalah kita bukan pada regulasi, tapi pada pengawasan. Pemerintah perlu memperkuat pengawasan lapangan, mewajibkan transparansi izin, dan memberi sanksi tegas bagi perusahaan yang melanggar,” tegasnya.
Ia menilai perlu adanya keseimbangan antara pengawasan dan penghargaan.
Pemerintah, menurutnya, dapat memberikan insentif bagi perusahaan yang terbukti mematuhi prinsip keberlanjutan, seperti kemudahan perizinan, pengurangan pajak, atau akses ke program hijau nasional.
Lihat juga: Dijuluki Kota Delta, Mengapa Sidoarjo Masih Saja Terjadi Banjir?
“Dengan kombinasi seperti ini, masyarakat terlindungi, lingkungan terjaga, dan dunia usaha tetap tumbuh sehat,” pungkas doktor lulusan Universitas Airlangga (Unair) itu.
Penulis: Romadhona S.



















