Umsida.ac.id – Kementerian Agama RI tengah menyiapkan pembentukan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren yang ditargetkan rampung tahun ini.
Pembentukan Ditjen Pesantren ini telah mendapat persetujuan Presiden Prabowo Subianto sebagai “kado” hari santri nasional.
Lihat juga: Roadshow FAI Umsida ke Kediri, Perkuat Ukhuwah Dunia Pesantren dan Kampus
Pembentukan Ditjen ini disambut baik oleh pakar Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Rahmad Salahuddin TP SAg MPdI.
Jika dilihat dari Ditjen pendidikan Islam saat ini menaungi seluruh pendidikan Islam yang ada di bawah naungan Kemenag.
“Ditjen ini menaungi pendidikan formal dan non formal. Pendidikan non formal atau diniyah yang didalamnya dibagi lagi menjadi formal dan non formal. Pesantren masuk di dalam pendidikan formal diniyah,” terangnya.
Pondok pesantren, terangnya, terbagi menjadi dua jenis, yakni pondok pesantren salaf dan pondok pesantren khalaf.
Urgensi Dibentuknya Ditjen Pesantren

“Dengan naungan sebanyak itu tanpa dipetakan lagi, maka Ditjen pendidikan Islam akan mengalami tumpang tindih,” ujar Rahmad.
Oleh karena itu, tambahnya, dibutuhkan pecahan khusus seperti Ditjen Pesantren ini dengan tujuan agar pondok pesantren lebih terawat.
Hal tersebut juga dikarenakan banyak sekali ponpes yang memiliki kekhasan masing-masing.
Malah, Rahmad menyarankan agar Ditjen Pesantren dibagi lagi seperti Ditjen pendidikan pesantren, Ditjen pendidikan diniyah, dan Ditjen pendidikan madrasah.
“Dengan didirikannya Ditjen Pesantren juga bisa mendekatkan Kemenag pada pelayanan dan pengembangan mutu pesantren,”
Mutu layanan, katanya, merupakan pondasi utama dalam mengembangkan ponpes di Indonesia.
Untuk meningkatkan mutu layanan, tentu dibutuhkan Sumber Daya Manusia yang mumpuni. Itu pula yang menurut Rahmad menjadi urgensi dibentuknya Ditjen ini.
Menurut Rahmad, Indonesia memiliki banyak sekali pesantren yang beberapa di antaranya belum terdaftar secara administrasi.
“Dengan adanya SDM berupa penyuluh ini, dapat meningkatkan pengawasan Kemenag pada pondok pesantren,”
Rahmad menjelaskan bahwa syarat pembentukan pesantren cukup membutuhkan 15 santri saja, sehingga banyak pihak yang mendirikan ponpes.
Ia mengatakan, “Dengan luputnya izin operasional seperti pendataan santri, pengawasan Kemenag yang hanya mengandalkan satu direktorat saja, maka akan kesulitan dan kurang merata.”
Selain itu, Rahmad menjelaskan bahwa sebenarnya pondok pesantren membutuhkan standarisasi.
Namun, dengan perbedaan cara belajar ponpes yang berbeda-beda, sehingga sampai saat ini belum ada standarisasi.
Oleh karena itu, pembentukan Ditjen ini tidak hanya berfokus pada persoalan yang baru-baru saja terjadi, melainkan juga terkait mutu layanan dan administrasi ponpes.
Langkah Penyelarasan Pendidikan

Ia mengatakan bahwa ini merupakan bentuk kepedulian Kemenag terkait banyaknya persoalan yang perlu diselesaikan dalam Ditjen Pendidikan Islam.
“Justru dengan adanya Ditjen Pesantren, banyak regulasi terkait penyelenggaraan pesantrean yang bisa dimunculkan sehingga kontrolnya lebih maksimal dan jelas,” ujar dosen Al Islam dan Kemuhammadiyahan itu.
Dengan adanya Ditjen ini, Rahmad berharap sistem pendidikan pesantren bisa tertata lebih baik walaupun sesungguhnya sudah tertata secara kultur.
“Untuk kontrol instrumen penguatan pendidikan karakter sebagai sistem pendidikan nasional, memang perlu diawasi,” terang Rahmad.
Karena yang diutamakan adalah menyelaraskan pendidikan pesantren dengan tujuan pendidikan nasional.
“Ditjen ini nanti bisa mengawasi jalannya pembelajaran yang mengaitkan bab keimanan dengan kondisi sosial berbangsa dan bernegara,” tutupnya.
Lihat juga: Kolaborasi FK Umsida dan Pemerintah Sidoarjo Perangi TB Paru Melalui Bakti Sosial
Jadi pondok pesantren harus memperkuat karakter santri dengan rasa cinta agama yang diiringi dengan cinta tanah air.
Penulis: Romadhona S.



















