Umsida.ac.id – Ketua pimpinan pusat PP Muhammadiyah, Prof Syafiq A Mughni MA PhD, berkesempatan mengisi materi dalam kegiatan Baitul Arqam dosen umsida pada Sabtu 28 2025 di Narayana Hotel Trawas.
Dalam kesempatan tersebut, ia menyampaikan materi bertajuk Memahami Agama Islam dan Metode Tarjih, yang menguraikan secara mendalam tentang sumber ajaran Islam serta pendekatan yang digunakan dalam memahami agama.
Lihat juga: Umsida Sosialisasikan KHGT, Satukan Umat Islam dalam Satu Sistem Waktu
“Jika kita ingin mengetahui tentang Islam maka kita harus melihat apa yang dikatakan di dalam Al Quran dan sunnah. Namun kita tidak cukup hanya dengan teks saja, tapi perlu mendalami dan mengamalkannya,” ujar Prof Syafiq.
Menurutnya, terdapat keragaman dalam memahami dan melaksanakan ajaran Islam. satu ayat dan hadis namun pemahamannya bisa berbeda-beda.
Pemahaman tersebut harus divalidasi melalui metode tertentu. Begitu juga Muhammadiyah yang memiliki tarjih.
Tarjih: Memilih Pendapat yang Lebih Kuat dalam Ajaran Islam
Tarjih dibentuk untuk memperjelas ajaran Islam pada tahun 1927, tepat 15 tahun setelah berdirinya Muhammadiyah.
“Setelah KH Ahmad Dahlan wafat muncul berbagai persoalan tentang paham keagamaan itu. Atas inisiatif KH Mas Mansyur dibentuklah Majelis tarjih Muhammadiyah,” ujarnya.
Majelis tarjih ini bertugas untuk Memberikan pedoman dan wawasan kepada seluruh warga persyarikatan Muhammadiyah terkait pemahaman ajaran Islam secara benar. Tarjih sendiri berarti memilih pendapat yang lebih kuat.
Tarjih adalah memilih yang kuat atau menguatkan salah satu pihak. Jika ada banyak dalil dari AL Quran dan hadist dan nampak saling bertentangan, maka yang dianut adalah dalil yang paling kuat.
“Misalnya hadist nabi, ada yang shahih, hasan, dan dhaif. Jika ada yang bertentangan antara shahih dan hasan, maka kita pilih yang shahih,”
Lantas ia menjelaskan contoh konkret di kehidupan yakni tentang penentuan waktu puasa, ada yang menggunakan metode hisab dan rukyah. Maka yang dipilih adalah yang paling cocok.
“Tarjih berkembang menjadi bagaimana kita merumuskan fatwa dan pemikiran Islam,” tegas Prof Syafiq.
3 Jalan Memahami Islam
Untuk memahami Alquran dan Sunnah, Prof Syafiq berpendapat bahwa ada tiga jalan yang bisa ditempuh, yakni ijtihad, ittiba’, dan taqlid.
“Berusaha memahami dengan sungguh-sungguh teks-teks Al Quran dan Sunnah dan ajaran Islam itu yang disebut dengan ijtihad,” terang lulusan Universitas California, Los Angeles, Amerika Serikat tersebut..
Hal ini diperlukan karena ayat dan hadis terkadang memiliki makna yang kurang jelas.
Ijtihad, menurutnya, adalah orang-orang tertentu yang memiliki ilmunya. Bagi yang derajat intelektualnya mencapai tingkat mujtahid yang belum mampu melakukan ijtihad, maka mereka melakukan ittiba’, yaitu mengikuti pendapat orang lain namun mengetahui argumennya.
Di dalam Islam, dua hal ini merupakan hal yang baik. Berbeda dengan taqlid, yaitu mengikuti pendapat orang lain tanpa berpikir tanpa berpikir dan memahami argumennya.
“Taqlid adalah jalan memahami agama yang tidak direkomendasikan, seperti yang tertera dalam Surat Al-Isra Ayat 36,” katanya.
Oleh karena itu, Muhammadiyah mendorong umat Islam untuk tidak melakukan taqlid karena hal ini bisa menyebabkan kemunduran dunia Islam yang sudah dibuktikan dengan sejarah.
Majelis Tarjih sebagai Pilar Metodologi Muhammadiyah dalam Memahami Islam
Sebagai langkah awal untuk masuk ke dalam persoalan keagamaan, Muhammadiyah memiliki dua prinsip yang berbeda, yakni ibadah dan mu’amalah dunyawiyah.
Dalam ibadah yang bersifat ta’abbudi, kaidah dasarnya adalah haram sampai ada dalil yang membolehkannya, baik yang wajib maupun sunnah.
Seperti penentuan waktu haji di bulan tertentu, atau pembacaan qunut ketika salat subuh.
Sedangkan mu’amalah dunyawiyah yang bersifat ta’aqquli, prinsip dasarnya adalah halal sampai ada dalil yang melarang.
“Misalnya tentang melukis binatang. Awalnya kita memperbolehkan karena bersifat keduniawian. Namun setelah mengetahui dalilnya, maka hal tersebut bisa ditentukan halal atau haram, begitu juga dengan judi dan undian,” jelas Prof Syafiq.
Lebih lanjut, wawasan tarjih dalam Muhammadiyah mencakup lima pilar penting, yakni wawasan pemahaman agama, tajdid (pembaharuan), toleransi, keterbukaan, dan tidak terikat pada mazhab tertentu.
Ini menjadi ciri khas tarjih dalam membangun pemikiran keislaman yang inklusif dan progresif.
“Paham agama tidak bisa berjalan jika tidak dipahami, di sinilah peran tarjih untuk terus melakukan pembaruan atau tajdid,” kata Rektor Umsida periode 2001-2006 itu.
Selanjutnya, Muhammadiyah mentoleransi pendapat yang berbeda tanpa mencaci maki pendapat lainnya.
Keempat, keputusan majelis tarjih bersifat terbuka. Misalnya di bidang ilmu hisab yang awalnya Muhammadiyah menggunakan metode penyinkronan rukyah dan hisab. Namun akhirnya muncul pemikiran baru dengan cukup menentukan hal tersebut berdasarkan ilmu astronomi.
Yang kelima, Muhammadiyah tidak terkait mazhab tertentu.
Pendekatan Bayani, Burhani, dan ‘Irfani dalam Memahami Ajaran Islam
Prof Syafiq juga menjelaskan bahwa dalam memahami ajaran Islam, pendekatan tarjih Muhammadiyah menggunakan tiga pendekatan utama, yaitu bayani, burhani, dan ‘irfani.
Pendekatan bayani adalah mempertimbangkan secara kuat berbasis pada teks (nash) yang kemudian diuraikan.
Yang kedua yakni burhani, yang berbasis rasional dan ilmiah yang menghasilkan pemikiran-pemikiran. Sementara ‘irfani lebih menekankan pada hati nurani. Hal ini belum banyak digunakan oleh para ahli tasawuf.
Lihat juga: Prof Syafiq Tegaskan Pentingnya Satu Umat Satu Kalender Saat Orasi di Wisuda ke-45 Umsida
“Majelis tarjih menggunakan ketiga metode ini sekaligus. Risalah-risalah yang dikeluarkan, merupakan karya-karya yang dihasilkan dari pendekatan tiga metode ini,” tutupnya.
Penulis: Romadhona S.