Umsida.ac.id – Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sejak 12 April 2022 lalu menjadi angin segar di tengah maraknya kasus pelecehan seksual yang terus menyumbang sederet kasus kekerasan seksual di masyarakat. Adanya UU TPKS ini menjadi bukti nyata hadirnya negara melalui badan hukum.
Momen ini menjadi momen haru bagi sebagian aktivis dan pemerhati perempuan, gender, dan anak. Kemil Wachidah SPd I MPd, Kepala Pusat Studi Gender, Perempuan, dan Anak (PSGPA) Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) menyambut baik penetapan UU TPKS ini sebagai pelindung bagi masyarakat, khususnya untuk para perempuan dan anak.
“Jadi sebelum tanggal 12 April kemarin, ada yang namanya audiensi, Rancangan Undang-Undang (RUU), dan itu prosesnya panjang, bertahun-tahun. Makanya ada sisi emosional yang dirasakan kaum perempuan dan aktivis gender karena perjuangannya sangat panjang,” tuturnya kepada tim Umsida.ac.id, Rabu (27/4).
Ada 9 jenis kekerasan seksual yang tercantum dalam UU TPKS, di antaranya pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Selain itu, Kemil Wachidah juga mengungkap 6 poin penting sebagai trobosan baru dalam UU TPKS. Beberapa poin itu antara lain 1) Tindak pidana kekerasan seksual, 2) Sanksi kepada pelaku, 3) Ganti gugi atau restitusi, 4) Perlindungan kepada korban, 5) Pencegahan kepada korban melalui peran serta keluarga dan masyarakat. “Jadi kalau kita melihat ada perempuan yang dipukul oleh laki-lakinya, itu saksi berhak untuk melaporkan,” ujarnya. Kemudian poin ke 6) Pendampingan terhadap korban sehingga psikologisnya pulih. “Pendampingan itu ditanggung oleh pemerintah yang bekerja sama dengan Komnas Perempuan atau ASWGI (Asosiasi Pusat Studi Wanita/Gender dan Anak Indonesia),” sambungnya.
Keberpihakkan hukum kepada korban yang termaktub dalam UU TPKS dibuktikan melalui kewajiban restitusi yang dibebankan kepada pelaku kekerasan seksual. “UU ini itu bukan hanya menghukum pelaku atas tindakan kekerasan seksual yang terdiri dari 9 poin itu, tetapi ada yang namanya restitusi,” ucapnya.
Restitusi adalah uang pengganti bagi korban atau uang ganti rugi yang dibebankan kepada pelaku atas tindakannya, termasuk penyitaan hartanya. Pelaku yang tidak sanggup mengganti biaya rugi bagi korban, misalnya hanya memiliki sandang pangan, maka pemerintah wajib mengganti. “Poinnya bukan hanya menindak pelaku, tetapi ada ganti rugi bagi korban dan selanjutnya korban juga diberikan pendampingan secara psikologis,” imbuhnya.
Sebelum disahkannya UU TPKS, menurut Dosen Program Studi (Prodi) Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) tersebut, produk hukum ini dinilai kontroversial. Sebab beberapa tindak kekerasan seksual yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ini belum terakomodir dengan spesifik, khususnya terkait mekanisme penanganan dan pemulihan bagi korban yang acapkali diabaikan. “Tindakan kekerasan seksual sudah masuk di dalam kriminal, KUHP tapi bagi ASWGI atau Komnas Perempuan maunya spesifik, karena dalam pidana hanya berlaku hukuman tanpa adanya ganti rugi,” jelasnya.
Sementara itu, Kemil juga menyebut, tindak kekerasan seksual yang terjadi juga dilandasi karena adanya simbolik power (kekuasaan), yang mana korban menganggap tindak kekerasan merupakan hal yang dapat dinormalisasi, sehingga tidak banyak yang berani speak up. Pola ketimpangan kekuasaan inilah yang dapat menimbulkan kasus pelecehan seksual, misalnya saja yang terjadi antara guru dan murid maupun antara dosen dengan mahasiswa. “Tapi power ini kemudian di salahgunakan untuk dia melegalkan sebuah perbuatan yang tidak humanis, itu yang salah,” jelasnya.
Sehingga tidak menutup kemungkinan kasus kekerasan seksual rentan terjadi di dalam ranah akademik. Sebagaimana data dari Komnas HAM menyatakan 30-35% kasus kekerasan seksual meningkat di sekolah dasar. Sehingga dari situ, Kemil mengungkap, kerja sama yang dilakukan Kemdikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) dengan Komnas Perempuan merupakan langkah konkrit dalam melakukan penegakkan hukum untuk melindungi para pelajar dari adanya kekerasan seksual.
Ia mengimbuhkan, konsep pembelajaran yang ada di sekolah semestinya tidak tabu lagi, khsusunya dalam pembahasan seksual. “Jadi dulu kalau membahas seksual tabu di dalam pendidikan, nah sekarang sebenarnya topik tersebut sudah ada di dalam kompetensi dasar kurikulum itu sudah ada, contoh di SD membahas pubertas, reproduksi, dan organ tubuh manusia,” tuturnya.
Oleh karenanya, untuk memutus rantai kekerasan seksual dan mengimplementasikan UU TPKS, maka Kemil menambahkan agar UU ini bisa diintegrasikan dengan peraturan pemerintah lainnya dan masyarakat bisa bersinergi membangun lingkungan yang lebih positif dalam memperilakukan perempuan dan anak-anak. (Shinta Amalia/Etik)
*Humas Umsida