Umsida.ac.id– Saya yakin Anda pernah mendengar diskusi tentang ucapan Selamat Natal. Orang-orang sering mengatakan, “bahwa kita tidak seharusnya mengucapkan Selamat Natal kepada orang Kristen.” lalu menyimpulkan bahwa kita tidak mendukung koeksistensi multikultural atau multiagama? Mari kita perjelas hal ini.
Natal dan Toleransi Muslim
Saat ini, kita berada di musim Natal, ketika di kawasan umum, seperti kawasan bisnis, di semua mall, pertokoan, terhiasi dengan berbagai dekorasi, lagu, dan budaya natal yang mendominasi lingkungan kita. Sebagai Muslim, kita perlu memahami posisi kita. Al-Qur’an mengajarkan kita untuk memiliki hubungan baik dengan tetangga Kristen kita, tetapi juga menolak konsep teologis tertentu, seperti menganggap Allah memiliki anak.
Ketika budaya dominan menyebar, ada tekanan untuk menyesuaikan diri. Anak-anak kita mungkin bertanya, “Kenapa kita tidak punya pohon Natal?” Ini bukan hanya soal pohon, ini adalah representasi dari budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Kita harus menjelaskan dengan bijak kepada mereka mengapa kita tidak ikut merayakan sesuatu yang bertentangan dengan iman kita.
Baca juga: 975 Mahasiswa KKN-P Umsida Siapkan Diri untuk Mengabdi
Al-Qur’an sangat jelas dalam menentang penyekutuan Allah (syirik). Bahkan langit dan bumi hampir runtuh mendengar seseorang mengatakan Allah memiliki anak. Ini menunjukkan betapa seriusnya hal ini di mata Allah. Sebagai Muslim, kita tidak boleh meremehkannya, bahkan dengan alasan ingin bersikap ramah.
Namun, ini tidak berarti kita harus kasar. Kita bisa tetap baik kepada tetangga kita, mendoakan mereka, dan menjelaskan dengan sopan tentang keyakinan kita. Sebagai contoh, alih-alih mengucapkan “Selamat Natal”, kita bisa mengatakan, “Semoga Anda menikmati liburan Anda bersama keluarga.”
Sebagai Muslim, kita memiliki keunikan dan identitas sendiri. Merayakan budaya yang bertentangan dengan keyakinan kita bisa mengikis iman kita. Penting untuk mendidik anak-anak kita agar percaya diri dengan Islam dan memahami nilai-nilainya. Jangan sampai kita menjadi generasi yang kehilangan identitas hanya karena ingin meniru orang lain.
Kita juga harus memanfaatkan momen ini untuk menjelaskan kepada teman-teman non-Muslim kita tentang Islam dan pandangan kita tentang Yesus. Dengan cara yang hormat dan penuh kasih, kita bisa menyampaikan pesan yang benar, tanpa kompromi terhadap iman kita.
Baca juga:Jadi Guru Besar Perempuan Kedua Umsida, Dosen Ini Dalami Manajemen Rantai Pasok
Di Indonesia, umat Islam berinteraksi dengan umat Hindu, Kristen, Yahudi, dan berbagai agama tradisional. Umat Islam hidup berdampingan dengan damai sejak kecil. Kita saling menghormati, dan itulah bagaimana kita membangun hubungan baik.
Namun, di sisi lain, saat Natal tiba, ada juga orang Kristen sendiri tidak percaya atau merayakan Natal. Mereka memiliki alasan teologis untuk itu. Apakah salah jika mereka tidak merayakan Natal? Tidak. Tetapi ketika mereka mencoba memblokir atau melarang orang lain yang merayakan, barulah itu menjadi masalah.
Sebagai Muslim, kita tidak menghentikan orang lain untuk merayakan apa yang mereka yakini. Yang kita katakan hanyalah, “Anda memiliki keyakinan Anda, dan saya memiliki keyakinan saya.” Misalnya, umat Hindu mungkin tidak memberi ucapan Selamat Hari Raya Idul Adha kepada Muslim karena, bagi mereka, penyembelihan hewan sapi/lembu adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan kepercayaan mereka. Kita tidak tersinggung karena itu adalah sistem keyakinan mereka, dan kita menghormatinya.
Toleransi berarti membiarkan orang lain menjalankan keyakinan mereka tanpa paksaan. Sama seperti kita tidak berharap mereka mengubah keyakinan mereka, kita juga tidak ingin dipaksa mengikuti kepercayaan atau praktik mereka.
Misalnya, seorang Muslim yang baru masuk Islam dari keluarga Hindu mungkin menolak untuk melakukan ritual pembakaran tubuh saat ayahnya meninggal, karena hal itu bertentangan dengan keyakinannya. Meskipun itu menyebabkan ketegangan, beberapa orang yang bijaksana memahami bahwa itu adalah haknya untuk menjalankan keyakinannya. Inilah esensi dari toleransi: menghormati perbedaan keyakinan tanpa memaksakan pandangan kita kepada orang lain.
Di dunia yang semakin multikultural ini, penting bagi kita untuk hidup berdampingan tanpa melupakan prinsip iman kita. Jika ada orang yang percaya bahwa mereka tidak seharusnya berpartisipasi dalam perayaan Natal, itu adalah hak mereka. Jika ada yang percaya sebaliknya, itu juga hak mereka. Tapi tidak seorang pun boleh memaksakan keyakinannya pada orang lain.
Toleransi tidak berarti kita harus menyerah pada prinsip iman kita. Sebaliknya, itu berarti kita menghormati keyakinan orang lain sambil tetap berpegang teguh pada keyakinan kita sendiri. Misalnya, seorang Muslim tidak akan menyajikan daging babi kepada seorang teman Muslim lainnya, sama seperti kita tidak menawarkan daging sapi kepada teman Hindu karena itu bisa menghina keyakinan mereka.
Dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai agama dan budaya, seperti di Indonesia, penting bagi semua orang untuk saling menghormati. Pegawai negeri dari berbagai latar belakang agama dan budaya melayani bangsa bersama-sama. Inilah yang mencerminkan toleransi sejati dan kontribusi kolektif terhadap pembangunan negara.
Penulis: Kumara Adji
Editor: Rani Syahda