Umsida.ac.id – Kementerian Keuangan 2025-2029 memiliki rencana strategis untuk melakukan redenominasi rupiah atau menghilangkan tiga nol dari rupiah tanpa mengubah daya beli masyarakat.
Lihat juga: Dosen Umsida Edukasi Literasi Keuangan Islam, Putus Kebiasaan Pinjol
Penyederhanaan Nominal Mata Uang
Redenominasi rupiah adalah langkah penyederhanaan nominal mata uang dengan mengurangi sejumlah angka nol tanpa mengubah nilai uang itu sendiri.
Artinya, uang dengan nilai nominal yang lebih tinggi, seperti Rp 1.000, nantinya bisa disederhanakan menjadi Rp 1.0, begitu juga dengan uang Rp 1.000.000 yang menjadi Rp 1.000.
Penjelasan tersebut disampaikan oleh Dr Sigit Hermawan SE MSi CIQaR CRP, pakar ekonomi akuntansi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida).
“Namun nilai tersebut sama. Jika diterapkan nanti, uang 1 rupiah baru, sama dengan seribu rupiah yang lama, sehingga perubahan yang dimaksud adalah perubahan angka,” ujarnya.
Manfaat Redenominasi Rupiah bagi Perekonomian Indonesia

Menurut Dr Sigit, redenominasi bertujuan untuk memberikan penyederhanaan dalam transaksi dan pencatatan keuangan.
Hal ini diyakini dapat memberikan efisiensi, terutama dalam hal transaksi yang lebih praktis dan mudah dilakukan.
“Redenominasi ini akan lebih mudah dibaca, dilihat, dan dihitung, baik dalam transaksi di pasar maupun dalam sistem keuangan negara,” ujar Dr Sigit.
Namun, dia juga mengingatkan bahwa penting untuk mempertahankan stabilitas ekonomi sebelum menerapkan redenominasi.
Jika kondisi perekonomian, makro ekonomi, dan inflasi stabil, maka langkah ini akan lebih menguntungkan untuk jangka panjang.
“Dengan adanya redenominasi, kita akan lebih mudah dan praktis dalam melakukan transaksi, serta meningkatkan citra perekonomian Indonesia di mata internasional,” tambahnya.
Redenominasi rupiah juga diyakini akan memperbaiki citra Indonesia di panggung dunia.
Dr Sigit mencontohkan negara-negara lain yang telah menerapkan sistem serupa, seperti Malaysia, yang saat ini menggunakan mata uang dengan angka nol yang lebih sedikit.
“Di negara tetangga, misalnya Malaysia, penggunaan angka nol yang lebih sedikit sudah menjadi hal yang biasa. Jika dilihat dari sisi internasional, ini memberikan kesan bahwa ekonomi negara tersebut lebih efisien,” ujarnya.
Resiko Redenominasi Rupiah
Dr Sigit juga menyoroti beberapa resiko yang bisa timbul dari pelaksanaan redenominasi.
Ia menjelaskan bahwa redenominasi bisa membuat shock dalam hal psikologis pasar dan masyarakat.
Jika tidak disertai dengan sosialisasi dan edukasi yang jelas, masyarakat bisa merasa bingung atau bahkan tidak percaya dengan nilai mata uang yang baru.
“Jadi, selain penyesuaian di sistem keuangan, tantangan terbesar adalah bagaimana menjelaskan kepada masyarakat tentang perubahan tersebut, agar tidak ada kebingungan yang berlarut-larut,” kata doktor lulusan Ilmu Ekonomi Minat Akuntansi Unair itu.
Selain itu, menurutnya, sistem di sektor akuntansi dan perbankan juga harus disesuaikan, karena pengenalan redenominasi akan mempengaruhi pencatatan transaksi dan laporan keuangan.
“Sosialisasi yang gencar dan pemahaman yang baik tentang bagaimana redenominasi ini bekerja akan sangat penting agar transisi berjalan mulus,” jelasnya.
Sebagai langkah ke depan, Dr Sigit menyarankan untuk adanya masa transisi yang cukup panjang agar masyarakat bisa terbiasa dengan uang yang baru.
“Sosialisasi melalui media sosial, pertemuan dengan pelaku usaha, serta dialog langsung dengan masyarakat di daerah pelosok akan membantu proses adaptasi ini,” pungkasnya
Penyesuaian Masyarakat terhadap Redenominasi Rupiah

Dr Sigit menjelaskan bahwa edukasi kepada masyarakat menjadi hal yang sangat penting untuk menghindari kebingungannya.
“Penyuluhan dan sosialisasi yang intens terutama di daerah-daerah pelosok, sangat diperlukan agar proses redenominasi dapat diterima dengan baik. Jangan sampai ada statement yang menilai bahwa uang lama sudah tidak laku, keduanya bisa dipakai,” katanya.
Karena redenominasi, lanjut Dr Sigit, tidak merubah nilai, hanya nominal saja atau hanya disederhanakan.
Oleh karena itu, harus ada banyak pihak yang terlibat dalam penyebaran redenominasi ini, mulai dari perangkat desa, UMKM, pihak perbankan, agar informasi sampai hingga daerah pelosok.
Selain itu, Direktur Direktorat Riset dan Pengabdian Pada Masyarakat Umsida itu juga menekankan bahwa penerapan redenominasi rupiah akan membutuhkan waktu untuk penyesuaian.
“Proses sosialisasi bisa memakan waktu 3 hingga 5 tahun sebelum masyarakat terbiasa dengan perubahan nominal ini. Uang lama dan uang baru akan beredar bersamaan dalam periode tersebut,” ujarnya.
Sebagai langkah awal, pemerintah dan bank-bank di Indonesia perlu memastikan bahwa sistem akuntansi dan perangkat teknologi informasi di sektor keuangan dapat mendukung perubahan ini.
“Perubahan sistem ini mungkin membutuhkan penyesuaian pada software akuntansi dan sistem pembayaran di berbagai sektor ekonomi, termasuk perbankan dan UMKM,” tambahnya.
Lihat juga: Gadai Emas Syariah, Solusi Keuangan Jangka Panjang di Tengah Tekanan Ekonomi
Dengan segala tantangan dan keuntungan yang ada, ia menyebut bahwa redenominasi rupiah menjadi langkah penting jika didukung oleh stabilitas makro ekonomi yang bagus.
“Kebijakan fiskal moneter juga harus koordinatif antara lembaga seperti BI, keuangan, OJK, serta pemerintah,” tandasnya.
Penulis: Romadhona S.


















