Umsida.ac.id – Apakah objek (benda/tanaman/hewan) memberitahu subjek (manusia), terutama mata manusia tentang tentang siapa dirinya?
Masalah terbesar yang dialami terkait hubungan subjek-objek dalam realitas sehari-hari adalah bahwa selama ini eksistensi objek ditentukan oleh subjek.
Lihat juga: Islam Tak Boleh Menerima Pernyataan dari Barat Tanpa Pengawasan
Bahwa lingkungan sekitar dikenali secara sepihak. Tidak sebaliknya, objek menentukan dirinya sendiri sebagai apa adanya.
Misalnya sebuah benda berwarna oranye. Mengapa ia berwarna oranye? Hal ini bukan karena si objek mendefinisikan dirinya sebagai oranye, tetapi subjek, yakni manusialah yang menentukan ia berwarna oranye.
Deteksi Indera Manusia
Mengapa demikian? Karena mata manusia mendeteksi itu sebagai oranye dan menyepakatinya secara kolektif sebagai oranye dalam tanda-tanda kolektif.
Dalam hal tersebut, warna oranye itu terjadi karena bentuk mata manusia beserta seluruh struktur di dalamnya membuatnya mendefinisikan itu sebagai oranye.
Apakah betul ia oranye? Karena warna tersebut kemudian bisa berbeda dalam kondisi dan situasi pencahayaan tertentu.
Lalu bagaimana dengan mata yang dimiliki hewan yang memiliki struktur/bentuk dan sel mata yang berbeda dengan manusia. Apakah betul dia memiliki kesamaan persepsi atas suatu benda dengan manusia.
Secara saintifik, diketahui bahwa tidak semua hewan buta warna, namun banyak yang memiliki persepsi warna berbeda dengan manusia (Land, 2012).
Anjing dan kucing memiliki penglihatan dua warna (dichromatic), melihat biru dan kuning, tetapi kesulitan membedakan merah dan hijau.
Banyak burung memiliki penglihatan warna yang sangat baik dan bisa melihat ultraviolet, yang tidak bisa dilihat oleh manusia. Ikan disebut sering kali memiliki penglihatan warna yang baik dan bisa melihat spektrum warna yang lebih luas dibandingkan manusia.
Beberapa serangga, seperti lebah, bisa melihat ultraviolet. Dengan menggunakan kemampuan ini lebah mampu untuk menemukan bunga. Beberapa primata memiliki penglihatan warna yang serupa dengan manusia, yaitu trichromatic (merah, hijau, dan biru).
Banyak mamalia nokturnal memiliki penglihatan yang lebih sensitif terhadap cahaya rendah dan mungkin memiliki penglihatan warna yang terbatas atau bahkan buta warna.
Tidak semua hewan buta warna, tetapi ada variasi yang signifikan dalam bagaimana mereka melihat dan membedakan warna.
Struktur masing-masing indera (penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan pengecapan) antara manusia dengan makhluk lainnya tidak sama.
Salah satu lebih peka dari yang lain. Karenanya dalam menangkap/mencerap objek bisa dipastikan ada ketidaksamaan antara manusia dengan makhluk yang lain. Belum lagi penginderaan oleh makhluk-makhluk super kecil.
Mata Manusia Tak Menangkap Semua Warna
Dalam perspektif penglihatan manusia, ada banyak warna yang tidak dapat ditangkap atau dilihat oleh mata manusia, karena keterbatasan mata manusia. Meski manusia mengenal ribuan bahkan jutaan warna, namun itu mata memiliki keterbatasan.
Seperti melihat objek-objek lainnya yang bersifat sangat masif seperti dalam melihat matahari. Mata manusia tidak akan sanggup untuk menatap langsung kepada matahari.
Menatap matahari secara langsung tidak akan bisa dilakukan karena itu akan membutakan mata manusia.
Tidak hanya melihat benda supermasif, melihat objek super kecil seperti jasad renik/mikroba, manusia tidak sanggup. Demikian juga untuk melihat dengan objek yang berada sangat jauh. Mata manusia tidak sanggup melihat objek kecil berjarak 1 kilometer misalnya.
Ia hanya akan terlihat seperti sebuah titik. Atau pun benda yang sangat dekat, namun secara bersamaan juga terasa sangat jauh ke dalam, seperti melihat mikroba atau jasad renik hingga atom.
Mata manusia tidak sanggup melakukan pembesaran, zoom out, baik untuk melihat benda yang jaraknya jauh maupun yang sangat dekat seperti mikroba yang melayang-layang di udara.
Demikian halnya dengan suara. Kemampuan telinga manusia untuk menangkap suara manusia terbatas dalam rentang frekuensi 20 Hz hingga 20.000 Hz (20 kHz). Hal ini menyesuaikan dengan bentuk telinga luar dan dalam manusia.
Rentang frekuensi tersebut dapat bervariasi tergantung pada usia dan kesehatan pendengaran seseorang, dengan orang yang lebih tua biasanya mengalami penurunan kemampuan mendengar frekuensi tinggi.
Untuk suara-suara berfrekuensi sangat tinggi maupun berfrekuensi sangat rendah melewati ambang batas kemampuan telinga, manusia tidak sanggup menangkapnya.
Demikian halnya dengan suara bervolume keras, akan dapat merusakkan gendang telinga manusia. Sama halnya dengan indera manusia lainnya seperti, penciuman, peraba, dan pengecap.
Ada banyak bau, tekstur, dan rasa lainnya yang tidak dapat direngkuh oleh penciuman, perabaan, dan pengecapan.
Di sekitar kita ada banyak bentuk, warna, suara, bau, tekstur, dan rasa yang dapat ditangkap oleh mata, telinga, hidung, kulit, dan lidah manusia. Tetapi, faktanya ada juga hal-hal lain yang tak dapat ditangkap oleh indera manusia di dunia.
Hal ini karena indera manusia memang berfungsi untuk mencerap sekitar, menghubungkan antara aku yang ada dalam tubuh dengan lingkungan sekitar, namun juga sekaligus membatasi apa yang bisa ditangkap.
Indera memang membuka kemungkinan interaksi aku dengan dengan dunia luar namun ia tidak membuka secara keseluruhan eksistensi dunia luar tersebut
Memang dalam hidup keseharian seorang manusia menangkap berbagai fenomena warna, suara, bau, tekstur, dan rasa yang dapat ditangkap oleh indera. Secara default hal ini sudah cukup bagi manusia untuk bisa survive dalam kehidupan sehari-hari, tanpa harus bisa menangkap hal-hal di luar batasan indera.
Namun, bagi mereka yang menggeluti dunia pengetahuan untuk mendapatkan insight yang lebih mendalam tentang sesuatu hingga pada level hakikat, baik untuk pendalaman intelektual maupun spiritual, maka hal-hal yang di luar batas indera menjadi kebutuhan untuk diketahui dan dipahami.
Untuk dapat memperoleh informasi tentang matahari yang lebih insightful, dengan berbagai keterbatasan mata, bisa diatasi dengan mengurangi intensitas kekuatan matahari yang sampai pada mata dengan menggunakan alat bantu berupa kacamata hitam atau teleskop yang termodifikasi sedemikian rupa agar mata pengamatnya tidak rusak.
Demikian juga halnya dengan kemampuan manusia untuk melihat jarak yang sangat jauh. Untuk dapat melihat objek yang tak dapat dipandang mata karena sangat jauhnya, manusia mengembangkan pembesaran jarak jauh berupa teleskop yang mampu memandang hingga melintas cakrawala dan menembus gugusan galaksi dengan teleskop James Webb.
Sama juga untuk melihat benda terdekat dengan diri manusia seperti mikroba/jasad renik di sekitarnya dan yang ada dalam tubuh manusia sendiri. Mata manusia tidak memiliki perbesaran mata sampai pada level mikroskopik karena lensa mata manusia sangat terbatas dalam hal pembesaran lensanya.
Namun ia bisa dibantu dengan mikroskop, sehingga manusia pun bahkan bisa mengetahui “kehidupan” di bawah subatomik.
Keterbatasan dan treatment ini juga dialami oleh indera yang lainnya baik itu pendengaran, penciuman, perabaan, pengecapan. Untuk bisa mendengar suara yang berada di bawah atau di atas standar kemampuan pendengaran juga dilakukan dengan perlengkapan yang memadai.
Untuk mendeteksi suara yang berada di bawah maupun di atas ambang batas pendengaran manusia, ada beberapa alat yang umum digunakan alat seperti Mikrofon Ultrasonik untuk mendeteksi frekuensi di atas 20 KHz, yang sering disebut sebagai suara ultrasonik untuk memantau suara kelelawar, memeriksa getaran mesin, dsb.
Mikrofon Infrasonik digunakan untuk menangkap suara dengan frekuensi di bawah 20 H yang dikenal sebagai infrasonik untuk mendeteksi aktivitas seismik, tsunami, aktivitas vulkanik, dan lainnya yang menghasilkan suara infrasonik.
Lihat juga: Karamah dalam Perspektif Tasawuf Muhammadiyah, Keajaiban atau Kedekatan Spiritual?
Berikutnya ada Hydrophone, merupakan mikrofon khusus untuk mendeteksi suara di bawah air, yang bisa berada di luar jangkauan pendengaran manusia.
Alat ini sangat penting dalam oseanografi, misalnya, untuk mendeteksi suara ikan paus atau suara bawah laut lain. Dan alat bantu indera lainnya.
Penulis: Kumara Adji K.