Umsida.ac.id – Dokter merupakan salah satu profesi yang mulia. Namun beberapa waktu ini, citra dokter menjadi sedikit kurang baik akibat beberapa oknum yang melakukan hal yang kurang menyenangkan di dunia medis, tindakan asusila misalnya.
Lihat juga: Dosen Umsida: Sistem Pendidikan Dokter Spesialis Harus Dibenahi
Misalnya seorang dokter residen Anestesi Universitas Padjadjaran yang menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung yang menjadi tersangka atas pemerkosaan terhadap keluarga pasien.
Atau salah satu dokter di rumah sakit Malang yang diberhentikan sementara lantaran melakukan tindakan asusila kepada lebih dari satu pasien.
Dan yang sedang ramai pula, seorang dokter spesialis obstetri dan ginekologi (Obgyn) di Garut diduga melakukan pelecehan seksual saat memeriksa pasien hamil di sebuah klinik. Bahkan ia menggratiskan biaya USG sebagai iming-iming kepada pasien untuk melancarkan aksinya.
Dosen Prodi S1 Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), dr Nur Aini Hasan MSi turut merasa miris dan kecewa atas beberapa tindakan oknum dokter yang berpengaruh pada citra dokter dan kepercayaan masyarakat.
Pentingnya Etika Medis

Maka dari itu, ia berpendapat bahwa etika medis bisa lebih dikedepankan lagi, tindakan asusila yang dilakukan oleh oknum tenaga medis sangat bertentangan dengan kode etik profesi kedokteran.
Lalu, hak dan privasinya pasien itu juga harus di ditonjolkan lagi, baik itu dokter yang masih sekolah atau sudah lulus.
“Kasus itu bisa jadi pengingat bahwa setiap tenaga medis baik dokter, perawat, bahkan masih koas, PPDS, dan bidan, pun harus bertindak secara profesional karena gara-gara satu orang, citra semua dokter bisa rusak,” terang dr Nur, sapaan akrabnya.
Menurutnya, Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan para dokter yang mereka didik memahami dengan benar etika profesi kedokteran.
dr Nur berkata, “Dokter terus diingatkan tentang perlindungan pasien, menekankan rasa hormat dan profesionalisme identitas sehingga hal seperti ini tidak terulang.”
Dampak kepada Pasien
Dari perspektif psikologis, terangnya, pelecehan seksual yang terjadi dapat menyisakan dampak yang serius pada korban, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Bisa trauma psikologis seperti perasaan direndahkan atau dilecehkan, atau kerusakan pada citra diri mereka sendiri.
“Misalkan beberapa korban mengalami gangguan mental seperti Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), dia tidak mau kalau bertemu dokter laki-laki. Ini perlu tindakan hukum dan medis agar mereka sembuh dari penyakit medis juga dari psikologisnya,” terang dokter yang gemar melancong itu.
Hal ini juga menjadi tanggung jawab institusi pendidikan sebagai tempat belajar mahasiswa dan rumah sakit sebagai tempat praktik dokter.
Sejak masa pendidikan dokter, kami dididik untuk bisa menghormati pasien baik yang sudah meninggal terlebih lagi yang masih hidup.
Sehingga jika ada oknum yg bertindak demikian, pelaku tidak pantas disebut dokter.
Pasien Harus Mengerti Haknya
Dalam kasus ini, dokter memang bersalah. Namun perlu diperhatikan juga soal pasien yang harus mengerti haknya.
Misalnya, ketika menemui dokter, pasien sebaiknya membawa pendampingan sebagai wali pasien.
Selain untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, kehadiran wali juga berguna jika pasien membutuhkan persetujuan atas tindakan medis tertentu seperti operasi atau rawat inap.
“Kejahatan itu bisa terjadi jika ada niat dan kesempatan. Jadi jika si pelaku sudah niat namun pasien selalu didampingi, maka kejadian itu sepertinya tidak mungkin terjadi,” katanya.
Menanggapi kasus dokter Obgyn yang melakukan tindakan asusila kepada pasien USG, dr Nur menjelaskan beberapa prosedur dokter obgyn saat melakukan USG.
Tangan kanan dokter memegang probe USG (yang diletakkan di perut pasien). Dan tangan kiri harus tetap memegang mesin USG untuk memberi kode pergerakan probe. Kemudian pandangan dokter mengarah ke monitor untuk membaca hasil USG.
Sedangkan pada kasus ini, kedua tangan dokter obgyn berada di tubuh korban. Tentu hal itu menjadi hal yang tidak wajar.
“Bisa saja setelah kasus ini para pasien akan lebih memilih ke dokter obgyn perempuan. Padahal tidak semua dokter obgyn laki-laki seperti itu,” tuturnya.
Oleh karena itu, pasien harus memahami hak-haknya dalam perawatan medis. Jangan hanya karena tidak mengerti atau sungkan, mereka menuruti semua perintah dokter.
Tanggung Jawab Umsida kepada Calon Dokter
Di Umsida sendiri, ia berharap para lulusan menjadi dokter yang tidak biasa.
“Artinya, kalau ingin menjadi dokter, ada banyak pilihan FK lainnya. Namun FK Umsida ingin mencetak dokter yang berakhlakul karimah yang dimulai dari hal-hal kecil seperti kejujuran,” ujarnya.
Lalu berkenaan tentang etika, pendidikan etika harus diajarkan mulai di tingkat mahasiswa dengan mahasiswa, hubungan antara mahasiswa dengan dosen yang selanjutnya akan membangun etika baik antara mahasiswa dengan para nakes di rumah sakit.
Dengan begitu, mahasiswa akan terbawa dengan perilaku tersebut kepada pasien ketika mereka sudah menjadi dokter kelak.
Ia menjelaskan bahwa mahasiswa kedokteran Umsida memfasilitiasi pengembangan akhlak dan karakter para calon dokter.
Misalnya saja Rumah Sakit Siti Khodijah sebagai rumah sakit pendidikan yang suasananya mendukung karena di lingkungan Muhammadiyah.
Lalu masa pengenalan mahasiswa baru yang juga dilatih Spiritual Quotient (SQ), hingga adanya mata kuliah Kemuhammadiyahan yang diharapkan bisa memberi dampak positif di kehidupan sehari-hari.
Lihat juga: Kunjungi Umsida, Ini 4 Strategi Kepemimpinan di Dunia Kedokteran Menurut Dekan FK UMS
“Dengan begitu, mereka akan terbawa saat bekerja seperti meminta izin atau sekedar mengucap Bismillah sebelum memeriksa pasien agar proses medis berjalan lancar dan pasien merasa nyaman,” pungkasnya.
Penulis: Romadhona S.