Umsida.ac.id – Menteri Pertanian Republik Indonesia mengungkapkan banyaknya beras oplosan yang beredar bahkan sampai di lingkungan supermarket dan minimarket yang dikemas menyerupai beras premium namun dioplos dengan beras kualitas lain.
Lihat juga: Program Petani Milenial, Se-Darurat Itu Kah Kondisi Pertanian Indonesia?
Isu tersebut tidak hanya menimbulkan keresahan di kalangan konsumen, tetapi juga menjadi tanda adanya kelemahan serius dalam sistem distribusi dan pengawasan pangan di Indonesia.
Dosen Program Studi Agroteknologi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Intan Rohma Nurmalasari SP MP mengungkapkan bahwa beras oplosan biasanya hasil dari pencampuran antara beras kualitas rendah dengan beras kualitas tinggi, atau bahkan antara beras subsidi dan beras komersial.
Dimana Titik Rawan Terjadinya Pengoplosan Beras?

“Tindakan ini sangat merugikan konsumen karena mereka tidak mendapatkan mutu yang sebanding dengan harga yang dibayarkan,” ujar dosen yang biasa disapa Intan tersebut.
Lebih dari itu, imbuhnya, praktik beras oplosan juga mencederai kepercayaan masyarakat terhadap keamanan dan kejujuran dalam rantai pasok pangan.
“Saya menilai maraknya beras oplosan ini sebagai dampak dari lemahnya sistem pengawasan, serta kurangnya transparansi mutu dan asal-usul beras di pasaran,” terangnya.
Intan berpendapat bahwa titik paling rawan terjadinya pengoplosan beras adalah pada penggilingan dan distributor.
“Di dua titik ini, pelaku usaha memiliki kontrol atas bahan baku dan akses pasar, sehingga bisa dengan mudah mencampur beras dengan alasan efisiensi biaya. Apalagi jika pengawasan dari pemerintah atau lembaga pengendali mutu kurang optimal,” tutur Ketua Pusat Studi SDGs Umsida itu.
Lantas ia menyarankan untuk melakukan pelabelan mutu beras yang jelas, sistem pelacakan distribusi yang digital, serta edukasi konsumen agar lebih cermat dalam membeli produk pangan.
Menilik kebijakan pemerintah terkait kasus tersebut, melalui Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Satgas Pangan telah menyatakan bahwa praktik pengoplosan adalah pelanggaran hukum.
“Jika beras bantuan atau beras subsidi ditemukan dalam praktik oplosan, maka telah terjadi penyelewengan yang serius dalam proses distribusi,” tambah Intan.
Menurutnya, tindakan tegas terhadap pelaku beras oplosan sudah mulai dilakukan, namun fenomena ini seolah terus berulang.
Fenomena Ini harusnya menjadi momentum perbaikan menyeluruh dalam tata kelola pangan nasional.
Keamanan pangan bukan sekadar soal ketersediaan, tetapi juga soal kejujuran, kualitas, dan keadilan dalam distribusinya.
3 Standar Mutu Beras yang Harus Dipenuhi

Lebih lanjut, Intan menjelaskan tentang standar mutu beras yang layak untuk dikonsumsi.
Menurutnya, mutu beras merupakan indikator penting dalam menjamin kesehatan konsumen dan keadilan dalam perdagangan.
Beras yang dihasilkan dari praktik pertanian yang baik, tanpa kecurangan seperti pengoplosan atau pemutihan buatan, harus memenuhi sejumlah standar mutu yang mencerminkan kualitas asli dari benih, lingkungan, dan teknik budidaya.
“Pertama, standar mutu fisik harus menjadi perhatian utama. Beras berkualitas baik seharusnya memiliki kadar patahan rendah, yaitu di bawah 15%, warna cerah alami, bebas dari kotoran seperti kerikil, sekam, atau serangga, dan tidak mengandung beras afkiran atau rusak,” jelasnya.
Kandungan air juga harus sesuai standar, sekitar 14% untuk menjamin daya simpan yang baik.
Kedua, imbuhnya, aspek mutu kimia juga penting untuk memastikan keamanan pangan.
Beras harus bebas dari residu pestisida, logam berat, atau bahan kimia sintetis yang mungkin digunakan dalam proses kecurangan.
“Sertifikasi organik atau hasil uji laboratorium menjadi langkah penting dalam menjamin bahwa beras tersebut layak konsumsi,” jelas dosen pakar budidaya pertanian dan lingkungan itu.
Ketiga, aroma dan rasa juga menjadi tolok ukur mutu. Beras yang dihasilkan secara alami dari varietas unggul dan dibudidayakan dengan teknik agronomi yang tepat cenderung memiliki aroma khas dan rasa pulen atau pera sesuai jenisnya.
Hal ini mencerminkan praktik budidaya yang memperhatikan kesuburan tanah, pemupukan berimbang, dan panen tepat waktu.
“Dengan demikian, mutu beras seharusnya mencerminkan proses produksi yang transparan, beretika, dan bertanggung jawab,” tambahnya.
Menurutnya, menegakkan standar mutu ini bukan hanya soal menjaga kualitas pangan, tapi juga melindungi petani jujur, menciptakan pasar yang adil, dan membangun kepercayaan konsumen.
Bagaimana Jika Beras Oplosan Masih Beredar?
Intan berpendapat bahwa kasus beredarnya beras oplosan di pasaran bukan sekadar isu dagang, melainkan persoalan serius yang dapat memberikan dampak jangka panjang terhadap berbagai sektor, mengapa?
Menurunnya Kepercayaan Konsumen
“Kepercayaan konsumen terhadap kualitas beras di pasaran dapat menurun drastis,” tegas Intan.
Masyarakat menjadi ragu untuk membeli beras lokal karena khawatir tercampur dengan kualitas rendah atau bahkan bahan berbahaya, yang pada akhirnya bisa memicu pergeseran konsumsi ke produk impor.
Merusak Nama Petani dan Pengusaha Tani yang Jujur
Intan berkata, “Kasus beras oplosan berpotensi merusak nama baik petani dan pelaku usaha pertanian yang jujur.”
Praktik curang dari segelintir oknum bisa mencoreng reputasi seluruh rantai pasok, dari penggilingan hingga distributor.
Padahal, banyak pelaku usaha yang menjunjung tinggi mutu dan transparansi dalam distribusi beras.
Produksi Pangan Lokal Akan Mati
Jika tidak segera ditangani secara sistemik, praktik beras oplosan dapat mematikan semangat produksi pangan lokal.
“Petani yang merasa hasil panennya dicampur dan dijual tanpa nilai tambah yang layak bisa kehilangan motivasi untuk meningkatkan kualitas produksi,” kata Intan.
Hal tersebut, imbuhnya, akan berdampak negatif terhadap ketahanan pangan nasional dalam jangka panjang.
Kasus Bisa Terulang Akibat Regulasi
Terakhir, dari sisi regulasi, lemahnya pengawasan akan mendorong munculnya praktik serupa di sektor pangan lain.
Maka, penguatan sistem pengawasan dan penegakan hukum menjadi keharusan.
Lihat juga: Mengapa Indonesia Jadi Importir Gula Terbesar di Dunia? Dosen Umsida Beri Jawabannya
“Jika tidak, masyarakat akan terus dirugikan, dan integritas sistem pangan nasional akan terancam,” tutup Intan.
Penulis: Romadhona S.