Umsida.ac.id – Fenomena fatherless atau ketidakhadiran sosok ayah menjadi perhatian serius di Indonesia.
Indonesia menjadi salah satu negara dengan krisis fatherless tertinggi di dunia.
Menurut Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Zaki Nur Fahmawati MPsi Psikolog, fatherless tidak selalu berarti ayah tidak ada secara fisik, tetapi juga bisa terjadi ketika ayah hadir namun tidak berperan dalam pengasuhan anak (father hunger).
Lihat juga: Banyak Anak Muda yang Memilih Childfree, Pakar Psikologi Umsida Beri Penjelasan
“Kondisi fatherless artinya pengasuhan yang ada di rumah berjalan tidak seimbang. Karena normalnya, keluarga terdiri dari bapak, ibu, dan anak,” ujar Zaki
Maka, imbuhnya, ketika bapaknya tidak ada, akan membuat proses dalam keluarga menjadi kurang seimbang dan ada dampak psikologis yang negatif.
Penyebab Fatherless dan Father Hunger
“Di Indonesia banyak keluarga yang bapaknya ada, tapi tidak terlibat dalam pengasuhan. Secara fisik hadir, namun secara emosional tidak,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa kondisi ini sering kali berakar dari budaya patriarki yang menganggap peran ayah hanya sebatas pencari nafkah, sementara pengasuhan anak menjadi tanggung jawab ibu.
“Bapak tidak terlatih (tidak aware)untuk terlibat dalam pengasuhan karena secara budaya memang tidak diajarkan demikian,” jelas dosen lulusan magister Profesi Psikologi Unair itu.
Selain faktor budaya, fenomena fatherless juga disebabkan oleh perceraian, kematian, atau pekerjaan ayah yang membuatnya harus tinggal jauh dari keluarga.
Lebih jauh, Zaki mengungkap bahwa banyak pria yang siap menjadi suami, namun tidak siap menjadi ayah.
“Ketidaksiapan itu sering kali berakar dari pengalaman masa kecil. Jika dulu tidak memiliki contoh ayah yang baik, seseorang bisa bingung bagaimana menjadi ayah yang seharusnya,” tambahnya.
Dampak Psikologis Anak yang Tumbuh Tanpa Figur Ayah

Ketiadaan figur ayah dalam pengasuhan membawa dampak psikologis yang signifikan.
Berdasarkan kajian psikologisnya, anak yang tumbuh dalam kondisi fatherless berisiko mengalami kesulitan dalam mengelola emosi, kepercayaan diri yang rendah, serta permasalahan sosial.
“Banyak penelitian menunjukkan bahwa kemampuan anak dalam meregulasi emosi didapat dari kedekatan dengan ayah. Ketika itu tidak ada, maka anak akan kesulitan mengekspresikan emosi secara aman,” terang Zaki.
Dampak ini tidak hanya dirasakan pada masa kanak-kanak, tetapi juga terbawa hingga dewasa.
Zaki menegaskan bahwa peran ayah berfungsi sebagai pengajar how to survive di luar rumah, mengajarkan tanggung jawab, empati, dan kemampuan menghadapi dunia luar dengan tangguh.
Ketika peran ini hilang, anak akan mengalami hambatan dalam membangun kemandirian dan ketahanan diri.
Ibu dua anak itu menjelaskan bahwa bagi anak laki-laki, fatherless dapat menghambat pembentukan identitas diri sebagai laki-laki dewasa yang bertanggung jawab dan penyayang karena tidak memiliki panutan.
Sedangkan bagi anak perempuan, ketiadaan ayah kerap memunculkan trust issue atau kesulitan mempercayai orang lain.
Hal tersebut terjadi karena anak perempuan memiliki pengalaman ditinggalkan ayahnya.
“Anak perempuan yang sudah dewasa bisa saja terjebak mencari sosok penyayang di tempat yang salah karena tidak tahu seperti apa relasi yang sehat,” ujarnya.
Selain itu, anak dengan latar belakang fatherless juga cenderung mengalami masalah dalam adaptasi sosial.
Mereka bisa kesulitan membangun relasi sehat dan memiliki rasa takut kehilangan yang tinggi.
“Perasaan ditinggalkan bisa membuat anak menjadi terlalu bergantung pada figur otoritas seperti guru atau atasan, karena takut tidak diterima lagi,” lanjutnya.
Membangun Kesadaran Baru bagi Ayah dan Calon Ayah

Sebagai upaya pencegahan, Zaki menekankan pentingnya edukasi bagi para calon ayah tentang makna peran ayah dalam pengasuhan.
“Perlu diberikan edukasi bagaimana menjalankan peran sebagai ayah yang baik, bukan hanya pencari nafkah, tapi juga teladan dan sumber belajar bagi anak,” ujarnya.
Bagi keluarga yang sudah terbentuk, peran ibu juga sangat penting dalam membantu ayah terlibat aktif.
Komunikasi terbuka antara suami dan istri dibutuhkan agar pengasuhan anak bisa berjalan seimbang.
“Ibu perlu membangun komunikasi yang terbuka dan mendekatkan anak dengan ayahnya agar tercipta sinergi,” jelas Zaki.
Sementara bagi keluarga yang sudah bercerai, ia menyarankan agar kedua orang tua tetap berkomitmen dalam pengasuhan bersama.
“Meski sudah berpisah, tetap upayakan komunikasi dan keterlibatan ayah dalam kehidupan anak,” tegasnya.
Namun jika ayah benar-benar tidak bisa hadir, anak tetap perlu mendapatkan figur laki-laki dewasa lain yang bisa dijadikan panutan, seperti paman, kakek, atau guru.
“Anak-anak tetap perlu belajar tanggung jawab, empati, dan ketahanan diri dari sosok laki-laki dewasa. Figur itu bisa datang dari siapa pun yang dekat dan peduli,” pungkasnya.
Lihat juga: Gelar Seminar Kesehatan Mental, PIK-M Umsida Gali Peran Keluarga dalam Pembentukan Karakter Anak
Fenomena fatherless menjadi pengingat bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan bukan hanya urusan kehadiran fisik, tetapi juga tentang kehadiran emosional dan spiritual yang membentuk karakter anak di masa depan.
Penulis: Romadhona S.



















