Umsida.ac.id – Fenomena yang menarik perhatian masyarakat dari zaman dahulu sampai sekarang, di era modern maupun post-modern, di belahan dunia mana pun, adalah tentang ke-luar biasa-an (karamah) aksi/tindakan yang dilakukan oleh seseorang. Keluarbiasaan ini melampaui batas nalar, atau biasa disebut ajaib.
Lihat juga: Tasawuf Muhammadiyah: Sufi Berkemajuan
Ke-luar biasa-an tersebut seperti kemampuan untuk mengetahui sesuatu sebelum terjadi, menghentikan hujan, menghidupkan lagi makhluk yang telah mati, hingga perlindungan dari bahaya/musibah tanpa sebab jelas.
Dan yang paling banyak adalah mengobati orang sakit tanpa prosedur medis, dan berbagai “kemampuan” lainnya. Orang seperti ini dipastikan memiliki banyak penggemar, pendukung, bahkan pengikut.
Orang yang memiliki kemampuan extra ordinary itu, dalam pandangan tradisional dipandang sebagai sosok “orang sakti.” Di kalangan orang beragama biasanya identik dengan sosok “suci.”
Sedangkan dari kalangan ilmuwan modern menilai tindakan tidak biasa tersebut sebagai sesuatu yang terjadi secara “kebetulan,” yang akan ada penjelasan rasional dan empiris-nya di kemudian hari seiring dengan perkembangan sains.
Fenomena orang sakti
Di masyarakat mana saja, termasuk di Indonesia, terutama yang berada di lingkungan tradisional pada umumnya, orang-orang yang memiliki kelebihan tersebut diburu dan digandrungi untuk dimintai petunjuknya.
Mereka dimintai pertolongan untuk menghentikan hujan karena ada hajatan, mengobati sakit yang ringan maupun yang sudah kronis, diminta perlindungan, bahkan dimintai doa kesuksesan dalam pilpres/pilkada karena ia dianggap memiliki kekuatan gaib yang mampu mengubah suara dalam pilpres/pilkada.
Namun yang perlu diperhatikan secara seksama, juga ada banyak orang yang mengaku-aku memiliki kesaktian, memiliki kekuatan supranatural, melampaui yang alamiah, yang diperoleh melalui laku tertentu atau karena alasan memiliki nasab tertentu.
Dan tidak jarang mereka kemudian melakukan suatu “keajaiban” yang ternyata hanya memakai trik sulap yang bisa dijelaskan dengan ilmu fisika. Tujuannya adalah untuk mendapatkan pengaruh dan pengikut untuk mengeruk kekayaan mereka yang meyakininya.
Selain itu juga perlu diperhatikan dengan seksama adalah dari sumber “kesaktian” itu. Dalam agama Islam, memang ada “ilmu” tentang sihir dan sejenisnya yang dipersepsikan sebagai kesaktian makhluk “halus” dari golongan jin (Al-Baqarah:102).
Dalam ayat ini disebutkan bahwa sihir merupakan perbuatan setan yang diajarkan kepada manusia. Setan mengajarkan sihir kepada manusia untuk membuat manusia melakukan syirik
Dalam tulisan ini akan membahas hal ihwal tentang “kelebihan” atau keluarbiasaan yang dimiliki seseorang dan bagaimana perspektif Muhammadiyah.
Keluarbiasaan dalam Ajaran Islam: Karamah
Dalam ajaran agama Islam, berbagai hal tentang keluarbiasaan tersebut memang ada. Hal ini tentu tidak dibahas dalam konteks ilmu syariah. Karena syariah mambahas hal-hal yang sifatnya fenomenal, yang bersifat terserap oleh panca indera manusia dan bagaimana relasi yang dibentuk (hukum).
Hal-hal yang dibahas terkait yang noumena, atau sesuatu di balik yang nampak, itu ada dalam ilmu tasawuf. Tasawuf secara hakikat adalah ilmu tentang taqarrub ilallah atau tentang bagaimana mendekatkan diri kepada Allah melalui konsep Ihsan.
Dalam konsep ini, Bagi mereka yang memiliki ketaatan dan kedekatan kepada Allah, maka ia akan memperoleh karamah.
Dalam kajian tasawuf, konsep tentang karamah “ةمارک” (karāmah) berasal dari akar kata “مرک” (karama), yang memiliki arti “kemuliaan”, “keistimewaan”, atau “kehormatan,” yang secara kebahasaan, karamah dapat diartikan sebagai tanda keagungan, keistimewaan, atau kemuliaan dari atau bersumber dari Allah SWT, yang menciptakan dan mengatur segala yang ada di langit dan di bumi.
Dalam ranah spiritual, karamah mengacu pada kejadian luar biasa atau manifestasi spiritual/keruhanian yang dianggap sebagai tanda keberkahan dan kehadiran Allah SWT dalam kehidupan seseorang yang memiliki kedekatan spiritual yang tinggi kepada Allah.
Karamah seringkali dipersepsi merujuk pada peristiwa luar biasa atau kejadian ajaib yang terjadi pada orang-orang saleh (biasanya disebut wali) sebagai tanda kehormatan dari Allah.
Namun karamah berbeda dengan mukjizat, yang diberikan kepada para nabi dan rasul sebagai bukti kenabian mereka. Karomah lebih terkait dengan pengalaman spiritual individu yang mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dalam Islam, konsep karamah diakui oleh berbagai ulama, meskipun terdapat perbedaan pandangan mengenai sifat dan kemungkinan terjadinya karamah. Dalam Al Quran sendiri terdapat beberapa dalil yang sering dikaitkan dengan konsep karamah.
Contoh di dalam Al Quran
Seperti dalam Surah Al-Kahfi: 9-26, tentang Kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua) yang tidur selama ratusan tahun dan tubuh mereka tetap terjaga adalah salah satu contoh yang sering dikaitkan dengan karamah.
Dalam surat yang lain, Surah Maryam ayat 25-26, dikisahkan tentang bagaimana perempuan suci Maryam yang diperintahkan oleh Allah untuk menggoyangkan pohon kurma dan memperoleh buahnya saat ia sedang dalam kondisi lemah hamil besar dan melahirkan. Ini juga sering dianggap sebagai bentuk karamah.
Sedangkan dalam hadis, terdapat berbagai riwayat yang menunjukkan peristiwa luar biasa yang dialami oleh para sahabat dan tabi’in.
Salah satu contohnya adalah kisah Uwais Al-Qarni, seorang tabi’in yang dikenal sebagai wali Allah. Dalam hadits riwayat Muslim dan Ahmad, Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya sebaik-baik tabi’in itu adalah orang yang bernama Uwais. Apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya.”
Tentang karamah ini, Imam An-Nawawi dalam “Al-Majmu” dan Ibnu Taimiyah dalam “Al-Furqan bayna Awliya’ ar-Rahman wa Awliya’ asy-Syaithan” mengakui adanya karamah dan menyatakan bahwa hal ini adalah bukti dari kedekatan seseorang dengan Allah. Namun, mereka juga menekankan bahwa karamah tidak bisa menjadi dasar atau alasan bagi seseorang untuk merasa lebih tinggi atau istimewa di atas yang lain.
Hal mendasar lainnya yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana kita mempersepsi karamah. Karamah ini bisa dianalogikan dengan mainan. Ibaratnya seorang anak kecil yang sedang berjalan menuju masjid. Di tengah perjalanan ia menjumpai mainan.
Pertanyaannya, apakah sang anak akan terus berjalan ke masjid atau akan asyik-masyuk bermain-main dengan mainan. Karamah itu adalah mainan yang menggoda, jika tidak mampu istiqomah maka ia akan melupakan hakikat perjalanannya menuju masjid.
Meraih Karamah dari Allah
Karamah dalam Islam dianggap sebagai anugerah dari Allah yang diberikan kepada hamba-Nya yang saleh dan bertakwa, namun bukan sesuatu yang bisa dicari atau diminta secara khusus. Karamah diberikan kepada orang-orang yang memiliki kedekatan luar biasa dengan Allah, yang dikenal sebagai wali Allah.
Kedekatan ini didapatkan melalui ketakwaan, yaitu ketaatan yang sungguh-sungguh kepada Allah dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Orang yang bertakwa selalu berusaha menjaga hubungan yang kuat dengan Allah melalui ibadah dan amal saleh.
Orang yang mendapatkan karamah biasanya adalah mereka yang konsisten dalam ibadah, baik ibadah wajib maupun sunnah. Mereka sering berpuasa, sholat malam (qiyamullail), berzikir, membaca Al-Quran, dan melakukan berbagai amal saleh dengan ikhlas. Ibadah ini dilakukan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk mencari karamah.
Orang yang ikhlas dalam beramal, melakukan segala sesuatu hanya karena Allah tanpa mengharapkan imbalan duniawi, adalah orang yang berpotensi menerima karamah. Keikhlasan ini menjadi salah satu ciri utama dari para wali Allah yang mendapatkan karamah.
Para wali Allah yang diberikan karamah adalah orang-orang yang tawadhu dan rendah hati, tidak sombong, dan tidak merasa lebih baik dari orang lain. Mereka menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas kehendak Allah dan bukan karena kelebihan mereka sendiri.
Menjaga diri dari dosa, maksiat, dan perkara yang syubhat (meragukan) juga merupakan ciri dari mereka yang dekat dengan Allah. Orang yang berhati-hati dalam menjaga kesucian hati dan amalnya cenderung lebih dekat dengan Allah dan karenanya lebih mungkin menerima karamah.
Orang-orang yang mendapatkan karamah sering kali telah melalui berbagai ujian kehidupan dengan sabar dan tawakal kepada Allah. Kesabaran dalam menghadapi ujian, baik berupa musibah maupun tantangan hidup, menjadi salah satu kunci untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Meskipun karamah adalah hal yang luar biasa, seorang wali Allah yang sejati selalu menyadari bahwa karamah bukanlah tujuan akhir, melainkan sekadar anugerah yang tidak boleh menjadikan mereka sombong.
Mereka memahami bahwa sumber karamah adalah Allah, dan mereka terus menjaga kerendahan hati dan ketakwaan dalam kehidupannya.
Orang yang dekat dengan Allah, yang disebtu wali Allah, akan mendapat anugerah karamah dari Allah karena seseorang yang sangat dekat dengan Allah mengalami tajalli, yakni mengalami manifestasi sifat-sifat ilahi dalam dirinya.
Pada tahap ini, kesadaran seseorang menjadi begitu selaras dengan kehendak Allah sehingga semua tindakan dan persepsi mereka sepenuhnya mencerminkan kehendak dan sifat-sifat Allah.
Ketika seorang dikatakan “melihat dengan penglihatan Allah”, itu berarti bahwa pandangan atau persepsi mereka sudah tidak lagi dipengaruhi oleh ego atau keinginan pribadi, melainkan semata-mata merupakan cerminan dari kehendak ilahi.
Para wali yang dekat dengan Allah diberi karamah berupa kemampuan seperti mengobati orang sakit, mengetahui suatu kejadian sebelum terjadi, mengubah batu menjadi emas, mengubah air khamer menjadi air saat diminum, menghentikan hujan, ucapannya menjadi kenyataan, dan lain sebagainya.
Terhadap karamah tersebut, sang wali akan menyembunyikannya, bahkan beristighfar saat menggunakan karamahnya, karena menghindari ketergelinciran atau menyalahgunakan karamah dari Allah tersebut sehingga takut akan menjauhkan dirinya dari Allah SWT.
Karamah dalam tasawuf Muhammadiyah
Bagaimana Muhammadiyah sebagai salah satu gerakan dakwah dan tajdid (pembaharuan) yang dipahami sebagai gerakan yang mengedepankan aspek rasionalitas dalam bermasyarakat dihadapkan pada realitas karamah?
Dalam aturan tasawuf Muhammadiyah, khususnya yang tercantum dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) dan keputusan-keputusan Majelis Tarjih, tidak ada pembahasan khusus dan mendetail mengenai karamah.
Pendekatan tasawuf Muhammadiyah cenderung fokus pada prinsip-prinsip dasar Islam seperti tauhid, ibadah, amal saleh, dan pemberdayaan masyarakat, serta upaya pemurnian akidah dari berbagai bentuk tahayul, bid’ah, dan khurafat (TBK).
Dalam konteks ini, pembahasan akan dihadapkan dengan pendekatan yang lebih rasional dan berbasis pada prinsip-prinsip dasar Islam, seperti tauhid (keesaan Allah) dan pemurnian aqidah dari berbagai unsur yang tidak sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam tasawuf Muhammadiyah menghindari pengkultusan individu, termasuk terhadap para wali atau tokoh agama yang dianggap memiliki karamah.
PWHIWM menekankan bahwa hanya Allah yang memiliki kekuasaan penuh, dan manusia, betapa pun salehnya, tetaplah makhluk yang tidak luput dari kekurangan.
Oleh karena itu, di dalam tasawuf Muhammadiyah, tidak mendorong pemuliaan individu tertentu karena klaim karamah, melainkan mendorong penghormatan berdasarkan akhlak, ilmu, dan kontribusi sosial.
Tasawuf Muhammadiyah lebih menekankan pada pentingnya ibadah yang benar dan amal saleh yang nyata daripada mengejar fenomena supranatural seperti karamah.
Ilmu tasawuf Muhammadiyah mengajarkan bahwa kebesaran seorang Muslim terletak pada ketaatan kepada Allah, kontribusi kepada masyarakat, dan peran aktif dalam menegakkan keadilan sosial, bukan pada kemampuan melakukan hal-hal yang supranatural yang luar biasa. Di pendekatan tasawuf Muhammadiyah mengakui karamah sebagai bagian dari sejarah Islam, tetapi tidak dijadikan fokus utama.
Karamah tidak dianggap sebagai tujuan atau indikator utama keimanan dan keislaman seseorang dalam tasawuf Muhammadiyah. Melainkan bagaimana seorang Muslim menjalankan ajaran Islam dengan benar, beramal saleh, dan berkontribusi positif bagi masyarakat.
Meskipun karamah diakui, penting untuk diingat bahwa dalam Islam, hal yang paling utama adalah ketakwaan dan keimanan seseorang, bukan pada tanda-tanda atau peristiwa luar biasa yang mungkin dialami.
Sehingga, dalam hal ini, karamah yang kemudian diharapkan oleh tasawuf Muhammadiyah bukanlah peristiwa luar biasa yang bersifat fisik atau material, melainkan adalah kedekatan dan keintiman yang luar biasa dengan Allah, yang dikenal sebagai “ma’rifah” (mengenal Allah secara mendalam) dan “ridha Allah” (keridhaan Allah).
Ma’rifah adalah pengenalan mendalam dan hakiki kepada Allah. Seorang hamba yang mencapai tingkat ma’rifah ini memiliki pemahaman yang sangat dalam tentang sifat-sifat Allah, dan merasakan kehadiran-Nya dalam setiap aspek kehidupannya.
Mereka bukan hanya mengenal Allah secara teori, tetapi mengalami kehadiran-Nya secara nyata dalam hati dan kehidupan sehari-hari. Karena itu kemudian Ridha Allah adalah puncak dari semua amal dan ibadah seorang hamba.
Ketika Allah ridha kepada seorang hamba, maka hamba tersebut mendapatkan ketenangan batin, kepuasan jiwa, dan ketentraman hati. Ini adalah karamah tertinggi karena ridha Allah adalah tujuan akhir dari segala usaha dan perjuangan seorang hamba di dunia.
Dalam konteks ini, Muhammadiyah memahami bahwa karamah tertinggi tercermin dalam kemampuan seorang hamba untuk tetap istiqamah (konsisten) dalam iman dan amal saleh, meskipun dihadapkan pada berbagai ujian dan godaan dunia.
Orang yang istiqamah dalam kebaikan mendapatkan perlindungan dan bimbingan langsung dari Allah, yang merupakan bentuk karamah yang sangat tinggi. Kemudian mendapatkan husnul khatimah, yaitu meninggal dunia dalam keadaan beriman dan dalam kebaikan, adalah salah satu karamah tertinggi.
Seorang hamba yang meninggal dunia dengan membawa iman yang kuat dan amal yang saleh, serta dalam keadaan mendapat ridha Allah dan ia ridha kepada-Nya, telah mencapai puncak karamah dalam kehidupannya.
Karamah tertinggi juga bisa dilihat dari kemampuan seorang hamba untuk menjadi teladan dan membimbing orang lain menuju jalan Allah. Mereka yang diberi karamah ini dapat mempengaruhi hati dan pikiran orang lain, mengajak mereka ke arah kebaikan, dan membawa mereka lebih dekat kepada Allah.
Muhammadiyah memandang bahwa karamah, dalam bentuk apapun, harus selalu dipandang sebagai anugerah dari Allah dan bukan tujuan utama dalam hidup. Tujuan tertinggi dari seorang hamba adalah mencapai ridha Allah dan mengenal-Nya dengan sebaik-baiknya.
Oleh karena itu, karamah tertinggi dalam tasawuf Muhammadiyah adalah ketika seorang hamba mencapai puncak kedekatan dengan Allah dan menjalani kehidupan yang penuh dengan ketakwaan, kesabaran, dan keikhlasan.
Lihat juga: Asal Mula Kehidupan dalam Surat Al-Baqarah oleh Dosen Umsida
Ia senantiasa istiqamah dalam beribadah sehingga ia mendapatkan ridha-Nya dalam menjalankan kehidupan duniawi secara bersahaja dalam rutinitas hidup sehari-hari, dalam amal usaha pendidikan, kesehatan, ekonomi, lingkungan dan amal usaha penuh berkah lainnya. Inilah karamah dalam tasawuf Muhammadiyah.
Penulis: Kumara Adji Kusuma