Umsida.ac.id – Sembilan produk makanan ringan anak-anak yang kebanyakan diimpor Tiongkok ternyata mengandung babi. Namun produk-produk tersebut lolos sertifikasi halal.
Lihat juga: Halal Center Umsida Pastikan Makanan dan Pengolahan Gizi RSIA Nganjuk Tersertifikasi Halal
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menemukan makanan tersebut mengandung gelatin babi dalam salah satu bahannya.
Ternyata produk tersebut mencantumkan label halal palsu dan tersebar luas di pasaran serta e-commerce.
Padahal, kehalalan produk merupakan salah satu kewajiban bagi semua produk yang hendak dikonsumsi di Indonesia, bahkan di negara lain sertifikasi halal juga sudah menjadi keharusan.
Apa Sebab Produk Mengandung Babi Bisa Lolos Sertifikasi?
Guru Besar Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Prof Dr Hana Catur Wahyuni ST MT IPM
“Pada dasarnya dalam suatu konsep rantai pasok, semua kegiatan yang akan merubah satu produk mulai bahan baku hingga ke tangan konsumen, memiliki potensi risiko terkontaminasi halal,” ujar Prof Hana.
Artinya, imbuh dosen prodi Teknik Industri itu, pada proses rantai pasoknya, ada potensi resiko terkontaminasi sesuatu yang mengakibatkan produk halal menjadi tidak halal.
Menurut Prof Hana, perubahan kehalalan produk tersebut bisa terjadi karena faktor kesengajaan dan ketidaksengajaan.
Faktor kesengajaan disadari oleh beberapa pelaku rantai pasok.
Sedangkan faktor ketidaksengajaan, bisa terjadi karena para pelaku rantai pasok lemah dalam hal koordinasi sehingga apa yang dilakukan oleh pelaku satu dengan yang lain tidak terkomunikasikan.
“Tetapi pada dasarnya pelaku itu tidak memiliki itikad untuk memberikan kontaminasi perubahan status produk halal menjadi tidak halal,” ujar Guru Besar bidang Manajemen Rantai Pasok itu.
Produk Halal Belum Tentu Halal Jika…
Ia memberi contoh tentang pengolahan ayam dari bahan mentah menjadi bahan yang siap konsumsi.
Umumnya, ayam merupakan salah satu bahan makanan halal yang bisa dikonsumsi masyarakat. Namun ayam tersebut bisa menjadi tidak halal ketika ayam itu disembelih dengan cara yang tidak sesuai dengan syariat Islam.
“Hal tersebut sering menjadi kesalahpahaman di masyarakat karena mereka menganggap daging ayam merupakan produk halal yang bisa disembelih dengan cara apapun itu tidak mengubah kehalalannya,” terangnya.
Selain itu, tambahnya, ada lagi kegiatan yang akan menjadi potensi risiko perubahan status kehalalan produk.
Misalnya pada proses distribusi. Sejak awal, produk tersebut diolah dengan cara yang halal. Namun ketika proses pendistribusian, produk tersebut tercampur dengan hal lain yang tidak halal.
“Kehalalan produk juga harus terus dipastikan termasuk dalam hal transportasi juga. Perubahan status halal menjadi tidak halal itu ada di banyak tempat,” kata dosen lulusan S3 ITS tersebut.
Alur Pengecekan Kehalalan Produk

Prof Hana mengatakan bahwa sebenarnya dalam pengecekan produk, terdapat beberapa pengecekan.
Produk akan diuji kandungannya di laboratorium. Uji ini akan mendeteksi kandungan bahan makanan sebelum diedarkan.
Pengecekan selanjutnya yaitu melalui penelusuran (traceability) data.
“Ini kan produk impor. Begitu produk tersebut dibawa ke Indonesia, dia pasti akan dilengkapi dengan data-data. Data tersebutlah yang seharusnya diperiksa terkait bahannya, produsennya, asal negara, dan kandungan bahannya,” jelas Prof Hana.
Menurutnya, kekuatan penelusuran data sangat penting untuk menjamin kehalalan produk. Mungkin saja ada beberapa aspek yang terlewat seperti sertifikatnya belum dicek ulang atau belum mengingat produk tersebut dikirim dengan jumlah yang sangat banyak.
Sertifikasi Halal di Indonesia

Prof Hana menjelaskan bahwa masing-masing negara memiliki regulasi terkait standar halal tersendiri. Namun sebenarnya konsep dasarnya sesuai dengan yang ada dalam Al Quran.
“Di Indonesia sendiri, masyarakat mengarah kepada kesempurnaan meskipun dalam implementasinya ada beberapa celah yang bisa digunakan untuk tidak mengimplementasikan standar ini dengan baik,” tandasnya.
Sebenarnya, kata Hana, Indonesia sudah sesuai standar. Tapi dalam implementasinya sangat membutuhkan usaha keras bagi semua pihak agar benar-benar berkomitmen menjalankan standar kehalalan.
Misalnya setelah tersertifikasi halal, maka semua pihak harus memiliki komitmen untuk tidak merubah bahan-bahan yang sudah diajukan pada sertifikat halal tersebut.
Andai mengajukan, maka harus memberikan informasi pada (BPJPH).
Bagaimana Jika Gemar Impor Barang Pribadi
Saat ini masyarakat yang sudah bisa dengan bebas memesan barang apapun dari luar negeri secara pribadi.
Dalam hal ini, Prof Hana menekankan beberapa poin untuk orang yang gemar membeli produk dari luar negeri secara pribadi.
Menurutnya hal tersebut tergantung pada komitmen konsumen ketika memutuskan untuk membeli barang dari luar negeri.
Mereka harus mengecek terlebih dahulu tentang kehalalan produk beserta bahan dan kandungannya. Mereka juga sangat disarankan untuk lebih aware terkait penelusuran sertifikat halal. Terlebih saat ini kehalalan produk bisa dicek secara mandiri
“Meskipun warga Indonesia mayoritas beragama muslim, tidak berarti produk tidak terkontaminasi halal di setiap tahap rantai pasok,” tuturnya.
Ia menyarankan agar masyarakat lebih memahami tentang dasar-dasar dan istilah bahan halal dan non halal.
“Misalnya kita sudah tahu tentang karakteristik daging babi, tapi kita belum tentu tahu kalau bulu babi bisa diproduksi menjadi kuas,” jelas Wakil Rektor 1 Umsida itu.
Ia mengatakan bahwa pemahaman seperti itulah yang perlu disadari. Bahan tidak halal tidak serta-merta dalam bentuk mentah, dia bisa menjadi produk turunan yang seringkali diremehkan.
Dampak kepada Masyarakat
“Kasus ini menjadi evaluasi bagi konsumen bahwa produk impor itu tidak serta merta lebih bagus dan lebih terpercaya,” ujarnya.
Konsumen tidak boleh cepat percaya bahwa produk yang memiliki sertifikat halal sudah terjamin kehalalannya, ada baiknya mereka memiliki product knowledge.
“Hal ini juga menjadi evaluasi bagi pemerintah yang “kecolongan”. Tapi di sisi pelaku usaha juga lebih memperhatikan terkait administrasi dan kebutuhan masyarakat Indonesia yang saat ini mulai kritis dalam menanggapi sesuatu,” jelas Prof Hana.
Secara umum, imbuhnya, ini juga menjadi pelajaran agar masyarakat Indonesia lebih memahami cara mengimplementasikan standar halal, terutama dari sisi pelaku usaha untuk menjaga komitmen menjamin kehalalan produk.
Penulis: Romadhona S.