Umsida.ac.id – Ternyata, kesehatan gigi menjadi masalah utama yang dialami masyarakat Indonesia. Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Kesehatan republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin ketika menemukan data terkait hasil cek kesehatan gratis.
Melihat realita itu, Menkes menyebut bahwa mahalnya biaya dan sulitnya pendidikan dokter gigi menjadi salah satu penyebab utama minimnya jumlah praktisi di bidang tersebut.
Lantas ia berencana akan berdiskusi dengan institusi pendidikan kedokteran gigi. Selain itu, Menkes juga akan mempertimbangkan tentang pelatihan keterampilan bagi tukang gigi agar bisa berkontribusi dalam menyelesaikan masalah ini.
Lihat juga: Sepele Tapi Sakit, 6 Penyakit Gigi dan Mulut yang Sering Dialami
Kondisi Dokter Gigi di Indonesia
Dosen Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (FKG Umsida), drg Dwi Wahyu Indrawati SH MKes SpPerio menyebutkan bahwa memang saat ini Indonesia sedang menghadapi krisis ketersediaan tenaga dokter gigi, terlebih di daerah-daerah terpencil dan 3T.
“Data menyebutkan hanya sekitar 73% Puskesmas yang memiliki dokter gigi. Ini menunjukkan adanya kesenjangan distribusi yang cukup besar. Tidak hanya soal jumlah, tetapi juga soal ketimpangan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan gigi yang berkualitas,” ujar drg Dwi, sapaanya.
Selain itu, imbuh dosen yang juga aktif di Ikatan Periodonsia Indonesia itu, tingginya angka keluhan sakit gigi menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap kesehatan gigi dan mulut masih rendah.
“Banyak yang menganggap sakit gigi sebagai hal biasa dan baru datang berobat ketika kondisinya sudah parah,” katanya.
Ditambah lagi dengan edukasi tentang pencegahan, pentingnya perawatan rutin, dan pola hidup sehat yang masih minim.
Terkait rencana Menkes untuk melibatkan tukang gigi dalam penyelesaian masalah ini, drg Dwi berpendapat bahwa rencana itu harus dikaji secara sangat hati-hati.
Jika yang dimaksud adalah pelatihan untuk Terapis Gigi dan Mulut (TGM) yang memang sudah memiliki latar belakang pendidikan formal, itu adalah langkah yang dapat didukung.
Namun, kata dokter spesialis Periodonsia itu, jika mengarah pada pelatihan tukang gigi tanpa dasar kompetensi medis, maka akan berisiko tinggi dan bisa berakibat buruk pada keselamatan pasien.
“Kita tidak bisa menjadikan masalah krisis dokter gigi sebagai pembenaran untuk memberikan pelayanan oleh pihak yang tidak kompeten,” terangnya.
Apa Perbedaan Tukang Gigi dan Dokter Gigi?
Perbedaan antara dokter gigi dan tukang gigi sangat mendasar.
Dokter gigi memiliki kompetensi ilmiah dan klinis untuk mendiagnosis, merencanakan perawatan, dan melakukan tindakan medis yang kompleks, termasuk penanganan kasus-kasus seperti periodontitis, impaksi gigi, atau trauma.
“Sementara tukang gigi tidak memiliki kompetensi klinis maupun keilmuan medis, sehingga praktik mereka di luar batas legal dan berisiko merugikan pasien,” jelas drg Dwi.
Ia berpendapat bahwa jika tingginya kebutuhan layanan seharusnya menjadi motivasi untuk memperbaiki sistem, bukan menurunkan standar.
Tukang Gigi Bukanlah Nakes
Dalam konteks saat ini, imbuhnya, tukang gigi tidak termasuk dalam tenaga kesehatan yang diakui oleh Undang-Undang dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) sebagai bagian dari sistem pelayanan kesehatan.
Ia menyebut bahwa keterlibatan mereka sangat terbatas, hanya dalam lingkup pembuatan gigi tiruan lepasan sederhana, dan itu pun harus di bawah pengawasan.
“Jika ingin dilibatkan lebih jauh, mereka harus mengikuti jalur pendidikan formal terlebih dahulu untuk memperoleh kompetensi dan legalitas praktik,” terang dokter yang sedang mengenyam pendidikan S3 di FKG Universitas airlangga itu.
Dengan melibatkan tukang gigi dalam menyelesaikan permasalahan kesehatan gigi di Indonesia, drg Dwi menyebut akan ada beberapa resiko yang cukup serius. Beberapa di antaranya seperti:
- Kesalahan diagnosis dan tindakan yang bisa memperburuk kondisi pasien.
- Infeksi silang akibat prosedur yang tidak steril.
- Malpraktik tanpa ada pertanggungjawaban hukum yang jelas.
- Penurunan kualitas layanan kesehatan gigi nasional, karena praktiknya tidak berbasis ilmu dan tidak diawasi oleh sistem medis resmi.
- Masyarakat menjadi bingung membedakan mana yang legal dan mana yang tidak, sehingga dapat memperluas praktik ilegal.
Oleh karena itu, ia menyarankan beberapa strategi jangka panjang yang bisa dilakukan guna menekan permasalahan kesehatan gigi dan juga memperbanyak jumlah dokter gigi, seperti:
- Peningkatan jumlah dan kapasitas FKG di seluruh Indonesia dengan distribusi yang lebih merata.
- Beasiswa afirmatif untuk putra daerah, agar mereka kembali mengabdi di wilayah asal.
- Program penugasan khusus yang disertai insentif menarik.
- Peningkatan kuota dan percepatan distribusi internship dokter gigi.
- Penguatan sistem rujukan dan telemedicine gigi agar daerah terpencil tetap bisa mendapat konsultasi ahli.
- Kolaborasi dengan TGM dan profesi kesehatan lain dengan batasan tugas yang jelas dan berbasis regulasi.
Ia menyebut bahwa peran institusi pendidikan sangat penting untuk menghadapi kondisi ini.
Lihat juga: Sadari Pentingnya Kesehatan Gigi dan Cuci Tangan Sejak Dini, KKNP 64 Umsida Buat Kegiatan Ini
“Kami di FKG harus memperkuat pengabdian masyarakat, edukasi berbasis komunitas, dan integrasi dengan puskesmas atau sekolah-sekolah. Mahasiswa juga harus dibekali kemampuan komunikasi yang kuat agar bisa menjadi agen perubahan di tengah masyarakat,” tutupnya.
Penulis: Romadhona S.