Umsida.ac.id – Lailatul Qadar atau malam yang Qadar (malam yang ditetapkan oleh Allah Swt) memiliki kelebihan dari malam-malam yang lainnya, yakni memiliki kebaikan lebih dari seribu bulan (khoirun min alfi sahrin).
Lihat juga: Gelar Abdi Ramadan di 2 Titik, BEM Umsida Bangun Kepedulian Sosial
“Hal ini mengandung pengertian bahwa setiap amalan kebaikan yang dilakukan pada malam yang bertepatan dengan malam Qadar, pahalanya akan dilipatgandakan oleh Allah SWT,” ujar dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (PAI Umsida), Rahmad Salahuddin TP SAg MPdI.
Hal tersebut, imbuhnya, seperti melakukan amalan tersebut setiap malam selama seribu bulan, atau kebaikan yang diperoleh dari amaliyah tersebut, memiliki nilai kebaikan yang senilai dengan seribu bulan.
Amalan Saat Lailatul Qadar
Dalam rangka menyambut datangnya malam Lailatul Qadar, Rasulullah memaksimalkan kemampuan ibadahnya dan memberikan contoh kepada umatnya dengan cara melakukan i’tikaf.
Aisyah meriwayatkan kebiasaan Rasulullah sebagai berikut:
”كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ.”
(HR. Bukhari no. 2026, Muslim no. 1172)
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan sampai Allah mewafatkannya. Kemudian istri-istri beliau pun beri’tikaf setelah beliau wafat.”
”كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ.”
(HR. Bukhari no. 2024, Muslim no. 1174)
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat memperhatikan sepuluh hari terakhir bulan Ramadan dengan beri’tikaf, memperbanyak ibadah, dan mengajak keluarganya untuk beribadah bersama.

Dosen yang tengah menenpuh S3 di UMM itu menambahkan, “Rasulullah tahu betul kondisi umatnya baik pada masanya maupun sesudahnya (umatnya saat ini) yang sukanya melakukan perbuatan secara instan dengan hasil yang maksimal.”
Andai saja Rasulullah memberikan informasi secara akurat terkait dengan waktu terjadinya Lailatul Qadar, maka niscaya umat Rasulullah hanya melakukan ibadah dengan sungguh-sungguh dan kebaikan hanya sekali di bulan Ramadan, yakni di malam Qadar.
“Perlu diklarifikasi bahwa yang turun di malam Lailatul Qadar itu para malaikat dan ruh (malaikat jibril) untuk menyaksikan perlombaan ibadah dan kebaikan yang dilakukan oleh umat mukmin, bukan malam Lailatul Qadar,” terang Rahamd.
Karena malam Lailatul Qadar, imbuhnya, pasti akan dilalui oleh setiap manusia baik yang beriman atau tidak, baik yang sedang beribadah puasa atau tidak, baik yang melaksanakan qiyamul lail atau tidak.
Hanya saja saat kebaikan dan ibadah yang dilakukan pada waktu bertepatan dengan malam Qadar, mereka akan memperoleh pahala atau kebaikan dari ibadahnya atau amaliyah-amaliyah kebaikannya senilai dengan seribu bulan, bagi tidak melakukan amaliyah kebaikan atau ibadah, maka Lailatul Qadar akan berlalu begitu saja.

“Kekeliruan pemahaman di masyarakat itu seolah-olah Lailatul Qadar sebagai suatu benda yang diperoleh pada malam Lailatul Qadar dan cara mendapatkannya harus beri’tikaf di masjid yang disesuaikan dengan kearifan lokalnya masing-masing,” kata Anggota Majelis Dikdasmen PWM Jawa Timur tersebut.
Padahal sesungguhnya, setiap amaliyah kebaikan, apakah itu qiyamu Ramadan, sodaqoh jariyah, atau perbuatan yang terkait dengan sikap dan sifat seseorang terhadap sesama manusia, akan dicatat sebagai kebaikan yang memiliki nilai yang sama dengan seribu bulan.
Lihat juga: 3 Hadits Ini Jelaskan Tentang Tanda Datangnya Lailatul Qadar
“Dan sesungguhnya Allah maha Rahman dan Rahim Allah Swt, bahwa amalan yang tidak baik (su’) tidak dihitung ketidak baikannya selama seribu bulan,” tutupnya.
Penulis: Romadhona S.