Umsida.ac.id – “Ketika kita membicarakan sebuah persoalan kebijakan, tentu ada latar belakang yang ada sebelum kebijakan ini dibuat. Dan ini saya rasa perlu ditelaah,” ungkap Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) Dr Hidayatulloh MSi membuka kegiatan Diskusi Publik bertema Pro-Kontra Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, Selasa (23/11).
Umsida sebagai salah satu perguruan tinggi Muhammadiyah yang ada di Sidoarjo tunjukkan sikap perseptif terhadap kebijakan Mendikbudristek Nadiem Makarim terkait Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) yang tertuang dalam Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021.
Rektor Umsida tersebut menyampaikan, kebijakan baru yang akan diterapkan di seluruh perguruan tinggi tersebut menjadi persoalan aktual dan telah banyak menuai kritik dari berbagai elemen masyarakat. Maka diskusi yang terbuka untuk menelaah kebijakan tersebut dengan menggunakan beberapa disiplin ilmu dan melihat persoalan dari banyak perspektif civitas akademika.
Menurut pandangannya, urgensi Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021 terletak pada tindakan asusila. “Dalam banyak riset, menurut hemat saya persoalannya ada pada tindakan asusila, jadi kalau tidak ada tindakan asusila pelanggaran seksual, saya berkeyakinan tidak ada kekerasan seksual. Kalau yang lebih substantif itu adalah pelanggaran seksual tindakan asusila, maka seharusnya pemerintah lebih fokus untuk menyelesaikan persoalan tindakan asusila,” tuturnya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan ada 5 hal yang bisa disoroti dalam pembentukan kebijakan ini. Poin pertama adalah perumus dan aktor kebijakan Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021. “Jika ada pembicara yang berhasil mengungkap siapa perumus atau aktor dari kebijakan ini, saya kira menarik juga,” ucapnya.
Poin kedua dan ketiga yakni bagaimana proses penyusunan kebijakan ini dirumuskan dan isi yang terkandung di dalamnya. “Prosesnya tentu diawali dengan collect berbagai persoalan yang mendasar, kemudian diambil masalah-masalah pokok yang perlu dibicarakan, sampai dirumuskan kebijakan ini,” ujarnya.
Kemudian poin keempat dan kelima yakni implementasi dan bagaimana dampaknya jika kebijakan ini diimplementasikan. Rektor Umsida tersebut menegaskan, pasal 5 ayat 2 adalah pasal paling krusial dan paling banyak diperdebatkan. “Karena di pasal tersebut persoalan utamanya disebut kekerasan seksual apabila tidak ada persetujuan korban. Artinya kalau sama-sama setuju, itu bukan persoalan. Jika itu yang terjadi, maka ada persoalan serius dalam dunia pendidikan kita. Saya kira dampak itu yang perlu kita antisipasi,” jelasnya.
Selain itu, kebijakan yang mengharuskan agar perguruan tinggi membentuk tim satgas dinilai represif. Pasalnya, dalam kebijakan Permendikbudristek Nomor 30 ini menitikberatkan ancaman untuk menghilangkan bantuan sarana, dana, dan penurunan akreditasi institusi bagi tim yang tidak menjalankan kebijakan tersebut. “Saya kira ini persoalan yang tidak nyambung. Maka hal tersebut bisa dikupas oleh bapak-ibu pembicara dan direspon oleh peserta webinar kali ini,” terangnya.
Dengan demikian, Dr Hidayatullah berharap agar melalui webinar diskusi publik ini bisa memberikan perspektif yang lebih jernih dalam berbagai sudut pandang melalui beberapa telaah disiplin ilmu. “Tujuannya agar kita bisa mengambil sikap yang tepat secara pribadi, kolektif, atau kelembagaan. Sehingga pendidikan kita bisa on track untuk mengembangkan dan menjalankan misi membangun sumber daya manusia yang memiliki kekuatan moral dan pengetahuan di dalam kehidupan yang semakin kompleks hari ini,” pungkasnya.
Penulis : Shinta Amalia Ferdaus