Umsida.ac.id – Selama satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, tidak ada perubahan baik yang signifikan terjadi dalam praktek ketatanegaraan selama setahun terakhir.
Tak Ada Perubahan Signifikan dalam Praktik Ketatanegaraan
Hal tersebut disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr Rifqi Ridlo Phahlevy SH MH.
Lihat juga: Prabowo Reshuffle Kabinet Lagi, 5 Menteri Diganti, Pakar Umsida: Itu Wajar
“Tapi proses demokrasi yang busuk dan penuh kolusi yang melahirkan kepemimpinan Prabowo-Gibran yang berujung dengan politik akomodasi dan transaksional yang sejatinya diwariskan sejak era kepemimpinan sebelumnya,” terang Dr Rifqi.
Hal tersebut, imbuhnya, tercermin dari struktur kabinet yang gemuk dengan unsur pejabat kementerian yang dipilih berdasar preferensi partai politik pendukung.
Akibatnya, program dan kebijakan tidak sepenuhnya fokus pada pencapaian asta cita Presiden.
Pemisahan beberapa struktur kementerian untuk memberi ruang jabatan pada relasi politik Presiden Prabowo juga berdampak buruk pada runyamnya proses penataan kelembagaan dan layanan publik di tingkat pusat dan daerah.
Itu berpengaruh pada kerumitan alur birokrasi dan komunikasi dalam proses pelaksanaan tugas dan program kerja yang bersifat lintas kelembagaan (kementerian).
“Belum lagi masalah peningkatan beban keuangan negara akibat peningkatan kebutuhan SDM untuk mengisi pos jabatan yang baru,” jelasnya.
Menurut Dr Rifqi, semua kerumitan itu hadir sebagai ongkos bagi upaya Presiden Prabowo menciptakan rasa “aman dan tenang” dalam memerintah.
“Politik akomodatif tersebut terbukti berhasil mematikan ruang oposisi dan fungsi check and balances yang seharusnya dijalankan oleh legislatif,” kata dosen Prodi Hukum itu.
Bahkan, lanjutnya, tidak sedikit NGO dan CSO yang harusnya independen dan otonom masuk dalam lingkar kekuasaan, sehingga tidak lagi bisa bersuara lantang mengkritik kerja pemerintahan.
Presiden berdalih bahwa sikap dan langkah politik tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan identitas demokrasi Indonesia yang mengedepankan musyawarah untuk mufakat, berlandaskan nilai persatuan dan kekeluargaan.
Ketika pendiri bangsa, perumus Pancasila dan konstitusi pertama, mengajarkan dan mencontohkan adanya proses dialektika peradaban memungkinkan adanya diskursus, ruang kritik dan pertarungan gagasan secara terbuka dalam proses bernegara.
Stabilitas Politik Setahun Kepemimpinan Presiden Prabowo

Di Indonesia yang menerapkan demokrasi presidensial, ujar Dr Rifqi, Presiden Prabowo harusnya tidak membutuhkan dukungan mayoritas partai politik di parlemen untuk menjaga keberlangsungan kekuasaannya.
Demonstrasi masif berujung kekerasan dan kerusuhan di sejumlah daerah pada Agustus lalu yang harusnya jadi pelajaran Presiden Prabowo bahwa Parpol tidak lagi merepresentasikan legitimasi publik.
Persepsi buruk masyarakat terhadap politisi cenderung lekat dengan KKN dapat berdampak buruk pada citra dan legitimasi publik Presiden.
“Terlebih ketika Presiden tetap mempertahankan pola akomodasi politik yang diwariskan oleh pendahulunya,” ungkap Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Umsida itu.
Presiden, imbuhnya, hanya perlu berfokus merebut dukungan rakyat.
Untuk itu, ia cukup berfokus menerbitkan kebijakan dan menjalankan program kerja yang sesuai dengan amanat konstitusi dan kebutuhan rakyat.
Rakyat dengan sendirinya akan berdiri di belakang Presiden ketika ia dapat memperlihatkan dan membuktikan komitmennya terhadap pemenuhan kesejahteraan rakyat.
Penerapan Prinsip Negara Hukum

Dr Rifqi menjelaskan bahwa negara hukum berpijak pada tiga prinsip dasar, yakni supremasi hukum, persamaan kedudukan di hadapan hukum, dan Due Process of law.
“Dari ketiga prinsip dasar tersebut, sulit untuk melihat adanya progresi yang secara signifikan menandai capaian positif pemerintahan Prabowo saat ini,” terangnya.
Setahun terakhir ini, masyarakat sulit menemukan adanya momen yang menandai supremasi hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Kasus Tom Lembong dan Hasto Kristianto bahkan menegaskan adanya problem supremasi dalam sistem hukum di Indonesia.
Menurutnya, kedua kasus tersebut memperlihatkan kuatnya tarikan dan tuntunan kepentingan politik dalam hukum dan pembentukan hukum.
Hukum tidak lagi menjadi standar keadaban tertinggi yang disepakati dan diakui bersama seluruh elemen bangsa.
Setahun terakhir, lanjut Dr Rifqi, hukum masih tetap dengan identitas lamanya di era Jokowi.
Iklimnya cenderung sebagai stempel kekuasaan dan instrumen kepentingan elite politik dan pemodal yang di belakangnya.
Hukum yang seharusnya memegang supremasi, dalam prakteknya politik dan pemodal lah yang bersupremasi atas hukum.
Pada aspek persamaan kedudukan dihadapan hukum, problem klasik tentang hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah masih terjadi.
“Tidak ada partisipasi yang benar-benar bermakna dari rakyat. Partisipasi warga tidak lebih dari sekedar pelengkap administratif,” terang alumni S3 UM Surakarta itu.
Setahun pemerintahan Pak Prabowo, menurutnya, RUU Perampasan aset menjadi atensi publik yang belum jelas rimbanya.
Padahal Presiden Prabowo sangat lantang berbicara tentang anti korupsi.
Di sisi lain, praktik pengabaian hak warga hingga intimidasi dalam kasus pagar laut, pelaksanaan PSN, proyek pertambangan, hingga alih fungsi lahan oleh pemodal dan pengembang juga masih belum berhasil diakhiri.
Lalu pada aspek due process of law, perbaikan telah dilakukan dengan disahkannya UU KUHP yang efektif berlaku di tahun 2026.
Namun, kata Dr Rifqi, patut ditunggu apakah nantinya akan ditunjang dengan KUHAP yang progresif dan responsif.
“Civil society dan insan kampus perlu mengawal ketat proses pembentukan UU KUHAP, guna memastikan konstruksi norma dan prosedur yang ditetapkan menjamin adanya keadilan,” ujarnya.
Lihat juga: Pakar Hukum Umsida Analisis Abolisi Tom Lembong dan Implikasinya Bagi Keberlanjutan Hukum
Pengawalan itu dibutuhkan mengingat dinamika berebut kuasa antar lembaga penegak hukum dalam proses pembentukan UU KUHAP berpotensi melahirkan bias, penyalahgunaan wewenang dalam proses penegakan hukum.
Sumber: Dr Rifqi Ridlo Phahlevy SH MH
Penulis: Romadhona S.