Umsida.ac.id – Wilayah Aceh dan beberapa provinsi di pulau Sumatera diguyur hujan ekstrim terus-menerus sejak 23 hingga 25 November 2025 hingga meluluhlantakkan daratan dan belum berstatus bencana nasional.
Tanggal 23 Hujan mengguyur sebagian wilayah Sumatera Barat. keesokan harinya hujan yang juga tak kalah lebatnya melanda sebagian wilayah tersebut hingga ke Sumatera Utara.
Lihat juga: Banjir Aceh – Sumatera Ditilik dari Kajian Ilmiah Dosen Umsida, Ini Penyebabnya
Lalu pada 25 November hujan Extreme yang diperkirakan 3 kali kekuatan hujan di Sumatera Utara dan Sumatera Barat terjadi di Aceh.
Hujan deras selama berturut-turut itu menyebabkan banjir bandang di wilayah tersebut hingga memutus segala akses dan aktivitas.
Namun hingga 5 Desember 2025, bencana yang telah mengakibatkan 836 orang meninggal dunia, 59 orang hilang, dan 2700 warga mengalami luka, pemerintah belum juga menetapkan peristiwa besar ini sebagai bencana nasional, mengapa?
Alasan Banjir Aceh – Sumatera Belum Berstatus Bencana Nasional
Pakar hukum tata negara Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr Rifqi Ridlo Phahlevy SH MH merangkum tiga asalan banjir ini belum menjadi bencana nasional.
Yang pertama, ia mengatakan bahwa penetapan status bencana merupakan wewenang Pemerintah pusat.
“Dalam hal ini presiden memiliki diskresi untuk mengeluarkan kebijakan terkait penetapan status bencana nasional,” terangnya.
Menurut Dr Rifqi, tidak segera ditetapkannya status bencana banjir Aceh – Sumatera sebagai bencana nasional kemungkinan berkaitan dengan perhitungan konsekuensi yang harus ditanggung negara (dalam hal ini hitungan ekonomi dan kapasitas keuangan) untuk mengatasi kondisi yang ada.
Yang kedua, karena penetapan status bencana nasional berkaitan dengan tanggung jawab penanganan dan pemulihan yang diambil alih oleh negara, maka negara harus mau dan siap menanggung pembiayaan yang dibutuhkan untuk proses penanganan dan pemulihan, yang tidak hanya saat bencana, tapi juga pasca bencana.
Ketiga, menurut perhitungan Dr Rifqi, pemerintah (red: Presiden), sedang berpikir keras karena dihadapkan dengan dilema karena disatu sisi beliau harus menjaga proses pemulihan ekonomi nasional yang masih dalam kondisi lemah.
Banjir Sudah Layak Masuk dalam Status Bencana Nasional

Jika dibandingkan dengan bencana lumpur lapindo dan tsunami Aceh, serta dilihat dari tingkat kerusakan, bobot kerugian dan jumlah korban yang diderita dari bencana banjir Sumatera, Dr Rifqi berpendapat bahwa seharusnya musibah banjir di Sumatera sudah layak untuk ditetapkan sebagai bencana nasional.
“Kerusakan dan kerugian yang diderita masyarakat Sumatera dari musibah banjir ini saya rasa jauh lebih besar dari tragedi lumpur lapindo yang saat itu ditetapkan sebagai bencana nasional,” terangnya.
Pendapat tersebut ia lontarkan berdasarkan Pasal 7 Ayat (2) UU No. 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana.
Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa indikator penetapan status bencana adalah jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
“Dalam hal ini, rujukan kita untuk menakar kelayakan status bencana nasional adalah dasar dan takaran penetapan status pada musibah lumpur lapindo dan tsunami Aceh,” tuturnya.
Menurutnya, desakan agar negara segera menetapkan status bencana nasional adalah agar korban bencana segera dapat ditangani dan diselamatkan.
Selain itu, proses penanganan bisa lebih masif dan komprehensif oleh pusat, mengingat radius bencana yang bersifat lintas daerah dan 3 provinsi.
Bukan Berarti negara Tidak Bertanggung Jawab

Secara teori dan norma, tutur doktor lulusan UM Surakarta itu, tidak ditetapkannya status bencana nasional bukan berarti negara tidak ikut campur dan bertanggung jawab.
“Sampai hari ini proses penanganan sejatinya sudah dijalankan menggunakan instrumen pemerintah pusat,” jelasnya.
Namun, kata Dr Rifqi, kecepatan dalam penanganan korban banjir sumatera saat ini penting, mengingat keterbatasan kondisi mereka saat ini.
“Dan kecepatan itu bisa didorong dengan penetapan status bencana nasional,” tandas Kepala Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Umsida itu.
Walaupun belum berstatus bencana nasional, Dr Rifqi berkata bahwa hak korban bisa dan wajib dipulihkan oleh negara dengan atau tanpa penetapan status tersebut.
“Bencana ini sejatinya hasil dari salah urus hutan oleh penguasa. Karenanya, selain pemulihan hak korban, pemerintah harus memastikan bahwa pejabat yg memiliki andil atas kerusakan lingkungan dan hutan yang menyebabkan banjir itu harus dihukum berat,” terang Dr Rifqi.
Lihat juga: Banyak Kayu Gelondongan di Banjir Sumatera, Pakar Umsida: Perusahaan harus Imbangi Ekonomi dan Ekologi
Selain itu, imbuhnya, korporasi yang terlibat harus dituntut untuk mengganti dan memulihkan kerusakan lingkungan serta derita warga.
Sumber: Dr Rifqi Ridlo Phahlevy SH MH
Penulis: Romadhona S.



















