Umsida.ac.id -Pusat Studi Gender dan Perlindungan Anak (PSGPA) Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) melaksanakan kegiatan terakhir sekaligus menutup serangkaian Program Pelatihan Sekolah Dasar Responsif Gender yang berlangsung selama 3 hari (17 – 19 Mei 2022) di Auditorium KH Ahmad Dahlan, Kamis (19/5).
Peserta dari 10 Sekolah Dasar se-Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo, hadir untuk menyemarakkan kegiatan akhir program pelatihan tersebut. Di antaranya SD Muhammadiyah 1 Candi Labschool Umsida, SDN Tenggulunan, SDN Larangan, SDN Sumokali, SDN Sepande, SDN Sidodadi, SDN Durung Bedug, SDN Durungbanjar, SDN Jambangan, dan SDN Kedungkendo.
Kepala PSGPA Kemil Wachidah SPd I MPd menegaskan, program kerjasama PSGPA Umsida dan INOVASI, serta mengundang 10 sekolah sebagai pilot responsif gender bertujuan untuk mewujudkan sekolah responsif gender dengan 7 indikator, termasuk metode pembelajaran responsif gender, kebijakan dan kepemimpinan yang proporsional antara laki-laki dan perempuan.
Kepada tim Umsida.ac.id, Nurokhmah Fitriani, guru kelas 6 SD Larangan mengaku, kegiatan ini memberikan perubahan mindset, asumsi atau stereotip tentang peran gender secara sosial. Selain itu, ia menyadari kebutuhan sarana dan prasarana bagi peserta didik perlu ditingkatkan. Hal itu bisa dimulai dengan pengadaan tempat sampah di toilet perempuan, penyediaan pembalut dan rok di UKS.
“Kami juga berusaha untuk membuat ruang ganti bagi siswa, misalnya habis olahraga ganti pakaian tidak di ruang kelas yang rawan diintip oleh sesama temannya,” ujarnya.
Pemahaman terkait peran gender ini menurut Nurokhmah bisa diaplikasikan dari aktivitas di sekolah. Misalnya lewat kegiatan menyapu saat piket di sekolah yang bisa dilakukan oleh siswa laki-laki dan perempuan, siswa perempuan dengan suara lantang memimpin upacara, bahkan dalam permainan dakon, siswa laki-laki bisa ikut serta.
Siti Khoiriyah, kepala SDN Sumokali juga menyampaikan hal senada, pelatihan responsif gender yang menyasar kepada guru dan tenaga kependidikan ini memberikan perubahan signifikan dalam mengubah perspektif bias gender di lingkungan sekolah.
“Pada awalnya sikap kita ini kurang maksimal dalam menyetarakan antara laki-laki dan perempuan, tetapi setelah mengikuti pelatihan ini kami jadi lebih menyadari dan lebih selektif lagi bahwasannya apa yang kita lakukan selama ini belum menyetarakan laki-laki dan perempuan, terutama di sekolah,” tuturnya.
Selanjutnya, Siti Khoiriyah juga mendukung penganggaran dana secara khusus untuk memperhatikan kebutuhan siswa laki-laki maupun perempuan, khusunya di tingkat SD yang melalui anggaran dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). “Kebutuhan untuk siswa laki-laki dan perempuan perlu diperhatikan supaya mereka merasa nyaman dengan fasilitas yang ada di sekolah, dimana mereka bisa nyaman beraktivitas dan berkreatifitas,” ujarnya.
Melalui pelatihan ini, ia berharap agar nantinya para guru bisa mengimplementasikan apa yang ada dalam pelatihan ke dalam pembelajaran sehari-hari sebagaimana yang sedang digalakkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dalam kurikulum merdeka. (Shinta Amalia/Etik)
*Humas Umsida