Umsida.ac.id – Kementerian Pertanian (Kementan) membuat program petani milenial yang menargetkan pemuda usia 19 hingga 39 tahun yang berminat di bidang pertanian.
Lihat juga: Teken PP No 47 Tahun 2024, Prabowo Hapus Utang Petani-Nelayan, Ini Kata Dosen Umsida
Mengutip dari lama Kompas.com, menteri pertanian, Amran Sulaiman mengatakan bahwa program ini bertujuan untuk menarik minat generasi muda untuk mendalami dunia pertanian menggunakan teknologi modern.
Seperti yang diketahui bahwa semakin ke sini, minat anak muda di bidang pertanian terus berkurang. Bahkan mentan melalui program ini, akan memberikan gaji sebesar 10 juta rupiah per bulan kepada para petani milenial.
Lalu, apakah dengan penawaran yang diajukan pemerintah itu benar-benar menjanjikan bagi generasi muda? Akankah program ini bisa memajukan sektor pertanian di Indonesia menggunakan teknologi modern?
Pakar pertanian Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Intan Rohma Nurmalasari SP MP turut menanggapi program anyar tersebut.
Petani Milenial Patut Didukung
Menurutnya, petani milenial adalah anak muda yang adaptif dalam pemahaman teknologi digital sehingga tidak kaku dalam melakukan identifikasi dan verifikasi teknologi.
“Program ini memiliki peluang yang bagus dan signifikan meningkatkan pertanian bangsa. Pertanian yang berkelanjutan dan berkualitas dapat menjadi pondasi penting bagi masa depan lebih baik,” ucap dosen program studi Agroteknologi itu.
Ditambah lagi, Indonesia mengalami bonus demografi sejak tahun 2015 hingga perkiraan puncak bonus demografi pada tahun 2020 – 2035. Jadi program ini menjadi angin segar bagi anak muda yang ingin menjadi petani milenial.
Dosen yang disapa Intan ini berpendapat bahwa jumlah usia produktif yang cukup besar, secara kuantitatif petani milenial patut didukung tidak hanya materi, namun dalam permodalan. Akses dan permodalan sinergitas antara Kementan dan pelaku pertanian sangat diperlukan.
Oleh karena itu, melalui program ini, pemerintah akan memberikan upah sebesar 10 juta rupiah per bulannya. Menurut Intan, penawaran itu jelas bertujuan untuk menarik minat generasi muda dalam menggeluti dunia pertanian dengan memanfaatkan teknologi modern dan inovasi.
“Semoga ini menjadi komitmen nyata dari Kementan untuk memajukan sektor pertanian Indonesia. Dan semoga program ini dapat mengatasi persepsi bahwa bertani bukanlah profesi yang menjanjikan, serta mendorong generasi muda untuk aktif berkontribusi dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional,” katanya.
Optimalkan Penerapan Teknologi Pertanian
Adanya program petani milenial adalah untuk memajukan sektor pertanian di Indonesia dengan memanfaatkan perkembangan teknologi.
Intan menyebutkan beberapa teknologi pertanian yang bisa digunakan seperti:
- Petani sudah tak harus berlumpur menggunakan hewan untuk membajak sawah. Salah satu teknologi yang direkomendasikan oleh Kementan yaitu transplanter untuk menanam padi.
- Tidak perlu lelah melakukan penyemprotan pupuk, pestisida, atau herbisida di lahan pertanian karena sudah ada drone yang mampu melakukan semua aktivitas tersebut, jadi aktivitas pertanian bisa serasa “bermain” gadget.
- Menggunakan Indo Combine Harvester, yaitu alat untuk panen padi yang memudahkan dalam proses pemotongan hingga pengantongan padi.
- Mesin Pemetik Kapas, Mesin Pemanen Kentang, Mesin Pemanen Jagung, Mesin Pemanen Tebu, dan lain-lain.
- Petani tidak perlu memilih secara manual melainkan cukup menggunakan mesin pemilih bibit yang digunakan untuk tahap seleksi bibit unggul. Misalnya digunakan pada pemilihan bibit unggul Jagung Hibrida.
- Jika tak ingin tangan kotor karena tanah, maka menanam dengan menggunakan media tanam selain tanah misalnya bertanam dalam hidrogel yaitu bahan polyester yang mempunyai daya serap terhadap air sangat tinggi.
- Jika panen melimpah, petani tak risau tentang pemasaran, karena saat ini sudah semakin banyak pasar pertanian “virtual”.
Intan berkata, “Dengan adanya teknologi tersebut menjadikan pertanian konvensional berubah menjadi pertanian modern karena pertanian tidak mungkin mampu mencukupi kebutuhan penduduk yang terus bertambah tanpa teknologi,”.
Maka dari itu lah, tambahnya, kaum muda atau petani milenial yang adaptif dalam pemahaman teknologi digital hal ini penting peranannya.
Menggunakan Metode Smart Farming
Selain itu, Intan juga menjabarkan bahwa dalam menghadapi ancaman krisis pangan, pemerintah perlu memperkuat produksi hasil pertanian dan ketersediaan pangan lokal untuk menggantikan komoditas pangan impor dengan usaha pertanian cerdas atau smart farming 4.0
Ketua pusat studi SDGs Umsida itu mengatakan, “Smart farming 4.0 adalah metode pertanian berbasis kecerdasan buatan telah menjadi andalan Kementerian Pertanian di era digital. Smart farming 4.0 menjadi peluang terutama petani milenial sebagai pelaku untuk mendorong budidaya pertanian menjadi efisien, terukur, dan terintegrasi,”.
Oleh sebab itu, imbuhnya, peluang dan potensi petani milenial sebagai pelaku smart farming 4.0 dan kebijakan pemerintah terkait hal tersebut perlu diidentifikasi dan dianalisis, serta rekomendasi pengembangannya menjadi sangat penting untuk diketahui.
Smart farming 4.0 yang identik dengan pertanian presisi memungkinkan petani untuk mengenali variasi di lapangan sehingga dapat memainkan peran dalam intensifikasi, efisiensi pertanian, dan kelestarian lingkungan.
Berbagai jenis teknologi smart farming 4.0 ,yaitu:
- blockchain yang dapat memudahkan keterlacakan supply chain produk pertanian untuk pertanian off farm modern,
- Agri drone sprayer (drone menyemprotkan pestisida dan pupuk cair), drone surveillance (drone untuk pemetaan lahan)
- Soil and weather sensor (sensor tanah dan cuaca)
- Sistem irigasi cerdas (smart irrigation)
- Agriculture War Room (AWR)
- Siscrop (sistem informasi) 1.0 telah diterapkan di beberapa daerah.
Namun, penerapan smart farming ini juga memiliki tantangan tersendiri. Misalnya saja rendahnya tingkat adopsi petani, dan tingginya biaya investasi peralatan smart farming.
Lalu, ketidakpastian kredibilitas perusahaan teknologi yang mengembangkan produk peralatan smart farming juga mempengaruhi perkembangan inovasi ini.
“ Kita juga masih sulit untuk mengubah persepsi petani tentang kegunaan mesin pertanian, dan kemudahan yang akan didapat dengan digunakannya peralatan smart farming,” ujar Intan.
Keterbatasan akses internet di beberapa daerah di Indonesia juga menjadi tantangan pengembangan inovasi ini. Karakteristik teknologi yang rumit sehingga menjadi penghalang untuk difusi teknologi smart farming.
Teknologi smart farming yang bisa digolongkan sebagai teknologi baru yang membutuhkan banyak investasi untuk pengembangannya.
Lihat juga: La Nina dan Dilema Sektor Pertanian dan Ketahanan Pangan di Indonesia
“Oleh sebab itu, potensi petani milenial sebagai pelaku smart farming 4.0 dan kebijakan pemerintah terkait hal tersebut perlu diidentifikasi dan dianalisis, serta rekomendasi pengembangannya menjadi sangat penting untuk diketahui,” saran Intan terhadap pengembangan smart farming ini.
Penulis: Romadhona S.