Umsida.ac.id – Tahun ini Indonesia mengalami fenomena alam yang cukup unik bernama kemarau basah. Musim kemarau di Indonesia biasanya terjadi pada bulan April hingga September.
Lihat juga: Dekan Fikes Umsida Ungkap 5 Penyakit Ini Muncul Saat Perubahan Musim dan Cara Mencegahnya
Namun saat ini, yang seharusnya sudah memasuki musim kemarau, nyatanya masih terjadi hujan di banyak daerah.
Lantas fenomena alam inilah yang disebut dengan kemarau basah atau disebut juga sebagai kemarau yang bersifat di atas normal.
Mengapa Bisa Terjadi Kemarau Basah?
Pakar lingkungan dari Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr Syamsudduha Syahrorini ST MT menjelaskan bahwa fenomena kemarau basah terjadi ketika adanya kekacauan musim dan anomali cuaca dapat terjadi seiring berlangsungnya pemanasan global.
Pernyataan tersebut ia kutip dari Suharko dalam buku sosiologi lingkungan hidup.
“Saat kemarau basah, intensitas hujan masih tergolong tinggi meski frekuensinya menurun,” ucap dosen yang biasa dipanggil Dr Rini itu.
BMKG memprediksi sebagian wilayah Indonesia akan mengalami kemarau basah pada pertengahan 2025.
Kondisi ini bukan musim hujan berkepanjangan, melainkan curah hujan yang tetap terjadi saat seharusnya kemarau, dan dipengaruhi oleh faktor global seperti La Nina.
Kemarau basah diperkirakan terjadi dalam rentang waktu Juni-Agustus 2025 menurut prediksi BMKG.
Dari data yang sama, diperkirakan sebanyak 56,54% wilayah Indonesia akan mengalami kondisi lebih basah daripada normalnya.
Peristiwa ini akan berlanjut pada Juli 2025. Kemarau basah diperkirakan meluas ke 75,3% wilayah dan Agustus sebanyak 84,% wilayah.
“Fenomena tersebut biasanya berlangsung dalam kurun waktu yang tidak sebentar,” jelas dosen Prodi Teknik Elektro itu.
Peristiwa ini bisa dipicu oleh La Niña, suhu laut hangat, dan aktivitas atmosfer seperti MJO, gelombang Kelvin, dan Rossby.
La Nina adalah fenomena pendinginan suhu laut di Pasifik tengah yang bisa meningkatkan curah hujan di Indonesia, khususnya di wilayah dengan perairan hangat.
Adanya gejala La Nina yang berlangsung di tengah Samudra Pasifik memberikan pengaruh secara signifikan pada perubahan cuaca secara global, satu di antaranya adalah kemarau basah di Indonesia (Suharko dalam buku sosiologi lingkungan hidup).
“Musim kemarau tahun ini diperkirakan datang normal atau sedikit lebih lambat di 409 Zona Musim (ZOM), dengan curah hujan sebagian besar masih dalam kategori normal,” imbuhnya.
Mengutip dari Publikasi Klima Edisi VI 2022, juga menyebut La Nina dapat memicu anomali cuaca, termasuk terjadinya kemarau basah di Indonesia.
Perbedaan dengan Kemarau pada Umumnya?
Dosen yang menuntaskan pendidikan doktor di Universitas Brawijaya itu menyebutkan bahwa fenomena ini terjadi karena perubahan iklim global yang mempengaruhi pola cuaca.
Kemarau biasa adalah musim kemarau umum di Indonesia, berlangsung April–Oktober, ditandai curah hujan rendah (<50 mm per dasarian), langit cerah, suhu tinggi, dan kelembaban rendah. Dampaknya mencakup kekeringan, berkurangnya ketersediaan air, dan risiko gagal panen.
Sedangkan kemarau basah, imbuhnya, terjadi saat hujan masih turun meski secara kalender sudah memasuki musim kemarau.
“Akibatnya, kelembaban tetap tinggi, cuaca sulit diprediksi, dan aktivitas pertanian terganggu,” ucapnya.
Lebih lanjut, Dr Rini menyebutkan tanda-tanda fenomena tersebut, di antaranya:
- Tetap terjadi hujan ringan hingga sedang saat seharusnya musim kering (biasanya April–September).
- Kelembaban udara tetap tinggi.
- Tanaman tetap tumbuh subur tanpa perlu banyak penyiraman.
- Sungai dan embung tidak mengalami kekeringan ekstrem.
- Langit sering berawan, tidak sekering biasanya.
Sudah Terjadi Sejak Tahun 2020

Pada tahun 2020, Indonesia mengalami peristiwa serupa yang disebabkan oleh pengaruh La Niña dengan intensitas lemah hingga sedang.
Akibatnya, beberapa wilayah seperti Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, dan Papua mengalami curah hujan yang lebih tinggi dari normal selama musim kemarau.
Misalnya, di Kota Palu yang secara klimatologis rata-rata curah hujannya pada bulan Juni sampai September berkisar antara 9 sampai 17 mm per bulan, tercatat curah hujan pada periode yang sama mencapai 55 hingga 80 mm per bulan.
“Data ini menunjukkan adanya anomali positif curah hujan yang signifikan, di mana curah hujan melebihi ambang batas normal musim kemarau, sehingga BMKG mengklasifikasikan kondisi tersebut sebagai kemarau basah,” ujar jelas dosen yang bergelar doktor sejak tahun 2019 itu..
Fenomena kemarau basah ini bukan yang pertama kali terjadi. Indonesia pernah mengalami kemarau basah pada tahun 2020,2022 dan 2024.
Saat itu, La Niña dan peningkatan suhu permukaan laut menjadi faktor utama yang memicu curah hujan di musim kemarau
Melihat fenomena yang telah terjadi sejak lima tahun lalu itu, Dr Rini menyimpulkan bahwa pola iklim terus berubah dan tidak bisa hanya mengandalkan kalender musim.
“Perubahan iklim global mempengaruhi semakin mempengaruhi pola cuaca,” tegasnya.
Oleh karena itu, imbuh Dr Rini, pengawasan cuaca yang intensif dan penyesuaian kebijakan iklim menjadi langkah penting, baik di tingkat lokal maupun nasional, agar masyarakat bisa lebih siap menghadapi perubahan iklim yang tak menentu.
Lihat juga: Buntut Kemarau Panjang, Pakar Umsida Jelaskan Dampaknya Terhadap Pertanian
Ia mengatakan bahwa fenomena ini rawan di daerah yang rawan longsor dan banjir, sehingga akan memperparah daerah tersebut akan rawan atau banjir karena intensitas curah hujan yang tinggi.
Penulis: Romadhona S.