Umsida.ac.id – Selebrasi Dirgahayu Republik Indonesia Ke-80 terasa getir bagi rakyat pembayar pajak.
Terungkap di belahan negeri, cerita kenaikan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) meningkat drastis. Indonesia pun menanti protes di mana-mana oleh rakyatnya sendiri.
Lihat juga: Abolisi Tom Lembong, Langkah Kenegarawanan atau Kompromi Politik? Ini Kata Pakar
Dimulai dari Kabupaten Pati yang mengumumkan kenaikan pajak 250 persen, kemudian melahirkan protes people power pada 13 Agustus lalu dengan agenda utama menurunkan Bupati Pati Sudewo. Padahal, Sudewo baru saja dipilih oleh rakyat Pati secara langsung pada gelombang pilkada November 2024.
Kenaikan pajak rakyat di Pati itu membuka tabir pajak di belahan wilayah lain yang nilainya jauh lebih fantastis. Misalnya, Jombang sebesar 1.202 persen dan Kota Cirebon yang naik 1.000 persen. Begitu pula kenaikan PBB di Kabupaten Semarang hingga 441 persen yang dibatalkan. Ada pula pemberian diskon pembayaran PBB di Kabupaten Gresik sejumlah 80 persen pada HUT ke-80 RI, tepatnya 17 Agustus 2025.
Pembatalan pajak di Kabupaten Semarang dan pemberian diskon pajak di Gresik itu sesungguhnya lebih menunjukkan ketakutan bupati atas lahirnya gelombang protes oleh rakyatnya sendiri seperti di Pati.
Fenomena kenaikan pajak hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Menunjukkan adanya yang mempengaruhi secara vertikal, bukan benar-benar inisiatif pemimpin di tingkat lokal. Terbukti, kenaikan itu kemudian diminta dibatalkan melalui SE Mendagri Nomor 900.1.13.1/4528/SJ bertanggal 14 Agustus 2025. Maju mundurnya kebijakan yang tidak pro rakyat adalah bentuk kebijakan pemimpin yang lemah akibat dipengaruhi tekanan dari luar dirinya.
Pemimpin Inlanders

Ingat urusan pajak bumi Pertiwi telah menjadi cerita perlawanan rakyat yang melegenda.
Sebagaimana dalam cerita pewayangan Jawa, sosok tokoh Bima yang selalu menginspirasi masyarakat Jawa merupakan simbol tokoh perlawanan atas ketidakadilan seperti pembayaran pajak yang membebani.
Secara nyata, muncul tokoh-tokoh besar pahlawan yang menentang ketidakadilan agresi pajak dan upeti oleh kolonial.
Misalnya kehadiran Pangeran Diponegoro, Raden Mas Said (Pangeran Sambernyowo), maupun Si Pitung dari Betawi.
Mereka semua menjadi simbol tokoh perlawanan atas pajak dan upeti yang diambil oleh kompeni penjajah dari Belanda maupun VOC.
Menaikkan pajak di tengah kesulitan perekonomian sebagian besar rakyat menunjukkan lemahnya kepemimpinan.
Inilah pemimpin yang bermental bekas jajahan kolonial, jongos, seperti pelayan company untuk menarik upeti ke bangsanya sendiri.
Wujudnya sekarang ialah pemimpin yang berbuat kebijakan karena lebih didominasi tekanan kekuasaan dari kekuatan oligarki di luar dirinya sendiri.
“Fenomena kenaikan pajak terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Menunjukkan adanya pengaruh secara vertikal. Bukan Inisiatif pemimpin di tingkat lokal.”
Kondisi itu sesungguhnya mengingkari kekuasaan yang digenggamnya sendiri. Bukankah Gubernur, Bupati, dan Wali Kota itu dipilih langsung oleh rakyat? Karena itu, Kepala Daerah sesungguhnya adalah pemegang mandat rakyat yang sangat kuat.
Mereka seharusnya hadir melayani dalam rangka menggembirakan rakyatnya.
Tidak malah sebaliknya, membuat kebijakan yang membebani rakyat seperti menaikkan pajak.
Secara antropologi politik, persoalan pajak merupakan noktah merah peradaban manusia Indonesia.
Persoalan itu menjadi sangat penting jadi basis argumentasi seorang pemimpin dalam mengambil kebijakan.
Seorang pemimpin tidak cukup hanya bisa memerintah, tetapi juga harus memiliki ilmu menghegemoni masyarakatnya.
Sebagaimana dideklarasikan Antonio Gramsci (1930-an) dalam karyanya Quaderni del Carcere, hegemoni seperti dalam memimpin itu mendorong masyarakat secara sukarela ikut mengorbankan dirinya secara sukarela atas kebijakan pemimpinnya.
Gambaran hegemoni itu, wujud kebijakan pemimpin kepala daerah untuk mendapatkan modal membangun dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak secara instan melulu melalui pungutan pajak rakyat.
Namun hal itu bisa disesuaikan dengan perkembangan peradaban digital hari ini. misalnya, seringnya membuat event keramaian seperti pelaksanaan Kongres Munas, Muktamar Ormas, UKP, maupun mahasiswa.
Atau menggelar event-event kebudayaan dan musik maupun event olahraga yang digemari publik.
Dengan demikian, di samping menggembirakan masyarakat, hadirnya event tersebut dengan sendirinya membuat masyarakat sukarela terlibat dalam kebijakan pemerintah.
Pembangkangan Rakyat Atas Pajak

Ketika para Kepala Daerah hanya berfokus menjadikan pungutan pajak sebagai jalan pintas untuk menaikkan PAD – kebijakan itu seperti meniru Menteri Keuangan Sri Mulyani yang selalu berfokus mengulik persoalan pajak untuk negara-, siap-siaplah para pemangku kekuasaan akan dilawan sendiri oleh rakyatnya secara diam-diam.
Peringatan tersebut telah dijelaskan oleh James C. Scott (1985) dalam karyanya Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance.
Secara teoretis, perlawanan dan pemberontakan khas “Gaya Asia” adalah perlawanan diam-diam.
Misalnya, tidak mau bayar pajak, menggosip, maupun hadir dalam gotong royong tetapi tidak bawa alat sembari malas-malasan bekerja. Terlalu banyak bersenda gurau.
Sama halnya dengan cerita perlawanan menolak bayar pajak oleh suku Samin yang dipimpin oleh Samin Surosentiko (1859 – 1914).
Lihat juga: Putusan MK Jadi Titik Balik Desain Pemilu Nasional dan Daerah yang Lebih Efektif
Lari dari Somoroto, Ponorogo, lalu menetap di pedalaman Desa Ploso Kediri, Randublatung, Blora pada zaman kolonial Belanda.
Wallahu a’lam bishawab. (*)
Penulis: Dr Sufyanto MSi.
Artikel ini telah tayang di laman Jawa Pos pada Selasa, (19/8/2025) halaman 4 dengan judul “Perlawanan Pajak Rakyat”