Umsida.ac.id – Dalam suasana sakral Wisuda ke-46 Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Prof Achmad Jainuri MA PhD, Wakil Ketua Badan Pembina Harian (BPH) Umsida, menyampaikan orasi ilmiah yang sarat refleksi tentang perjalanan panjang Muhammadiyah.
Lihat juga: Pakai Metafora McClelland kepada Mahasiswa, Ini Pesan Prof Jainuri
Ia mengingatkan bahwa pada 18 November 2025, Muhammadiyah genap berusia 113 tahun.
Usia yang menunjukkan kedewasaan gerakan Islam modern yang terus berkontribusi dalam mencerdaskan bangsa dan memajukan kesejahteraan umat.
“Besok lusa, Muhammadiyah berusia 113 tahun. Ini bukan sekadar angka, tetapi jejak perjuangan panjang untuk mencerahkan kehidupan dan memajukan kesejahteraan bangsa Indonesia,” tutur Prof Jainuri di hadapan ribuan wisudawan dan orang tua yang memenuhi Auditorium KH Ahmad Dahlan Kampus 1 Umsida.
Muhammadiyah dan Semangat Membangun Kesejahteraan Bangsa

Dalam orasinya, Prof Jainuri menjelaskan bahwa tema milad Muhammadiyah tahun ini, “Memajukan Kesejahteraan Bangsa”, memiliki makna yang sangat mendalam.
Tema tersebut, katanya, sejalan dengan amanat konstitusi dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni kewajiban negara untuk memajukan kesejahteraan umum.
“Kesejahteraan yang dimaksud tidak hanya material, tetapi juga spiritual dan sosial,” ujarnya.
Kesejahteraan spiritual itu berkaitan dengan makna dan tujuan hidup masyarakat. Lalu kesejahteraan material menyangkut terpenuhinya sandang, pangan, dan papan.
Dan kesejahteraan sosial mencakup akses pendidikan, kesehatan, serta kehidupan masyarakat yang harmonis.
Prof Jainuri juga menekankan bahwa nilai-nilai perjuangan Muhammadiyah lahir bukan dari ruang kosong.
Ia mengatakan bahwa di awal abad ke-20, berbagai gerakan Islam di Indonesia muncul dengan misi yang sama: mencerdaskan dan mensejahterakan bangsa.
Lebih lanjut, Prof Jain bercerita tentang berbagai organisasi dan gerakan Islam, mulai dari Jamiatul Khairiyah (1905) yang didirikan oleh para pedagang Arab di Batavia, Sarekat Dagang Islam (1908) yang dipelopori Haji Samanhudi, Sarekat Islam (1911) oleh Haji Umar Said Cokroaminoto, Muhammadiyah (1912) oleh KH Ahmad Dahlan, dan Nahdlatul Ulama (1926) oleh KH Hasyim Asy’ari.
Dari Mekah ke Nusantara: Dua Ulama, Satu Cita
Dalam bagian orasinya yang penuh nuansa sejarah, Prof Jainuri mengajak para wisudawan menelusuri kembali akar pemikiran dua tokoh besar bangsa: KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari.
Keduanya, kata Prof jain, memiliki latar belakang guru yang sama ketika menuntut ilmu di Mekkah pada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
Dan ketika kembali ke Jawa, mereka sama-sama berguru kepada Kyai Saleh Darat Semarang.
Oleh karena itu, mereka sangat akrab sejak dulu dan memiliki pemikiran yang sama
“Dari tingkat elit ini mereka sangat baik dan bisa bertukar pikiran, sedangkan pada akar rumputnya, masih sering melihat perbedaan-perbedaan yang mengarah pada konflik,” terangnya.
Harap Wisudawan Bawa Nilai Baik Umsida ke Masyarakat

Menutup orasinya, Prof Jainuri menyampaikan pesan yang menyentuh bagi seluruh wisudawan Umsida untuk membawa semangat Muhammadiyah dalam kehidupan bermasyarakat.
“Ambillah yang baik dari Umsida untuk disebarkan kepada masyarakat, dan yang tidak baik jangan dibawa. Umsida tidak bermaksud me-Muhammadiyahkan mahasiswa, tapi ingin melahirkan insan yang berilmu dan berakhlak,” ungkapnya.
Lihat juga: Prof Jainuri Ungkap Peran Penting Wali Mahasiswa
Menurutnya, lulusan Umsida harus menjadi agen perubahan yang menghadirkan manfaat dan menjaga semangat kemanusiaan sebagaimana yang diperjuangkan Muhammadiyah sejak awal.
Penulis: Romadhona S.


















