Umsida.ac.id – Perundungan di lingkungan pendidikan masih terjadi hingga saat ini. Telah ramai beberapa waktu lalu, ada siswi SD di Menganti, Gresik yang mengalami buta permanen akibat dicolok kakak kelasnya menggunakan tusuk bakso. Menanggapi hal ini, Kemil Wachidah MPd, dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (PGSD Umsida) menanggapi kasus tersebut dari perspektif analisis gender.
Baca juga: Rawan Terkena Dampak Negatif Teknologi, Mahasiswa Umsida Dibekali Wawasan Kebangsaan
Awal kasus mata dicolok
Peristiwa tersebut berawal dari kakak kelas yang merupakan seorang laki-laki, tiba-tiba menghampiri korban dan membawanya ke lorong sekolah yang sepi. Setelah itu, korban yang merupakan seorang perempuan dipaksa agar memberikan uang jajan kepada kakak kelas. Namun siswa tersebut menolak dan akhirnya pembully melakukan tindakan yang tidak manusiawi, yaitu mencolok mata kanan siswi tersebut tak hanya sekali.
Setelah itu, korban segera membersihkan matanya namun darah masih berceceran di area wajah. Sesampainya di rumah, ia memberi tahu orang tuanya bahwa mata kanannya tidak bisa melihat, setelah diperiksakan ke rumah sakit, siswa SD tersebut dinyatakan buta permanen.
Adanya stereotip gender
Melihat peristiwa itu, Kemil memberikan tanggapannya yang dilihat dari perspektif gender. Menurutnya, salah satu faktor mengapa terjadi ketimpangan gender dalam stereotip. Artinya, ada pelabelan bahwa anak laki-laki berlabel selalu lebih kuat, tangguh, dan lebih mempunyai kuasa. Sedangkan anak perempuan lebih dilabeli dengan anak yang lemah dan mudah diinjak.
“Kasus yang terjadi di Gresik bisa dibahas melalui kacamata analisis gender. Jadi anak anak perempuan merasa dirinya lemah atau dianggap oleh anak laki-laki itu lemah, maka dia dikuasai dengan cara mendiskriminasi berupa bentuk kekerasan apapun. Termasuk kekerasan fisik, psikis, ataupun kekerasan seksual,” ujar Kemil.
Kekerasan anak terus meningkat
Dari data KPAI, lanjut Kemil, kasus kekerasan terhadap anak apapun itu bentuknya, semakin tahun semakin meningkat. Termasuk dalam kasus ini, merupakan salah satu tindakan dari lima ketidaksetaraan gender. Pihak sekolah tentu harus ikut andil dalam mengatasi persoalan ini.
“Mengapa sekolah tidak memiliki edukasi tentang kesetaraan gender dengan menghapus 5 ketidakadilan gender? Seharusnya diterapkan juga edukasi tentang penghapusan label atau stereotip yang merata bahwa anak perempuan itu lebih rendah atau bahwa anak laki-laki itu lebih berkuasa sehingga mempengaruhi kesetaraan gender. Dari sisi sosial itu bisa menghapus sebuah diskriminasi atau kekerasan,” lanjutnya.
5 ketidakadilan gender
Terdapat 5 ketidakadilan gender menurut Kemil yang harus diberikan pengertian kepada masyarakat luas bahkan sejak dini.
- Yang pertama yakni marginalisasi, pemikiran terhadap akses sumber daya informasi, teknologi, pendidikan, dan lapangan pekerjaan yang mengakibatkan kemiskinan. Perempuan kerap mengalami marginalisasi terkait peran dalam perkawinan sebagai pengurus rumah tangga dan menggantungkan ekonomi kepada laki-laki.
- Kedua yakni subordinasi, merendahkan posisi atau status sosial dari satu jenis gender. Perempuan adalah sosok yang emosional yang harus dijauhkan dari dunia politik dan tidak bisa memimpin. Ada pula anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi dan tidak boleh jauh dari rumah.
- Yang ketiga yakni stereotip atau pelabelan terhadap satu kelompok tertentu. Seperti pada kasus anak SD yang buta ini, perempuan dianggap bisa menjadi lahan kekerasan karena menurut tersangka, kekerasan tersebut terjadi karena kesalahan perempuan itu sendiri.
- Keempat, kekerasan terhadap perempuan yang bisa saja berupa kekerasan fisik, psikologis, atau seksual. Misalnya, perbedaan SARA dan konflik sosial lainnya.
- Yang terakhir, beban kerja lebih panjang dan lebih banyak. Perempuan dianggap memiliki sifat memelihara dan rajin serta tidak cocok untuk menjadi pemimpin. Hal ini membuat pekerjaan rumah tangga menjadi tanggung jawab perempuan. Banyak kaum perempuan yang harus bekerja lebih keras dan lebih lama. Seperti mengerjakan pekerjaan rumah tangga sebelum anggota keluarga lainnya bangun dan ia adalah orang yang paling akhir beristirahat.
Baca juga: Teknologi Jadi Nafas Gen Z, Tonggak Penentu Indonesia Maju
Mengapa anak bisa melakukan kekerasan?
Kemil menyebutkan bahwa seorang anak bisa melakukan karena pola pikir yang konkret. Jika ia pernah melihat suatu tindakan, ia bisa meniru hal tersebut.
Kemil menjelaskan, “Anak sekolah dasar itu pada masa operasional konkret, sehingga cara berpikirnya itu bukan cara berpikir abstrak. Apa yang dia lakukan atau yang dia rasakan itu tindakan yang dianggap nyata begitu. Kalau misalnya salah satu pelaku melakukan kekerasan, pati dia melihat dan memiliki cerminan bahwa dia itu merasakan kekerasan juga sehingga akan melakukan hal yang sama,”.
Bisa jadi anak laki-laki tersebut, sambungnya, juga mengalami kekerasan, entah itu rumahnya atau apapun sehingga hal tersebut dilampiaskan kepada temannya untuk melakukan sebuah diskriminasi.
Baca juga: Pebisnis Muda Motivasi Mahasiswa untuk Jadi Pengusaha
Narasumber: Kemil Wachidah MPd
Penulis: Romadhona S.