Umsida.ac.id – Tepat pada hari ini, 10 Desember 2024 diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia. Tahun ini peringatan Hari HAM sedunia mengusung tema Our Right Our Future Right Now yang berfokus pada peran HAM sebagai solusi, terutama saat masa-masa krisis.
Lalu, di era yang semakin canggih ini, apa saja pelanggaran HAM yang masih terjadi? Bagaimana kondisi masyarakat indonesia terkait kebebasan mendapatkan haknya?
Lihat juga: Dari Kasus Anak Bunuh Ayah dan Nenek, Dosen Umsida Jelaskan Pentingnya Kasih Sayang
Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia dan Tantangannya
Kasus Pelanggaran Digital
Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr Noor Fatimah Mediawati SH MH mengatakan bahwa saat ini kebebasan HAM di Indonesia masih menyisakan tantangan tersendiri, apalagi tentang pelanggaran HAM dalam hal kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Menurut Dr Fatimah, kasus HAM yang paling rentan menjadi korban pelanggaran kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah para pegiat anti korupsi, jurnalis, akademisi, dan lainnya.
Dr Fatimah berpendapat bahwa kemajuan teknologi membuka ruang dan berpengaruh pada meningkatnya pelanggaran HAM.
“Dapat dilihat dari catatan Komnas HAM sepanjang 2020-2021. Ada 44 kasus pelanggaran, dimana sebagian besarnya berada di ruang digital,” ujar dosen yang mendapat gelar doktor Ilmu Hukum FH Unair itu.
Pelanggaran tersebut juga bisa dilihat melalui maraknya peretasan akun, spam call atau intimidasi.
Terbukanya ruang kebebasan dalam menggunakan teknologi yang membuat orang semakin mudah mendapat informasi termasuk hal yang negatif, membuat netizen semakin mudah mendapatkan informasi tersebut.
Ia mengatakan, “Walau memiliki kebebasan berpendapat, masyarakat khususnya pengguna media sosial harus cerdas dalam menuangkan tulisan di medsos sebagai langkah preventif. Pepatah mulutmu harimaumu tetap relevan kiranya untuk dijaga,”.
Akhir-akhir ini, marak di pemberitaan tentang pelanggaran HAM seperti kasus pembunuhan, bunuh diri, pelecehan, dan kejadian keji yang melanggar HAM lainnya yang dialami oleh masyarakat di berbagai kalangan.
Pelanggaran Moral
Selain tantangan tersebut, tambahnya, ada juga tantangan moral yang tak kalah mengerikan. Belakangan ini banyak sekali kejadian pembunuhan yang dilakukan oleh sosok yang tak terduga.
“Selain itu, kasus yang rentan dan butuh perhatian lebih adalah ketika Komnas HAM di 2024 yang menyuarakan darurat filicide di Indonesia,” ujar dosen yang juga Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah kabupaten Sidoarjo itu.
Misalnya saja seorang anak yang sanggup bahkan hingga tega membunuh orang tuanya sendiri. Sebaliknya, ada pula orang tua atau keluarga dekat yang tega melenyapkan nyawa anaknya (filicide).
Ada juga kejadian saat satu keluarga bunuh diri bersama-sama dengan menjatuhkan diri dari apartemen. Atau seorang ibu yang membunuh anaknya di Bekasi.
Tantangan Menjaga Persatuan
Disamping itu, tambah Dr Fatimah, tantangan kedewasaan publik dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa khususnya ketika berhadapan dengan kaum minoritas.
“Khusus anak dan perempuan, tantangan yang cukup besar bagi mereka adalah melindungi membentengi diri dengan pemahaman yang baik agar terhindar dari pelecehan, perundungan,dan sejenisnya,” tutur anggota Majelis Hukum dan HAM PWM Jatim itu.
Menurutnya, perlu adanya kolaborasi dan kesadaran publik bahwa setiap pelanggaran akan membawa efek kepedihan.
Peran Aparat dan Masyarakat
Berkaca dari banyaknya kasus pelanggaran HAM yang keji itu, Dr Fatimah mempertimbangkan peran aparat hukum maupun masyarakat.
“Mampukah aparat penegak hukum bergerak cepat menuntaskan kasus-kasus tersebut? Dan apakah masyarakat sendiri bisa berdamai dengan diri sendiri? Apa mereka bisa tidak asal mengambil keputusan yang tidak manusiawi dengan mengorbankan keluarganya sendiri?,” ungkapnya.
Hak Beriringan dengan Kewajiban
Secara regulatif, Indonesia sudah memiliki UU No. 39/1999 tentang HAM, UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Salah satu turunannya adalah Permenkumham No. 23/2022 tentang Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM.
Dari banyaknya kasus tersebut, Dr Fatimah berkata, “Jadi bukan HAM-nya yang lemah. Setiap pribadi harus teguh memegang prinsip yang baik. Tidak boleh oleng oleh rayuan, atau silau oleh rupiah,” tegasnya.
Dr Fatimah berkata bahwa hak selalu beriringan dengan kewajiban.
Lihat juga: Perempuan Tewas Diperkosa Sopir Travel, Sebegitu Tidak Amankah Indonesia Terhadap Perempuan?
“Kita akan dihargai jika kita juga menghargai. Tidak di ruang publik saja, di ranah privat juga semestinya demikian,” pesannya.
Penulis: Romadhona S.