Umsida.ac.id – Akhir-akhir ini dunia pendidikan tinggi sedang tidak baik-baik saja. Banyak terjadi kasus yang mengerikan yang dialami oleh para mahasiswa, entah itu kekerasan, pelecehan, pembunuhan, bunuh diri, dan hal mengerikan lainnya.
Pakar Psikologi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr Eko Hardi Ansyah MPsi Psikolog turut menyoroti maraknya kasus tersebut yang didorong oleh rasa frustasi.
Lihat juga: Study Tour Makan Banyak Korban, Dosen Umsida: Ada Masalah Akut yang Ada di Tradisi Ini
Menurutnya, kejadian itu berbanding terbalik dengan cita-cita perguruan tinggi untuk membentuk manusia beradab dan menciptakan peradaban yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral kemanusiaan dan bersama-sama membangun kesejahteraan dan kemakmuran dunia.
Kesehatan Mental Jadi Problem Anak Muda
“Nampaknya saat ini persoalan kesehatan mental perlu mendapatkan perhatian khusus terutama pada anak-anak muda. Misalnya saja yang terkait dengan adanya istilah generasi strawberry atau generasi sandwich,” kata dr Eko, sapaannya.
Generasi strawberry atau generasi sandwich merupakan sebuah label pada generasi yang lahir antara tahun 2000 sampai 2010 yang cenderung memiliki karakter yang rapuh meskipun dari luar kelihatan tangguh.
Menurut Dr Eko, terjadinya permasalahan kekerasan, pelecehan, bunuh diri bersumber dari adanya kerapuhan ini.
Problem psikologis yang terjadi pada diri seseorang, katanya, tidak bisa dilihat pada sisi yang terjadi saat ini tapi perlu dilihat secara komprehensif.
Ia mengatakan, “Karena perilaku adalah sebuah proses belajar. Kekerasan yang dilakukan oleh seseorang sehingga memunculkan ide-ide untuk membunuh ataupun melakukan kegiatan amoral seperti pelecehan seksual bukanlah sesuatu hal yang terjadi tiba-tiba,”.
Tahap Perencanaan Pembunuhan, Bunuh, Diri, atau Kekerasan
Dosen prodi Psikologi Umsida tersebut menjelaskan tentang tahapan perilaku seperti membunuh itu muncul dalam diri seseorang menurut Choice Theory.
Tahap pertama saat sebuah informasi diterima oleh panca indra. Tahap kedua informasi ini kemudian akan masuk pada knowledge filter seseorang.
“Pada tahap ini, sistem pengetahuan akan menyaring mana informasi yang sudah dipahami, kurang dipahami, atau yang tidak sama sekali dipahami,” jelasnya.
Lalu di tahap ketiga, informasi yang dipahami tersebut akan diterima oleh value filter seseorang.
Saringan nilai seseorang inilah yang akan membandingkan informasi yang dia pahami sudah sesuai dengan kebutuhan dasar yang dia miliki saat ini ataukah tidak.
“Nah yang sesuai dengan kebutuhan dasar akan melahirkan emosi yang positif seperti bahagia. Tapi yang tidak sesuai akan melahirkan emosi negatif seperti kecewa ataupun marah,” terang Wakil Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Pendidikan (FPIP) itu.
Emosi negatif ini akan semakin kuat saat informasi yang dia dapat berbeda jauh dengan kebutuhan dasarnya.
Lantas Dr Eko menjelaskan tentang lima kebutuhan dasar manusia, yaitu kebutuhan hidup, kebutuhan mencintai dan disayangi, kebutuhan untuk bebas, kebutuhan berkuasa, dan kebutuhan untuk bersenang-senang.
Perbandingan antara kenyataan dengan kebutuhan dasar ini memunculkan frustasi yang menjadi tahap keempat sebelum munculnya perilaku.
Frustasi mendorong tahap terakhir yaitu perilaku. Semakin tinggi rasa frustrasi seseorang akan membuat pilihan perilakunya menjadi semakin buruk.
Menurut konsep choice theory, Dr Eko berkata bahwa sistem nilai tidak berhubungan dengan baik buruk atau benar salah tapi berhubungan dengan kebutuhan dasar ini.
Dosen yang pernah menjabat sebagai Wakil Rektor III Umsida itu menjelaskan,” Meskipun menyakiti bukan hal yang baik, tapi jika frustrasi sudah sangat tinggi maka dia akan tetap menyakiti orang tersebut,”.
Jadi, imbuhnya, saat kebutuhan yang dominan adalah kebutuhan untuk bebas sedangkan kebutuhan untuk kasih sayang kecil, menyakiti orang lain yang membuat dia frustrasi bisa jadi akan lebih dia lakukan meskipun dia tahu bahwa menyakiti itu adalah suatu tindakan yang buruk.
“Misalnya pada kasus pembunuhan seorang mahasiswi di Bangkalan dengan cara dibakar, kemungkinan hal tersebut terjadi akibat frustasi lantaran kenyataan yang dia pahami tidak sesuai dengan kebutuhannya supaya bisa bebas,” jelasnya.
Meskipun pelakunya adalah mahasiswa program studi yang berafiliasi dengan agama, dia lebih memilih menyakiti pasangannya bahkan membunuhnya dengan keji daripada tindakan yang lain karena pada dasarnya dia berhubungan tidak atas dasar cinta dan kasih sayang tapi karena ingin bebas atau bersenang-senang saja.
Cara Mengendalikan Frustasi
Selanjutnya, Dr Eko menerangkan tentang tiga sumber yang bisa menimbulkan dampak emosional yang kuat pada seseorang yang melahirkan frustasi yang kuat, yaitu:
- Seseorang yang dianggap penting oleh individu
- Benda-benda atau barang yang berkesan
- Idealisme
Dr Eko berkata, “Seseorang berpotensi frustasi yang tinggi karena sumber tersebut. Jadi untuk mengatasi rasa frustasi yang terjadi pada anak muda atau generasi strawberry membutuhkan dua hal penting untuk mengendalikan frustasi ini,”.
Cara yang pertama adalah cara menciptakan sebuah lingkungan yang penuh dengan kasih sayang.
“Dalam konteks perguruan tinggi, kasih sayang bukan berarti sebuah lingkungan yang tanpa tantangan, tapi yang penting di sini adalah bagaimana mendeliver tantangan tersebut,” jelas Sekretaris Majelis Dikdasmen dan PNF PWM Jatim tersebut.
Menurutnya, kampus membangun lingkungan yang berbasis relasi saling menghargai dan menghormati satu dengan yang lain.
Tidak ada dosen yang berbicara dengan nada tinggi atau merendahkan orang lain atau mahasiswanya.
Demikian pula sesama mahasiswa yang harus membangun sikap saling menghormati dan toleransi, tidak ada bullying, menerima segala macam perbedaan dan saling mendukung untuk mencapai sebuah level akademik tingkat tinggi yang berperadaban.
Dengan begitu, setinggi apapun tingkat frustrasinya, mahasiswa masih memiliki daya dukung untuk memilih perilaku yang baik dan benar serta sukses dengan studinya namun tetap bahagia.
Cara yang kedua adalah cara mahasiswa membangun pemikiran yang terbuka. Dengan begitu, mahasiswa sebagai makhluk sosial beradab akan lebih cenderung memilih perilaku yang beradab saat menghadapi frustasi ketika kenyataan tidak sesuai dengan harapan.
Cara yang ketiga adalah bagaimana kampus bisa menjadi sebuah organisasi yang dengan kebijakan yang mendukung terciptanya lingkungan yang kondusif dan berkembangnya pola pikir terbuka untuk setiap aktivitas akademik di dalamnya.
“Ketiga cara ini merupakan tiga entitas solusi yang terintegrasi untuk membangun sikap dan perilaku beradab yang mengarah pada perilaku yang berakhlakul karimah namun produktif,” terang Dr Eko.
Lihat juga: Dari Kasus Anak Bunuh Ayah dan Nenek, Dosen Umsida Jelaskan Pentingnya Kasih Sayang
Dengan demikian, perguruan tinggi akan melahirkan generasi yang bukan kriminal, tapi melahirkan agen-agen perubahan peradaban yang maju.
Penulis: Romadhona S.