Umsida.ac.id – Hak veto, sebuah kewenangan eksklusif yang dimiliki lima negara besar di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kerap menjadi penghalang utama dalam upaya dunia menciptakan perdamaian dan keadilan global.
Lihat juga: Perang Israel dan Iran Bisa Picu World War 3, Kata Pakar Umsida
Didesain sebagai alat stabilisasi pasca Perang Dunia II, kekuasaan ini kini justru berulang kali digunakan untuk melindungi kepentingan segelintir negara, meski harus mengorbankan jutaan nyawa tak bersalah.
Ketika dunia berdiri di atas puing-puing Perang Dunia II, lahirlah sebuah harapan besar bernama PBB. Organisasi ini dimaksudkan sebagai tumpuan perdamaian dan keadilan global, sebagai pengganti Liga Bangsa-Bangsa yang gagal mencegah dua perang dunia.
Namun seiring waktu, idealisme itu berkali-kali dihantam oleh kenyataan keras. Sistem kekuasaan yang timpang, terpusat pada segelintir negara yang memegang hak istimewa bernama hak veto.
Hak Veto dan Kekuatannya

Hak veto merupakan kekuasaan mutlak yang dimiliki oleh lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yaitu Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Inggris, dan Prancis.
Dengan satu suara “tidak”, negara ini dapat membatalkan keputusan yang didukung mayoritas negara anggota, bahkan jika 14 dari 15 anggota Dewan Keamanan sepakat.
Dengan kata lain, satu negara dapat menggagalkan upaya bersama seluruh dunia, hanya demi kepentingan nasionalnya.
Seperti halnya baru baru ini pada 4 Juni 2025, Amerika Serikat kembali menggunakan hak veto untuk memblokir rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera, tanpa syarat, dan permanen di Gaza.
Padahal, resolusi itu sudah didukung oleh 14 dari 15 anggota Dewan Keamanan PBB.
Di awal sejarahnya, hak veto dirancang demi stabilitas. Para pendiri PBB menyadari bahwa jika negara-negara besar tidak merasa aman dalam sistem internasional, mereka bisa bertindak di luar sistem itu dan melakukan agresi, membentuk aliansi tandingan, bahkan menciptakan tatanan baru.
Maka, demi mencegah konflik besar, disusunlah sistem kompromi: kekuatan besar diberikan hak istimewa agar mau tetap terlibat.
Namun, delapan dekade kemudian, hak veto justru menjadi hambatan utama bagi tercapainya keadilan dan perdamaian dunia yang lebih setara.
Palestina Jadi Korban Penggunaan Hak Veto

Tak ada contoh yang lebih nyata tentang ketimpangan ini selain kasus Palestina.
Sejak deklarasi negara pada tahun 1988, Palestina terus berjuang mendapatkan pengakuan penuh di kancah internasional.
Pada 2012, Majelis Umum PBB memberikan status “negara pengamat non-anggota” kepada Palestina—status yang dimiliki Vatikan—dengan dukungan 138 negara.
Namun status ini tetap tidak memberikan hak suara dalam sidang Majelis maupun keanggotaan penuh dalam organisasi-organisasi PBB lainnya.
Untuk menjadi anggota penuh, Palestina memerlukan dua hal, rekomendasi dari Dewan Keamanan PBB dan persetujuan dua pertiga dari Majelis Umum.
Rintangan utama selalu ada pada tahap pertama yakni rekomendasi Dewan Keamanan.
Setiap kali mayoritas anggota Dewan mendukung, satu negara, yaitu Amerika Serikat, mengangkat tangan dan berkata “tidak”.
Terakhir, pada 18 April 2024, Palestina kembali mengajukan permohonan menjadi anggota penuh PBB.
Sebanyak 12 dari 15 anggota Dewan Keamanan menyatakan dukungan, dua abstain, dan satu negara—AS—menggunakan hak vetonya untuk menggagalkan upaya tersebut.
Dengan satu kata “tidak”, harapan puluhan juta rakyat Palestina kembali tertahan.
Proses yang mestinya menjadi peneguhan legitimasi internasional justru berubah menjadi pentas politik unilateral.
Amerika Serikat, sebagai sekutu utama Israel, juga kerap menggunakan hak vetonya untuk menggagalkan resolusi yang mengecam pembangunan permukiman ilegal di wilayah pendudukan, mengecam kekerasan terhadap warga sipil Palestina, bahkan menolak penyelidikan atas potensi kejahatan perang di Gaza.
Lihat juga: Dosen Umsida: Konflik Israel dan Iran Memanas, Krisis Global di Ambang Pintu
Padahal, laporan berbagai lembaga independen—termasuk Human Rights Watch dan Amnesty International—telah memuat bukti kuat bahwa telah terjadi pelanggaran HAM yang serius dan sistematis.
Penulis: Dr Kumara Adji Kusuma
Artikel ini telah tayang di majelistabligh.id dengan judul “Ketika Keadlian Dunia Dikunci oleh Hak Veto”.