Oleh Eko Hardi Ansyah*)
Baru saja viral di media massa bahwa seorang anak SD di Tasikmalaya meninggal dunia setelah menjadi korban bullying (Sumber: Pikiran Rakyat, 21 Juli 2022). Bullying atau dalam Bahasa Indonesia disebut perundungan pada dasarnya adalah tindakan menyakiti atau membuat orang lain merasa tidak nyaman yang dilakukan seseorang atau kelompok. Medianya bisa melalui ucapan, fisik, sosial, seksual, atau daring (cyber bullying). Perilaku ini berdampak pada terjadinya stress hingga depresi yang berkepanjangan, yang bisa beresiko pada terjadinya bunuh diri.
Marci Feldman Hertz seorang ketua peneliti Kesehatan di Centers for Desease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat menyampaikan bahwa, perundungan adalah masalah Kesehatan masyarakat yang serius. Beliau menyampaikan bahwa 20% – 56% anak-anak terlibat dalam perundungan setiap tahunnya. Karenanya di dalam kelas yang terdiri dari 30 siswa, 6-17 siswa terlibat dalam perundungan sebagai korban, pelaku, maupun keduanya. Berdasarkan jumlah prevalensi di dalam kelas yang cukup besar tersebut, terjadinya perundungan di dalam kelas seharusnya bisa dilihat secara kasat mata oleh guru. Anak yang terlihat murung, sedih, marah, tidak mau aktif di dalam kelas, atau tidak masuk sekolah dalam beberapa hari dengan alasan yang tidak jelas bisa jadi terlibat dalam persoalan perundungan.
Salah satu syarat yang dapat memudahkan guru untuk mengidentifikasi adanya perundungan adalah relasi guru terhadap siswa. Guru yang memiliki relasi dengan siswa yang positif dan baik cenderung memiliki kedekatan dengan siswanya. Guru tersebut akan lebih mudah berbagi perasaan dengan siswanya, di samping itu siswa akan cenderung mencari gurunya jika ada perasaan tidak nyaman untuk menenangkan diri. Guru yang memiliki relasi positif akan meminimalkan perilaku konflik dengan siswanya. Dengan demikian saat seorang anak mengalami perundungan, kemungkinan besar ia akan mendekati salah satu gurunya dan mendiskusikan apa yang dialaminyam karena anak tersebut percaya bahwa guru tersebut akan mendengarkan dan membantunya, tanpa membuatnya merasa kehilangan kemampuan sosialnya.
Oleh karena itu, terjadinya perundungan di sekolah yang terjadi antar siswa—yang bahkan sampai membuat siswa depresi—ada kemungkinan dipengaruhi oleh rendahnya guru dalam membangun relasi dengan siswa di sekolah. Sikap permisif guru terhadap perundungan yang mungkin terlihat hanya sekedar ‘guyonan’ dengan mengejek, akan membangun konsep diri yang buruk pada siswa, yang pada akhirnya bisa mengarah pada buruknya perkembangan karakter siswa yang seharusnya Pancasilais. Perundungan yang berdampak menjadi depresi merupakan suatu proses yang dilakukan berulang. Seharusnya, ketika sekali saja siswa mengalami perundungan dan tertekan, masih ada pihak guru untuk menenangkan diri dan memunculkan kepercayaan dirinya. Guru juga harus melakukan tindakan kuratif serta preventif, guna menghentikan tindakan perundungan yang dapat membawa pengaruh buruk. Ketika guru melihat terjadinya perundungan yang meskipun saling mengejek untuk ‘guyonan’, rasanya guru perlu memberikan batasan dan memberikan peringatan tentang dampak perundungan yang mungkin akan terjadi pada siswanya.
Pentingnya guru membangun relasi yang positif dengan siswa sebenarnya bisa dilihat dari tiga sisi, yaitu legislasi, teoritis, dan empiris yang seharusnya diinsiasi oleh guru. Sisi legislasi bisa dilihat dari Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen menyebutkan bahwa guru harus memiliki kompetensi sosial yang berarti guru harus mampu berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Secara teoritis, teori tentang Zone of Proximal Development (ZPD) dari Vygotsky menjelaskan tentang peran utama guru dalam mengoptimalkan potensi anak dalam menyelesaikan tugas pembelajaran. Teori ZPD menunjukkan bahwa guru seharusnya mampu memegang kendali tentang bagaimana membentuk relasi yang positif dengan siswanya, sehingga siswa akan mampu meningkatkan potensi yang dimiliki. Sedangkan secara empiris dapat dilihat dari beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Diaz, Haganauer, dan Rifmm Kaufman & Hamre. Hasilnya menunjukkan bahwa guru memiliki peran penting dalam menginisiasi relasi guru siswa yang positif meskipun guru dihadapkan pada siswa yang bermasalah yang terkesan ‘sulit diatur’.
Mungkin karena alasan ini, Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah menetapkan bahwa, terbebasnya siswa dari perilaku perundungan sebagai indikator komponen mutu lulusan setiap sekolah/ madarasah di Indonesia pada Instrumen Akreditasi Satuan Pendidikan (IASP) 2020. IASP 2020 ini bisa menjadi instrumen yang mendorong sekaligus mengarahkan para pemangku jabatan pendidikan agar melakukan upaya-upaya, sehingga perundungan tidak lagi terjadi di lingkungan pendidikan, khusus di tingkat sekolah dasar dan menengah. Kasus perundungan seharusnya tidak hanya ditangani secara kuratif saja, tetapi juga harus memberikan treatmen saat perundungan terjadi. Pengelola atau pimpinan termasuk guru di sekolah/madrasah juga perlu melakukan berbagai macam program yang bisa membangun kesadaran bersama tentang apa itu perundungan, apa penyebabnya, dan apa dampaknya bagi seseorang atau kelompok baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Tentunya apa yang diupayakan untuk menghindarkan siswa dari perundungan adalah cerminan penting semua elemen bangsa ini dalam menyambut hari anak nasional Indonesia 2022 yang diperingati setiap tanggal 23 Juli dengan tagline «Anak Terlindungi, Indonesia Maju». Untuk itu, mari kita semarakkan gerakan lindungi anak-anak kita dari perundungan, agar mereka dapat tumbuh menjadi generasi penerus bangsa yang kuat dan hebat untuk Indonesia Maju. Selamat Hari Anak Nasional 2022.
*) Wakil Rektor 3 Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Mahasiswa Program Doktoral Universitas Airlangga.