Umsida.ac.id – Kualitas udara di Jabodetabek akhir-akhir ini mengalami penurunan. Kendaraan bermotor dan limbah industri dianggap sebagai salah satu faktor yang menyebabkan polusi udara. Bahkan saat ini masyarakat dihimbau untuk menggunakan masker lagi.
Adakah solusi akan keadaan ini? Beberapa waktu belakangan, pemerintah melakukan beberapa rencana. Yang sedang marak dibicarakan yaitu tentang penggantian Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi yang awalnya Pertalite akan diganti menjadi Pertamax 92.
Kemudian modifikasi cuaca juga sudah dilakukan khususnya di wilayah Jabodetabek dengan cara membuat hujan buatan. Lantas, apakah kedua upaya itu bisa mengurangi polusi udara? Dr S Syahrorini ST MT akan memberikan penjelasan terkait hal tersebut dalam artikel kali ini.
Lihat juga: Ahli Lingkungan Umsida Tanggapi Maraknya Polusi Udara
Pertamax 92 jadi Bahan Bakar Subsidi Tangkal Polusi Udara, Tepat kah?
Dr. Syahrorini menjelaskan, salah satu penyokong penurunan kualitas udara berasal dari emisi kendaraan bermotor, yakni sebesar 70% dari sumber pencemaran udara lainnya. Kondisi ini memunculkan wacana tentang penggantian Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi dari Pertalite menjadi Pertamax 92.
Jenis bahan bakar ini diklaim menjadi salah satu bahan bakar yang memiliki kandungan oktan (RON) 92. Kandungan ini akan membantu proses pembakaran mesin jadi lebih sempurna dan mampu membersihkan residu karbon pembakaran di dalam mesin.
Lihat juga: BI Terbitkan SRBI Tanggal 15 Esok, Ini Kata Ekonom Umsida
“Pertamax yang merupakan BBM dengan kadar RON 92 belum memenuhi standar energi bersih yang ramah lingkungan, sebagaimana standar emisi Euro 4 yang mensyaratkan RON 96. Euro 4 adalah standar emisi yang ditetapkan oleh Uni Eropa untuk kendaraan bermotor, termasuk mobil, bus, dan truk. Standar ini menetapkan batasan emisi yang lebih rendah untuk beberapa jenis polutan, seperti nitrogen oksida (NOx), karbon monoksida (CO), hidrokarbon (HC), dan partikel padat (PM),” jelas Dr Rini tentang kandungan oktan 92 pada Pertamax.
Setelah menjabarkan hal tersebut, ia berpendapat dijadikannya pertamax menjadi subsidi bahan bakar belum menjadi solusi yang tepat. Selain itu, dengan subsidi bahan bakar pertamax belum tentu mewakili masyarakat dengan tingkat ekonomi yang masih rendah. Kebijakan ini juga tidak akan berpengaruh jika penggunaan kendaraan bermotor masih masif bahkan semakin meningkat.
Lihat juga: MK Perbolehkan Parpol Kampanye di Tempat Pendidikan, Pakar Hukum Umsida Beri Tanggapan
Atasi Polusi Udara Melalui Hujan Buatan
Pemerintah juga sudah mulai membuat terobosan guna cegah polusi ura, yaitu membuat hujan buatan. Proses teknologi modifikasi cuaca atau hujan buatan adalah dengan cara melakukan penyemaian awan (cloud seeding) menggunakan bahan-bahan yang bersifat higroskopik (menyerap air). Hal tersebut membuat proses pertumbuhan butir-butir hujan dalam awan akan meningkat dan selanjutnya akan mempercepat terjadinya hujan.
‘Hujan buatan ini termasuk Teknologi Modifikasi cuaca (TMC). Metode ini tidak lepas dari ketersediaan yang diberikan oleh alam. Artinya, jika awannya banyak maka dapat menginkubasi lebih banyak dan otomatis akan menghasilkan hujan yang lebih banyak juga, begitu pun sebaliknya,” terang dosen yang rajin melakukan riset tentang udara ini.
Selanjutnya, Dr Rini juga belum sependapat jika adanya hujan buatan ini efektif tangkal polusi udara. Alasannya adalah air hujan bisa menarik partikel PM 2,5 (partikel polusi) saat bergerak melalui atmosfer sebelum partikel tersebut jatuh ke tanah. Melalui proses coagulation atau pembekuan ini, jumlah partikel polusi yang ada di udara akhirnya bisa menurun, dan kualitas udara akan membaik.
“Tapi, semua ini bergantung pada intensitas hujan dan ukuran partikel polusi, dan konsentrasi polusi. Jika intensitas hujan besar maka makin banyak partikel yang tertarik, akan tetapi jika konsentrasi polusi tinggi juga hanya sedikit yang tertarik oleh air hujan partikelnya dan tentunya hanya partikel yang berukuran lebih besar dari PM 2,5, terutama PM 10, tandas Dr Rini.
Dengan demikian, sambungnya, hujan buatan hanya bisa dijadikan sebagai solusi sementara atau solusi jangka pendek. Perlu pemecahan solusi jangka panjangnya dengan pengendalian sumber polusi yang ada.
Lihat juga: Menyongsong Indonesia Sebagai Kiblat Industri Halal
Saat ini, Dr Rini sedang melakukan riset terkait pencemaran udara dari cerobong tak bergerak di wilayah Sidoarjo, yaitu berkaitan dengan debu atau partikulat dengan membuat alat ukur debu atau partikulat menggunakan sensor debu. Riset ini ia lakukan di jalan Raya Candi Sidoarjo. Dari hasil pengukuran dan sebaran hasil pengukuran, dinyatakan debu atau partikulat masih dibawah baku mutu udara ambien. Hal ini menunjukkan adanya kualitas udara yang masih aman di daerah ini.
Wawancara eksklusif: Dr S Syahrorini ST MT
Penulis: Romadhona S.