Umsida.ac.id – Banyak pertanyaan yang diajukan kepada umat Islam didasarkan pada anggapan liberal. Praanggapan ini dibangun di atas prinsip-prinsip pertama yang tidak kokoh. Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan ini tidak memiliki bobot epistemik.
Daripada meragukan Islam yang kita yakini, sebaiknya kita meragukan dasar pertanyaan itu sendiri yang tidak berdasar. Umat Islam menjadi sangat menyesal, sering kali tunduk pada anggapan-anggapan ini tanpa menantang keabsahannya.
Lihat juga: Pencerahan, Awal Mula Sebuah Peradaban Menghadapi Masyarakat Korup
Dalam masyarakat kuno seperti Yunani, mitologi memainkan peranan penting. Orang-orang Yunani percaya pada dewa-dewa seperti Athena, Zeus, dan Hercules tanpa pembenaran yang nyata. Keyakinan mereka didasarkan pada tradisi, bukan bukti. Demikian pula, masyarakat Barat modern sering kali mempercayai liberalisme secara aksiomatis, tanpa pembenaran.
Perbedaan nyata antara orang Yunani kuno yang percaya pada Zeus dan orang Barat modern yang percaya pada liberalisme sangat minim dalam hal epistemologi. Keduanya percaya pada sesuatu tanpa bukti atau alasan yang kuat.
Oleh karena itu, penting untuk mempertanyakan ketidakberdasaran ideologi-ideologi modern ini daripada menerimanya secara membabi buta. Jeremy Bentham, pendahulu John Stuart Mill, juga mempromosikan utilitarianisme dan menekankan kesenangan dan penderitaan sebagai prinsip panduan.
Pendekatan ini, dimana hasrat menjadi panduan utama, mencerminkan tren yang lebih luas dalam filsafat Barat. Al-Qur’an memperingatkan tentang orang-orang yang menjadikan nafsunya sebagai tuhannya.
Kesimpulannya, ideologi liberal sering kali dianggap rasional, namun tidak memiliki bukti kuat. Umat Islam harus menantang premis ideologi-ideologi ini daripada menerimanya begitu saja. Penting untuk dipahami bahwa ideologi Barat modern, seperti halnya mitologi kuno, tidak berdasar dan tidak boleh diterima hanya karena berasal dari budaya dominan.
Islam tak menentang kebebasan
Ini bukanlah cara penyelidikan kritis. Ketika ditanya apakah umat Islam menentang kebebasan berpendapat atau berekspresi, kita harus mengklarifikasi: kita tidak menentang kebebasan berpendapat, selama hal tersebut tidak bertentangan dengan Islam. Al-Qur’an menetapkan batasan pada jenis ucapan tertentu.
Misalnya, larangan berbicara tidak hormat kepada orang tua, seperti yang ditunjukkan dalam ayat, “Jangan berkata kepada orang tuamu ‘uff’ [ekspresi kesal].” Ini adalah bentuk sensor diri. Contoh lainnya adalah, “Janganlah kamu mengutuk orang-orang yang mereka sembah selain Allah, jangan-jangan mereka dengan zalim mengutuk Allah karena ketidaktahuan.” Dalam Islam, kita tidak diperbolehkan menghina dewa agama lain.
Penistaan agama, khususnya terhadap para nabi, dianggap sebagai pelanggaran serius dalam Islam. Kita tidak meminta maaf atas pendirian ini, dan kita juga tidak mengizinkan penistaan tanpa perlawanan, meskipun bertentangan dengan paradigma lain.
Meskipun kita mengakui kebebasan berpendapat, prinsip-prinsip yang mendasari liberalisme tidak terbukti rasional, koheren, atau konsisten dari prinsip pertama. Oleh karena itu, kita tidak menerimanya begitu saja.
Dalam masyarakat liberal, orang sering kali membela kebebasan berpendapat secara agama, namun mereka pun mengakui keterbatasannya. Misalnya, rasisme tidak diperbolehkan di sekolah-sekolah di seluruh Eropa. Mereka juga membatasi penyebaran informasi berbahaya kepada masyarakat, seperti instruksi pembuatan bom atau gas beracun, karena membahayakan masyarakat.
Posisi Muslim
Sebagai Muslim, kita memiliki landasan epistemik atas keyakinan kita. Kita beriman kepada Allah yang dapat dibuktikan melalui watak bawaan (fitrah) dan argumentasi rasional seperti argumentasi halus dan kosmologis. Perintah Allah itu sempurna karena Dia maha mengetahui, maha kuasa, dan maha bijaksana. Inkonsistensi dan kegagalan para filsuf manusia tidak dapat disamakan dengan perintah ilahi Allah.
Banyak umat Islam yang merasa ragu karena mereka dikondisikan untuk menerima filsafat Barat tanpa ragu. Kita tidak boleh begitu saja menyerap mitologi orang Barat hanya karena mitologi tersebut mendominasi narasi budaya.
Persamaan sejarah dapat digambarkan dengan orang-orang Yunani kuno yang percaya pada dewa-dewa seperti Zeus dan Athena tanpa bukti, hanya karena itu adalah bagian dari budaya mereka. Demikian pula, orang-orang Barat modern percaya pada liberalisme secara aksiomatis.
Liberalisme belum tentu berhasil bagi masyarakat Barat. Negara-negara Skandinavia dan negara-negara Barat lainnya, yang memiliki nilai-nilai liberal dan ateistik yang tinggi, juga memiliki tingkat depresi dan bunuh diri yang tinggi.
Lihat juga: Dosen Umsida Jelaskan Kesinambungan 3 Ilmu Pengetahuan Alam Ini dan Nilai-Nilai Islam
Studi yang dilakukan oleh WHO dan Majalah Forbes menunjukkan bahwa negara-negara yang paling mengalami depresi sebagian besar adalah negara-negara liberal dan negara-negara Barat. Hal ini menunjukkan kegagalan liberalisme dan impian Amerika, karena tidak ada makna yang melekat pada kehidupan masyarakat.
Islam menawarkan cahaya bagi mereka yang mencari tujuan, menjauh dari pemanjaan diri menuju kehidupan yang disiplin dan bermakna. Kita tidak boleh menerima pernyataan-pernyataan sok suci dari Barat tanpa pengawasan yang cermat. Dogma pasca-pencerahan ini sering kali diterapkan tanpa bukti. Kita akan mempercayai kebebasan berpendapat hanya jika hal tersebut sejalan dengan Islam. Misalnya Allah berfirman, “Tidak ada paksaan dalam beragama,” artinya beriman adalah pilihan pribadi, meski kekafiran ada konsekuensinya.
Islam mendukung kebebasan berpendapat selama hal tersebut merupakan pencarian kebenaran yang tulus, bukan sarana untuk menyakiti atau menghina. Baik itu mengutuk ibu atau tuhan seseorang, kita tidak mendukung perilaku tersebut. Sudah waktunya bagi dunia Barat untuk menyadari bahwa ideologinya belum berhasil baik secara individu maupun sosial. Mereka harus mencari tujuan hidup, yaitu mengenal Allah, Sang Pencipta, memahami asal usul kita, dan tujuan akhir kita. Dengan keyakinan yang teguh, kita bisa membuat sesuatu yang berarti dalam hidup kita.
Penulis: Dr Kumara Adji