liberalisme

Liberalisme, Suatu Paham Menuju Kebebasan dan Pandangan Tentang Islam

Umsida.ac.id – Era sekarang memiliki banyak sebutan. Sebelumnya, hanya ada satu: Era Modern, meski sebenarnya yang mengalami masa modern itu hanya di Barat. Namun, era sekarang para filsuf/intelektual menyebut era Post-Modern/Pasca-Modern, Post-Enlightenment/Pasca-Pencerahan, dan Post-Colonialism/Pasca-Kolonialisme. Masing-masing sebutan memiliki karakteristiknya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kita umat Islam berada di era tersebut. Era yang kental dengan nuansa Barat. Dan ketika berhadapan dengan Barat, umat Islam sering menghadapi banyak pertanyaan, terutama mengenai gagasan pasca-Pencerahan dan hubungannya dengan Islam. Misalnya, orang Barat mungkin bertanya mengapa umat Islam tersinggung ketika sosok Nabi Muhammad digambar atau ketika ada penghinaan terhadap Islam. 

Orang Barat mungkin menganggap hal ini sebagai isu kebebasan berekspresi (liberalisme) dan mempertanyakan apakah Islam menentang kebebasan tersebut. 

Baca juga: Cegah Gerakan Radikal Melalui Integrasi Darul ‘Ahdi wa Syahadah

Argumennya bisa lebih jauh lagi, dengan menyatakan bahwa Islam adalah agama terbelakang yang perlu direformasi, karena tampaknya bertentangan dengan nilai-nilai Pencerahan seperti liberalisme dan kebebasan berpendapat.

Ini adalah pertanyaan-pertanyaan penting, namun hal yang lebih penting adalah bagi kita umat Islam untuk memeriksa asumsi-asumsi di balik pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ini karena setiap pertanyaan mempunyai praanggapan—asumsi yang mendasarinya. Misalnya, ketika umat Islam langsung bersikap defensif, hal ini mencerminkan bagaimana negara-negara kolonial Barat pernah mencoba memaksakan keyakinan mereka secara militer, dan sekarang, pengaruh Barat pasca-kolonial mencoba melakukan hal tersebut secara ideologis.

Ada beragam tanggapan umat Islam terhadap tantangan ini. Beberapa orang mungkin menyerah dan setuju bahwa Islam memerlukan reformasi dan kebangkitan kembali agar selaras dengan cita-cita Barat. Pihak lain menolak sepenuhnya gagasan ini, menganggapnya sebagai ideologi beracun yang harus diberantas. Pihak pertama boleh jadi mereka dilabeli sebagai kelompok lunak, sedangkan kelompok kedua disebut sebagai kelompok garis keras.

Argumen inti di sini adalah bahwa pertanyaan-pertanyaan itu sendiri bermasalah. Untuk mengatasi hal ini kita perlu memahami asal usul perkembangan paham Liberalisme, menelaah prinsip-prinsip dasarnya, dan menganalisis dampak terhadap wacana antara Islam dan Barat.

Banyak konsep seperti kebebasan berekspresi dan berbicara merupakan perluasan dari kerangka filosofi liberal. Jika sebuah pertanyaan mengandaikan liberalisme, kita harus bertanya: Bagaimana jika ideologi itu sendiri cacat atau tidak berdasar? Misalnya, jika liberalisme didasarkan pada praanggapan yang dapat diperbaiki (mampu melakukan reformasi atau perbaikan), maka pertanyaan-pertanyaan yang menentang Islam berdasarkan liberalisme mungkin sudah ketinggalan zaman.

Asal-Usul dan Prinsip Liberalisme: Kesetaraan, Hedonisme, Tidak Merugikan
liberalisme
Ilustrasi: Freepik

Dalam sejarah liberalisme. John Locke, seorang tokoh berpengaruh yang meninggal pada tahun 1704, menulis Two Treatises of Government, yang menganjurkan kontrak sosial dan kesetaraan serta kebebasan semua individu. Locke, seorang Kristen Unitarian (berseberangan dengan Trinitarian), percaya pada satu Tuhan dan mendasarkan sebagian besar filosofinya pada keyakinan ini. Ide-idenya secara signifikan mempengaruhi dokumen-dokumen politik Barat seperti Deklarasi Kemerdekaan AS dan Bill of Rights Inggris.

Kepercayaan Locke pada Tuhan terlihat jelas dalam argumennya bahwa manusia dilahirkan bebas dan setara karena mereka diberkahi oleh Penciptanya. Gagasan ini tercermin dalam Deklarasi Kemerdekaan AS, yang menyatakan bahwa semua manusia diciptakan setara dan mempunyai hak yang tidak dapat dicabut atas hidup, kebebasan, dan upaya mencapai kebahagiaan—gagasan yang diambil langsung dari filosofi Locke.

Oleh karena itu, ketika menjawab pertanyaan tentang Islam dan nilai-nilai Pencerahan, penting untuk menyadari bahwa landasan nilai-nilai ini bertumpu pada asumsi-asumsi yang dapat ditentang. Dengan memahami asal-usul dan prinsip-prinsip liberalisme, seseorang dapat menavigasi dan merespons wacana kompleks antara Islam dan ideologi Barat dengan lebih baik.

Locke mempunyai dua atau tiga prinsip yang dia yakini. Salah satunya adalah keyakinan teologis: dia percaya bahwa semua umat manusia dianugerahi kesetaraan dan kebebasan oleh Tuhan. Namun, dia juga percaya pada sesuatu yang disebut prinsip hedonistik. 

Prinsip hedonistik adalah gagasan bahwa moralitas tertinggi didasarkan pada rasa sakit dan kesenangan. Menurut prinsip ini, apa yang pada akhirnya baik adalah apa yang terasa baik atau menyenangkan atau diinginkan oleh seseorang. Hal ini akan menjadi landasan filsafat moral liberal.

Lihat Juga :  Islam Tak Boleh Menerima Pernyataan dari Barat Tanpa Pengawasan

Baca juga: Rusaknya Negeri Karena Pemimpin dan Ulamanya

Setelah John Locke, yang memiliki pengaruh signifikan akibat Perang Saudara Inggris (1642-1651) antara kaum royalis dan anggota parlemen, Parlemen menyusun kembali dirinya menggunakan banyak prinsip Lockean. Prinsip-prinsip ini menjadi normatif di Inggris, dan Amerika serta Perancis juga mengadopsinya. Dengan demikian, prinsip-prinsip liberal menjadi norma, dan siapa pun yang menentangnya dianggap menyimpang dari norma-norma sosial dan budaya Barat.

Setelah John Locke, banyak filsuf, seperti Montesquieu, Rousseau, dan Tocqueville (yang menulis “Demokrasi di Amerika”), mengemukakan teori-teori ini. Yang paling menonjol, John Stuart Mill, di era Victoria, mengembangkan prinsip kerugian. Sekitar 100 hingga 200 tahun setelah Locke, Mill mengembangkan filsafat liberal lebih jauh. Meskipun Mill percaya pada kesetaraan, dia tidak mengaitkannya dengan Tuhan. Bahkan ada yang menganggapnya agnostik. Dia meninggalkan diskusi teologis dari filsafatnya.

Di sinilah letak masalah yang signifikan bagi kaum liberal: Jika pembenaran awal bagi manusia untuk dilahirkan setara dan bebas didasarkan pada teologi (yaitu, Tuhan), bagaimana mungkin para filsuf berturut-turut mempertahankan sistem kepercayaan yang sama tanpa prinsip yang sama? Mill, misalnya, mengatakan kita dilahirkan setara dan bebas tetapi tidak mendasarkannya pada Tuhan. Pertanyaan yang kemudian muncul: Bagaimana Anda bisa membuktikan bahwa kita dilahirkan setara atau bebas tanpa landasan teologis?

liberalisme
Ilustrasi: Pexels

John Locke sendiri mengakui bahwa kesetaraan mungkin tidak bersifat universal, karena Sang Pencipta mungkin akan mengambil keputusan yang berbeda. Apa yang dimaksud dengan kesetaraan jika kita tidak dilahirkan setara dalam segala keadaan? Ada yang lahir di daerah miskin, ada yang berkecukupan, ada yang cacat, dan ada yang berjenis kelamin laki-laki atau perempuan dari berbagai ras. Di manakah letak kesetaraan dalam perbedaan-perbedaan ini? Beberapa pihak mendukung kesetaraan kesempatan, sementara yang lain mendukung kesetaraan hasil, dengan menyesuaikan pandangan mereka untuk mengatasi kesenjangan yang ada.

Apalagi hampir semua filosof, termasuk atheis, sepakat bahwa segala sesuatu ditentukan oleh genetika dan lingkungan. Lalu, apa yang dimaksud dengan kebebasan? Kedengarannya menarik tetapi tidak memiliki dasar bukti yang nyata.

John Stuart Mill mencoba membuktikan utilitarianisme yang merupakan perpanjangan dari prinsip hedonistik. Utilitarianisme adalah gagasan untuk mencapai kebaikan terbesar bagi sebanyak mungkin orang, dan menekankan kesenangan kolektif. Ini menjadi cara paling normatif untuk menggambarkan liberalisme. Mill juga memperkenalkan prinsip merugikan (harm principle), yang menyatakan bahwa Anda dapat melakukan apapun yang Anda inginkan selama Anda tidak merugikan orang lain. Bukankah ini yang sering kita dengar?

Bagi kaum liberal, homoseksualitas tidak dianggap sebagai masalah dalam masyarakat, dan mereka percaya bahwa orang dapat melakukan apa pun yang membuatnya merasa baik selama ia tidak merugikan orang lain. Ide ini datang dari John Stuart Mill, yang memainkan peran penting dalam penerimaannya. Mill menulis sebuah buku berjudul Utilitarianisme, di mana ia mencoba membuktikan utilitarianisme—sebuah filosofi yang berpusat pada pencapaian kebaikan terbesar untuk jumlah terbesar.

Baca juga: Pencerahan, Awal Mula Sebuah Peradaban Menghadapi Masyarakat Korup

Namun, salah satu bagian karyanya yang paling dikritik adalah upayanya untuk membuktikan utilitarianisme. Kritikus berpendapat bahwa alasannya bersifat melingkar dan tidak meyakinkan. Hal ini menyebabkan banyak pemikir liberal yang serius menyimpulkan bahwa hedonisme dan utilitarianisme tidak dapat dibuktikan secara pasti. Konsekuensinya, prinsip-prinsip dasar liberalisme tidak bersifat tetap, obyektif, absolut, atau benar. Jika fondasi suatu benda goyah, maka benda itu sendiri pun akan goyah.

John Stuart Mill, yang memperluas konsep kebebasan berekspresi dalam tulisannya tentang liberalisme, dan filsuf lain seperti Voltaire, mempromosikan gagasan seperti kebebasan berbicara. Namun, argumen mereka didasarkan pada landasan yang dapat diperbaiki dan tidak berdasar. Umat Islam di Barat sering diminta untuk membenarkan keyakinan mereka berdasarkan landasan moral dan filosofis. Ketika ditanya mengapa umat Islam menentang menggambar kartun Nabi mereka, atau isu kemurtadan, jawabannya seharusnya: “Buktikan kepada saya bahwa liberalisme itu benar.”

Penulis: Dr Kumara Adji K.

Berita Terkini

Membanggakan 7 Dosen FAI Umsida Lolos Tim Pengusul Penelitian Risetmu Batch VIII
Membanggakan 7 Dosen FAI Umsida Lolos Tim Pengusul Penelitian RisetMu Batch VIII
December 12, 2024By
kerja sama Fikes Umsida dan Stikes Santa Elisabeth Keuskuoan Maumere
Sambut Hangat Fikes Umsida Terima Kerja Sama STIKes Santa Elisabeth Maumere, Kembangkan Ilmu Kesehatan
December 12, 2024By
FPIP Umsida Selenggarakan Lomba Tari Tradisional Bersama Mahasiswa Internasional
FPIP Umsida Buat Jembatan Budaya, Selenggarakan Lomba Tari Tradisional
December 6, 2024By
Tanwir dan Milad ke-112 Muhammadiyah, Ini 4 Alasan Angkat Tema Kemakmuran
December 4, 2024By
Hari Disabilitas Internasional, FAI Umsida Cetak Generasi Berjiwa Sosial Tinggi
Hari Disabilitas Internasional, FAI Umsida Cetak Generasi Berjiwa Sosial Tinggi
December 3, 2024By
karakter islami mahasiswa 1_11zon
Pentingnya Pendidikan Karakter Islami Bagi Mahasiswa
December 3, 2024By
kenaikan gaji guru
Prabowo Naikkan Gaji Guru Hingga Rp81,6 Triliun, Dosen Umsida Beri Tanggapan
December 2, 2024By
PKMU ibadah
Mengapa Ibadah Menjadi Hal Utama yang Wajib Dimiliki Mahasiswa?
December 1, 2024By

Riset & Inovasi

Interactive Books, Mampu Dorong Komunikasi dan Kolaborasi Siswa
Interactive Books, Mampu Dorong Komunikasi dan Kolaborasi Siswa
September 16, 2024By
ekonomi sirkular
Dosen Umsida Beri Pelatihan Penerapan Manajemen Usaha Berbasis Ekonomi Sirkular pada Proses Produksi Pangan Halal
September 14, 2024By
Pembelajaran Melalui E-Modul (4)
Umsida Dorong Inovasi Pembelajaran Melalui E-Modul Literasi Berbasis Etnopedagogi
September 11, 2024By
Mesin Perajang dan Pengaduk Sambal
Inovasi Mesin Perajang dan Pengaduk Sambal Otomatis 3 Dosen Umsida
September 8, 2024By
legalitas BUMDesa
Tim Abdimas Umsida Akan Urus 5 Legalitas BUMDesa di 2 Kabupaten Usai Bantu 2 Desa Ini
August 29, 2024By

Prestasi

riset dan abdimas Umsida meningkat 1
Riset dan Abdimas Umsida Meningkat, 65 Proposal Penelitian Lolos Program Risetmu 2024
December 11, 2024By
MFQ FAI Umsida Sabet Juara Nasional Lagi
Semangat Tanpa Batas, Tim MFQ FAI Umsida Sabet Juara Nasional Lagi
December 8, 2024By
Mahasiswa PBA Umsida Raih Juara Video Kreatif Bahasa Arab di DLA Fair 2024
Mahasiswa PBA Umsida Raih Juara Video Kreatif Bahasa Arab di DLA Fair 2024
December 1, 2024By
Dua Srikandi FAI Umsida Ini Berhasil Raih Juara di Kejurda Tapak Suci Jember
November 25, 2024By
flash card kodifikasi
Laboran MIK Umsida Buat 107 Flash Card untuk Permudah Mahasiswa Pelajari Kodifikasi
November 19, 2024By