Umsida.ac.id: Tindak korupsi yang terjadi di negeri ini sungguh menyesakkan hati. Bagaimana tidak, tindak korupsi terus terjadi dan secara kolektif, mengiringi hutang Indonesia yang menggunung.
Putra seorang pegawai pajak yang pamer mobil mewah, menjadi titik terang terkuaknya berbagai transaksi ilegal sang bapak, hingga di tempat kerjanya di kementerian keuangan.
Pada kementerian keuangan RI yang dipandegani oleh Sri Mulyani baru-baru ini terungkap ada transaksi gelap senilai Rp. 300.000.000.000.000,- (Tiga Ratus Triliun Rupiah). Menkopolhukam Mahfud MD menyebut itu sebagai tindak pencucian uang.
Berbagai aksi pamer kekayaan para pejabat negeri ini, yang langsung diingatkan oleh Sri Mulyani agar jangan suka pamer kekayaan oleh pegawai di divisinya. Demikian juga sang Presiden Joko Widodo mengingatkan hal yang sama bagi pejabat publik lainnya.
Peringatan ini pun dinilai salah kamar, seharusnya bukan sikap suka pamer yang dilarang, tapi tindak korupsinya.
Di sisi lain, Mengutip buku APBN Indoensia edisi Januari 2023, hutang Indoensia mencapai Rp.7.554.250.000.000.000,000- (Tujuh Ribu Lima Ratus Empat Triliun Dua Ratus Lima Puluh Miliar Rupiah), telah mencapai nilai yang fantastis.
Secara rasio utang Indoenesia mencapai 48,65 persen terhadap PDB. Batas kritis yang ditetapkan oleh Menkeu adalah 60 persen, artinya tinggal 11,35 persen lagi mencapai 60 persen. Sekali lagi Presiden Jowkowi berhutang, bisa diperkirakan sampai 60 persen, maka negeri ini sudah mengalami krisis.
Krisis itu akan menjadikan pendapatan negeri ini akan habis hanya untuk membayar hutang luar negeri. Rakyat lebih banyak dipajaki untuk bayar utang tersebut. Dan lebih parah lagi intervensi asing akan semakin kuat. Keadulatan negeri ini sebagai negara meredeka akan terkikis habis.
Jarak antara si kaya dan si miskin semakin lebar dengan dilaporkannya jumlah pejabat kaya negeri terus bertambah. KPK Ungkap 70,3 Persen Pejabat Bertambah Kaya Selama Pandemi. Patut dicurigai, bahwa itu adalah hasil dari tindak korupsi.
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mengungkap kesenjangan antara orang kaya dan miskin di Indonesia, bahwa satu persen warga Indonesia menguasai 50 persen aset nasional. Jika dilakukan hitungan kasar, 90 persen warga Indonesia memperebutkan 30 persen aset nasional.
Sepatutnya kita semua, terutama bagi para pemmimin dan ulama, belajar dari para pejuang negeri ini, yang telah menjadi pahlawan bangsa. Mengenang kembali jasa para pahlawan, tentu kita akan merasa kerdil jika membandingkan dengan apa yang telah mereka perjuangkan.
Refleksi Keprihatinan Ekonomi KH Ahmad Dahlan
Salah satu contoh sosok pahlawan yang bisa kita teladani, terutama bagi para pemimpin dan ulama di bangsa ini adalah dari sosok KH Ahmad Dahlan, Pahlawan Indonesia yang juga pendiri organisasi masyarakat Muhammadiyah. Gerakan ekonominya yang patut diteladani.
Hingga kini, konsep yang diwujudkannya dalam amal usaha terus berkontribusi bagi masyarakat dalam bentuk sekolah, Perguruan tinggi, rumah sakit, panti asuhan, dan lembaga pendidikan, ekonomi, dan sosial sebagainya. Ini berkat spiritualitas ekonomi yang dikembangkannya.
Awal gerakan ekonomi yang dicanangkan oleh KH Ahmad Dahlan bermula dari kegundahan dan terguncangnya hati Ahmad Dahlan ketika merefleksi ayat-ayat dalam Al Quran, yakni Al Quran Surat At Taubah: 34-35; Surat Al Fajr: 17-23; Surat Al Ma’un.
Beberapa ayat tersebut yang mencetuskan perubahan besar dalam diri KH Ahmad Dahlan dengan gelora api semangat pendorong pengorbanan harta diri pribadi beliau. Ayat ini pulalah yang menjadi fondasi pemikiran ekonomi KH Ahmad Dahlan.
Dalam Al quran Surat at Taubah: 34-35, ayat ini menyeru kaum beriman untuk tidak memakan harta orang dengan jalan yang batil, serta menyeru mereka untuk tidak menyimpan harta benda untuk diri sendiri dan mendesak kaum beriman untuk menafkahkan harta mereka di jalan Allah. Allah memberikan ancaman kepada yang tidak melaksanakannya berupa siksa yang teramat pedih di akhirat kelak. Inilah yang menjadi akar pemikiran dan amal pendiri gerakan Muhammadiyah itu.
“34. Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. 35. pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”(Al Quran Surat at Taubah: 34-35)
Ayat di atas erat hubungannya dengan ekonomi. Dalam Islam persoalan ekonomi ini pun berkaitan erat dengan harta atau rizki yang dikaruniakan Allah kepada manusia dan harta ini akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak tentang bagaimana mendapatkannya (income) dan bagaimana membelajankannya (expenditure).
Dengan tegas dalam Islam, dari kutipan ayat di atas, menyebutkan harta tidak untuk disimpan saja demi kepentingan pribadi, namun untuk dinafkahkan atau dibelanjakan di jalan Allah. Karenanya, harta ini bisa menjadi fitnah dan kehancuran bagi seseorang manusia namun juga bisa menjadi media kemuliaannya di dunia dan terutama di akhirat. Kemuliaan itu adalah dengan menjadikan Al Quran sebagai panduan dalam membelanjakan harta. KH Ahmad Dahlan pun selanjutnya mengorelasikan ayat Al Quran Surat at Taubah: 34-35 di atas dengan ayat Al Quran Surat Al Fajr,17-23;
“17. Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim. 18. dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin. 19. dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil). 20. dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan. 21. Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-turut. 22. dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris. 23. Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya.”
Renungan bagi Pemimpin dan Ulama: Berani Berkorban
Dikisahkan bahwa KH Ahmad Dahlan siang dan malam melakukan refleksi atas ayat tersebut. Hingga memunculkan pertanyaan yang kemudian ditanyakan kepada setiap orang yang ditemuinya,
“Apakah engkau berani membuang kebiasaan mencintai harta benda? Beranikah Engkau menjalankan agama Islam dengan sesungguh-sungguhnya, dengan menyerahkan harta bendamu, dirimu, di bawah perintah Allah? Beranikah engkau mengorbankan harta bendamu kepada jalan Allah? Apakah kamu tidak akan takut akan siksa Allah di hari kiamat? Apakah tidak kamu pikirkan akibat yang akan menimpa dirimu?”
Pertanyaan tersebut pun membuat orang yang ditanya jadi merasa malu, takut, dan segan untuk mendekati KH Ahmad Dahlan. Menanggapi pertanyaan tersebut, murid dan sekaligus sekretaris KH Ahmad Dahlan, KRH Hadjid, bertanya “Apakah dengan syahadat dan shalat yang ada padaku itu belum cukup diakui sebagai orang yang menjalankan agama,” KH Ahmad Dahlan menjawab, “Cobalah kau pikirkan dengan sungguh-sungguh sura Al Ma’un.” Dan implementasi Al Quran Surat Al Ma’un ini dipraktikkan dan diajarkan kepada para muridnya seperti yang sudah secara populer dikisahkan:
Setiap Kuliah Subuh, berulang kali Kiai mengajarkan tafsir Surah Al-Ma’un, hingga berhari-hari tidak ditambah-tambah.
“Kiai! Mengapa pelajarannya tidak ditambah-tambah?,” Pak H. Suja’ Bertanya
“Apa kamu sudah mengerti betul?.” Tanya beliau pula.
“Kami sudah hafal semua, Kiai,” Jawab pak Suja’.
“Kalau sudah hafal apa sudah diamalkan?,” Tanya Kiai
“Apanya yang diamalkan? Bukankah Surat Al-Ma’un, berulang kali kami baca untuk rangkapan Fatihah di kala kami Salat?,” jawab pak Suja’
“Bukan itu yang saya maksudkan. Diamalkan, artinya dipraktekkan, dikerjakan! Rupanya saudara-saudara belum mengamalkannya. Oleh karena itu, mulai hari ini, Saudara-saudara agar berkeliling mencari orang miskin. Kalau sudah dapat, bawa pulanglah ke rumahmu masing-masing. Berilah mereka mandi dengan sabun yang baik, berilah pakaian yang bersih, berilah makan dan minum, serta tempat tidur di rumahmu. Sekarang juga pengajian saya tutup, dan Saudara-saudara melakukan petunjuk saya tadi!.”
Lebih lanjut, KH Ahmad Dahlan pun terus merefleksi Al Quran Surat Al Maun dengan pertanyaan, “Betulkah kita sebagai orang Islam yang berani menyerahkan harta dan jiwa raganya di bawah hukum Allah?” Inilah unsur yang yang menggoncangkan hati KH Ahmad Dahlan. Mengenai harta, tentang bagaimana harta itu diperoleh, dan bagaimana menggunakan harta itu dalam kehidupannya di Jalan Allah yang dalam konteks ini adalah untuk membela kaum tertindas, kaum fakir-miskin, dan untuk mewujudkan kemakmuran masyarakat yang diridhai Allah SWT.
Selain ayat Al Quran, Hadits Rasulullah SAW juga turut menjadi pertimbangan KH Ahmad Dahlan adalah tentang penggunaan harta; seperti misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzaar al Ghifari:
“Aku berjalan dengan nabi SAW di Madinah dekat gunung Uhud, Rasulullah bersabda, “aku tidak senang mempunyai emas sebesar gunung sehingga lebih dari tiga malam, aku punya emas dinar untuk agama, kuberikan kepada hamba hamba Allah ke sana ke sini ke muka,” sambal berisyarat ke kanan dan ke kiri, ke muka dan ke belakang. “Harta benda tidak perlu kusimpan melainkan kuberikan kepada hamba-hamba Allah.” Rasulullah berjalan terus dan bersabda “sungguh kebanyakan manusia itu rugi (pada hari kiamat) kecuali orang-orang yang membagikan hartanya kepada hamba-hamba Allah dan yang suka membagi-bagikan barang yang sedikit dari miliknya. Abu Dzaar berkata, selanjutnya Rasullah bersabda, “Hai Abu Dzaar apakah engkau berpendapat bahwa orang yang banyak hartanya itu kaya?” Aku menjawab “ya,” kemudian Rasulullah bersabda, “sungguh orang yang kaya itu orang yang hatinya tidak membutuhkan harta, dan orang fakir itu ialah orang yang hatinya sangat suka kepada harta.”
Dalam telaah beliau menanggapi hadits ini, KH Ahmad Dahlan pun lantas membacakan kitab Al Uhd wa al Mawatisiq (perjanjian yang kukuh). Kemudian KH Ahmad Dahlan menyampaikan pesan:
“Inilah perjanjian diantara kaum muslimin. Salah satu dari perjanjian itu ialah tidak boleh bekerja, menanam, mengetam, membikin pakaian, dan memasak makanan serta kerja apa saja untuk mencari harta. Aku berniat sengaja beribadah taat karena Allah, mengharap keridhaanNya, dan bekerja membikin manfaat untuk maslahah kepada para hamba Allah serta diriku sendiri hanya termasuk salah satu dari para Hamba Allah. Artinya aku tidak boleh mementingkan diriku sendiri, tetapi bersama-sama mementingkan jalan Allah.”
Rusaknya Negeri karena Pemimpin dan Ulamanya
Berbagai pertayaan reflektif tentang gerakan fisabilillah tersebut sepatutnya juga menjadi refleksi bagi siapaun kaum Muslim, namun terlebih bagi para ulama dan para pemimpin umat, terkait soal-soal kemiskinan dan kekayaan, dan secara umum kesejahteraan masyarakat.
Kegundahan hati KH Ahmad Dahlan itu disampaikan juga melalui ungkapan dari imam Al Ghazali yang ditujukan kepada para pemimpin dan ulama, yakni “Fasadul ra’yati min fasadul muluk wa fasadul muluki min ulamaissyu’,”yang artinya “Rusaknya Rakyat adalah karena rusaknya pemimpin, dan rusaknya pemimpin itu adalah dari ulama yang buruk (suuk).”
Secara verbal KH Ahmad Dahlan mengatakan, “Kebanyakan para pemimpin rakyat belum berani mengorbankan harta benda dan jiwanya untuk berusaha tergolongnya umat manusia dalam kebenaran. Malah pemimpin-pemimpin itu biasanya hanya mempermainkan, memperalat manusia yang bodoh dan lemah.”
Seperti halnya KH Ahmad Dahlan, berbagai ayat dan Sunnah yang menjadi refleksi itu perlu untuk senantiasa dipikirkan, dimusyawarahkan secara bersama-sama siang dan malam untuk melaksanakannya. Kemudian mencari tahu rintangan-rintangan apa saja yang menghalangi untuk mengerjakan ayat ini.
Kapan ayat ini diamalkan? Apabila sekali hidup kita ini ditetapkan sebagai pendusta agama dan akibatnya kita masuk neraka, apakah kita tidak rugi? Apakah kita masih merasa akan selamat dari api neraka? Dan apakah tidak takut dengan siksaan api neraka?
Itulah pertanyaan-pertanyaan yang terus menggelayuti pikiran dan ditanyakan kepada orang-orang yang dikenalnya. KH Ahmad Dahlan terus mengajak para pemimpin dan ulama untuk membahas soal kesejahteraan dan kemiskinan sehingga semua merasakan kenikmatan Allah sampai hilang dan lenyap segala bentuk penindasan dan semua kezaliman; hingga di bawah kolom langit tidak ada lagi penderitaan.
Kepemimpinan baik dari pemimpin negeri dan ulama ini menjadi penting dalam pengembangan ekonomi. Seperti dijelaskan oleh Ibn Khaldun yang mengembangkan model ekonomi interdisplin yang dinamis dan telah dikembangan pula oleh Dr. M. Umer Chapra dengan satu fungsi G = f (S, N, W, g & j )
Dimana G = Political Authoriity/pemeringah, S = Syariah (peraturan/Perundang-undangan yang berlaku), N = Wealth or stock resources (harta), j&g = justice (keadilan) dan growth/development (pertumbuhan). Dari peran para ulama yang menguasai ilmu Syariah (S) dan pemimpin/government (G) yang memiliki otorirtas dan kebijakan publik yang menjadi pelaku utama ekonomi akan terwujud kondisi masyarakat yang ideal seperti digambarkan oleh Ibn Khaldun
KH Ahmad Dahlan terus mengimbau kepada para ulama dan pemimpin hendaknya membahas mengenai hal-hal yang berhubungan dengan hukum fardhu kifayah terkaitpersoalan pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat, hak milik perseorangan, hak milik umum, soal persamaan hak dan persoalan kelas, soal pembagian hasil kerja, soal keadilan, soal penderitaan rakyat, soal pendidikan, soal cita-cita luhur untuk keselamatan umum dan keamanan dan perdamaian hendaknya dipelajari sedalam-dalamnya.
Bagaimana Al Quran menuntun untuk persoalan ini. Kemudian bagaimana melaksanakan cita-cita luhur yang telah dipelajari? Jalan apakah yang harus ditempuh untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Bagaimana cara mengatasi berbagai permasalahan dan rintangan pada saat ini? Berbagai pertanyaan ini disampaikan oleh sekretaris KH Ahmad Dahlan yakni KRH Hadjid yang menceritakan kembali kehidupan KH Ahmad Dahlan.
Jawabannya, KH Ahmad Dahlan senantiasa mengajak kembali kepada Allah, yakni kembali kepada Al Quran dan Al Sunnah. KH Ahmad Dahlan senantiasa melakukan refleksi atas apa yang telah dicapai untuk kemudian menyempurnakannya atau membuat langkah baru yang lebih baik sebagai gerak langkah selanjutnya. Ini dilakukan secara terus-menerus untuk bisa menemukan bagaimana Islam yang sebenar-benarnya.
Pemikiran KH Ahmad Dahlan sepenuhnya didasarkan pada Al Quran dan Al Sunnah. Keyakinan pada tauhid bahwa Allah adalah pencipta, segala yang ada di langit dan di bumi, yang telah mengutus Nabi Muhammad kepada alam semesta dan menurunkan Al Quran sebagai petunjuk untuk menetapkan yang haq dan yang batil serta meletakkan yang halal dan yang haram sesuai dengan kehendakNya.
Karenanya, dengan mengikuti petunjuk kebenaran Allah tersebut maka manusia akan sampai pada kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ini menjadi konteks pemikiran KH Ahmad Dahlan mengenai Ekonomi yang terindikasi dengan jelas pada falsafah beliau seperti ditulis oleh murid yang juga sekretaris beliau yakni KHR Hadjid dan bagaimana praktik KH Ahmad Dahlan dalam kehidupan sehari-hari yang digambarkan oleh para muridnya.
Merefleksi dari seluruh ajaran KH Ahmad Dahlan, ada banyak yang perlu direnungkan kembali bagi pemimpin dan ulama. Karena rusaknya negara adalah karena rusaknya peimpin, dan rusaknya pemipin kanrena buruknya ulama.
Penulis: Kumara Adji Kusuma (Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo)