Umsida.ac.id – Idul Fitri merupakan salah satu momen yang dinanti-nantikan oleh umat Islam di dunia.
Namun, apa sebenarnya arti dan makna dari Idul Fitri? Apa memang hari ini disebut sebagai hari kemenangan?
Lihat juga: Idul Fitri Bukan Sekadar Perayaan, Ini 2 Hubungannya dengan Puasa Ramadan
Idul Fitri Secara Bahasa

Secara Bahasa Idul Fitri berasal dari kata Bahasa arab. Kata (عِيد) berarti “hari raya” atau perayaan, dan kata “fitri” berasal dari akar kata (فِطْر) – “lā yazālun-nāsu bikhairin mā ‘ajjalu al-fithr” yang berarti berbuka, atau kembali makan setelah sebulan berpuasa penuh menahan makan dan minum di siang hari.
“wakuluu wasyrabuu ḥattā yatabayyana lakumul-khayṭul-abyaḍu minal-khayṭil-aswadi minal-fajr (QS. Al-Baqarah: 187)”.
Sehingga Idul Fitri merupakan hari raya berbuka atau kembali makan yang merujuk pada berakhirnya puasa selama bulan Ramadhan sebagaimana perintah Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh HR. Bukhari, no. 971, dan Muslim, no. 890, dari Dari Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:
“أُمِرْنَا أَنْ نَخْرُجَ فِي الْعِيدِ حَتَّى نُخْرِجَ الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ، فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ، فَيُكَبِّرْنَ وَيَدْعُونَ بِخَيْرٍ، يَرْجُونَ بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ.”
“Kami diperintahkan untuk keluar (menuju tempat shalat) pada hari raya, sehingga kami mengeluarkan para gadis, wanita haid, dan wanita pingitan. Mereka berada di belakang orang-orang, ikut bertakbir dan mendoakan kebaikan. Mereka berharap mendapatkan berkah dan kesucian hari tersebut.”(HR. Bukhari, no. 971, Muslim, no. 890).
Idul Fitri Secara Etimologi

Secara etimologi, Idul Fitri juga bermakna sebagai kembalinya umat muslim ke dalam keadaan fitrah, yakni sifat dasar atau naluri yang tertanam dalam diri manusia sejak lahir, yang secara alami cenderung kepada kebenaran, tauhid (mengesakan Allah), dan kebaikan (QS. Al-A’raf: 172) setelah selama sebulan penuh di bulan Ramadhan dirinya ditarbiyah, dibentuk kembali karakter kemanusiaan dan berusaha membersihkan diri dosa-dosanya.
Penjelasan ini mengacu pada al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 30:
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِۗ ذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ ٣٠
fa aqim waj-haka lid-dîni ḫanîfâ, fithratallâhillatî fatharan-nâsa ‘alaihâ, lâ tabdîla likhalqillâh, dzâlikad-dînul qayyimu wa lâkinna aktsaran-nâsi lâ ya‘lamûn.
Artinya: “Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam sesuai) fitrah (dari) Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (tersebut). Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Arti Fitrah

Ibnu Taymiyah menjelaskan tentang fitrah ini ke dalam tiga aspek penting sebagai berikut:
Pertama, kecenderungan kepada Tauhid, bahwa manusia secara fitrah memiliki kesadaran tentang keberadaan Allah dan kecenderungan untuk menyembah-Nya.
Ini adalah keyakinan dasar yang ada dalam diri setiap manusia, meskipun bisa dipengaruhi oleh lingkungan atau pendidikan yang menjauhkan mereka dari tauhid.
Kedua, kecenderungan kepada kebaikan dan kebenaran, manusia juga mendorong mereka untuk mencari dan menerima kebaikan serta kebenaran.
Manusia secara alami cenderung kepada akhlak yang baik, seperti kejujuran, kasih sayang, dan keadilan, kecuali jika pengaruh luar merusak sifat dasar ini.
Ketiga, kebebasan dari dosa asal. Yakni manusia dilahirkan dalam keadaan suci, bebas dari dosa.
Fitrah mereka adalah kesucian, dan mereka hanya akan bertanggung jawab atas dosa-dosa yang mereka lakukan setelah mencapai usia baligh dan memiliki tanggung jawab moral.
Namun, Ibn Taymiyah juga menekankan bahwa meskipun manusia diciptakan dengan fitrah yang cenderung kepada kebaikan, fitrah ini dapat berubah atau rusak oleh pengaruh lingkungan, budaya, dan pendidikan yang salah.
Lihat juga: 4 Hadits Tentang Kedatangan Lailatul Qadar
Oleh karena itu, tugas utama agama adalah memelihara dan mengembalikan manusia kepada fitrah aslinya, yang murni dan selaras dengan ajaran Islam dan dibutuhkan ketaatan manusia untuk mengikuti aturan-aturan-Nya (syariat) berupa perintah dan larangan-Nya.
Penulis: Rahmad Salahuddin TP SAg MPdI