Umsida.ac.id – Beberapa waktu lalu, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Praktikno, berencana akan membatasi media sosial untuk anak.
Lihat juga: Pengguna Aktif Media Sosial Cenderung Kesepian, Kata Riset
Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr Poppy febriana MMedKom, turut memberikan tanggapannya terkait rencana pelaksanaan pembatasan media sosial untuk anak tersebut.
Kebijakan yang Bukan Lagi Hal Baru
Jika Indonesia mengambil langkah pembatasan media sosial untuk anak, menurutnya kebijakan ini bukanlah hal baru.
Diketahui bahwa selain Indonesia, ada beberapa negara yang lebih dulu memiliki kebijakan pembatasan media sosial untuk anak.
Seperti Australia yang pada November tahun lalu telah mengesahkan undang-undang yang melarang anak di bawah usia 16 tahun menggunakan media sosial.
Lalu, ada pula Perancis yang sejak tahun 2023 telah mewajibkan setiap anak yang berusia di bawah 15 tahun untuk mengantongi izin orang tua ketika akan membuat akun media sosial.
“Langkah ini sangat bagus dan perlu didukung. Tapi ada hal yang lebih esensial pada pembatasan penggunaan media sosial, yaitu penjelasan tentang alasan di balik pembatasan tersebut yang harus dipahami orang,” ujar dosen yang biasa disapa Dr Poppy itu.
Karena, imbuh Dr Poppy, jika penerapan pembatasan media sosial untuk anak tanpa adanya edukasi terlebih dahulu, maka mereka cenderung akan melanggar. Berbeda jika masyarakat diberi pemahaman, mereka akan lebih tahu.
“Bahkan tanpa harus dilarang secara keras pun, mereka akan mengetahui untung ruginya,” katanya.
Fitur Pembatasan Media Sosial untuk Anak
Dosen prodi Ilmu Komunikasi itu menjelaskan bahwa pembatasan media sosial untuk anak ini memang sudah terlaksanakan di beberapa aplikasi media sosial. Misalnya saja YouTube Kids.
“Atau ketika kita ingin membuat akun Instagram, pengguna harus berusia minimal 13 tahun. Artinya berarti pengguna Instagram belum membatasi usia anak karena kategori anak-anak itu dibawah 18 tahun,” ujar Dr Poppy.
Ia mengatakan bahwa semua pihak harus mendapatkan pemahaman, tak hanya si anak saja, terutama dari keluarga.
Dekan Fakultas Bisnis, Hukum, dan Ilmu Sosial itu berkata, “Sekarang banyak anak yang dibesarkan oleh YouTube, lalu tiba-tiba di dibatasi. Tentu mereka tak bisa langsung memahami kebijakan itu.”
Oleh karenanya, orang tua tak hanya membebaskan mereka bermedia sosial dengan berpangku pada fitur kids tersebut, tapi juga harus ada tindakan langsung untuk didampingi, terlebih jika mereka belum cukup umur.
“Jadi fitur itu memang membantu. Tapi bagaimanapun juga itu hanyalah sistem yang masih dibutuhkan peran manusia dalam pengoperasiannya,” jelasnya.
Banyak Tontonan Anak yang Bernilai Buruk
Walau menggunakan YouTube Kids, kata Dr Poppy, bukan berarti tontonan tersebut sudah aman dikonsumsi anak. Masih banyak adegan di konten buruk yang bisa mempengaruhi otak.
Adanya fitur bawaan dari aplikasi bukan menjadi pembatas anak dan media sosial, perlu ada pengawasan untuk membantu fitur tersebut.
Menurutnya, masih banyak film anak yang masih berisi nilai yang tak seharusnya mereka konsumsi. Lantas Dr Poppy memberi contoh dari film Ice Age yang mendefinisikan bahwa keluarga tak harus terdiri dari ayah, ibu, dan anak saja, tapi teman juga bisa menjadi keluarga.
“Jadi kesannya film itu menghilangkan esensi orang tua. Pemahaman seperti itu lah yang harus dimengerti pihak lain selain anak-anak,” kata doktor lulusan Unair itu.
Dan pemberian pemahaman itu cukup sulit lantaran masyarakat Indonesia sudah banyak melompati fase.
“Kita sebenarnya belum selesai era baca tulis, belum ter-literasi semua, lalu lompat ke fase selanjutnya. Hal itu membuat kita memahami sesuatu hanya dasarnya saja,” ujar Dr Poppy.
Ditambah lagi saat ini, banyak pengguna media sosial populer yang digunakan oleh anak seusia SMP seperti Instagram dan TikTok.
Literasi Digital Jadi Landasan
Oleh karena itu, Dr Poppy berpendapat bahwa hal yang perlu ditekankan pada kebijakan pembatasan media sosial untuk anak adalah literasi digital masyarakat.
Jika tidak, maka percuma juga karena konten tersebut merusak sekali untuk anak-anak, banyak pesan negatif yang tersirat walau dikemas secara komedi dan berbentuk animasi.
Dr Poppy berpendapat bahwa pembatasan itu bisa diterapkan jika anak mulai memasuki SMP selayaknya negara lain yang telah memiliki kebijakan serupa.
“Di masa itu, anak sudah dianggap memiliki pendidikan dasar yang kuat sehingga ketika ia melihat konten media sosial, apapun bentuknya ia sudah paham. Jadi, sudah sejauh mana literasi itu diterapkan di Indonesia?,” katanya.
Generasi Z adalah generasi yang tumbuh berdampingan dengan teknologi. Sehingga menurut Dr Poppy akan sedikit susah untuk memisahkan mereka.
Untuk sarana informasi, anak tak harus mencari tahu melalui media sosial saja, tapi bisa menggunakan platform lainnya. Namun, katanya, lagi-lagi peran orang tua sangat dibutuhkan dalam hal pengawasan.
Doktor yang berkecimpung di bidang media komunikasi itu mengatakan, “Anak sekarang banyak yang menggali informasi melalui media sosial, misalnya TikTok, jadi TikTok saja is enough. Padahal konten itu hanya cuplikan saja, bukan informasi utuh.”
Lihat juga: Fenomena FoMO Hingga Munculnya JoMO
Jika perilaku tersebut tidak diarahkan maka akan berdampak buruk bagi mereka. Dan pemangku kebijakan juga membutuhkan kajian kompleks untuk aturan usia pembatasan media sosial untuk anak.
Penulis: Romadhona S.