Umsida.ac.id– Hasan Nasbi ajak objektif lihat hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dan tidak mengedepankan perasaan atau emosi.
Hal itu diungkapkan Founder Cyrus Network Hasan Nasbi saat menjadi pemateri pada Diskusi Kajian Ramadhan 1445 PWM Jatim: Memilih Pemimpin, Antara Idealita dan Realita Politik. Dia menjadi panelis dalm diskusi bersama Eep Saefulloh Fatah dengan moderator Sekretaris PWM Jatim Prof. Biyanto.
Kajian Ramadhan 1445 PWM Jatim bertema Menunaikan Amanat Kepemimpinan digelar di Aula Ahmad Dahlan Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Sabtu (16/3/2024).
Kegiatan ini dihadiri jajaran Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, Pimpinan Daerah Muhammadiyah dan Aisyiyah (PDM-PDA) se-Jatim; serta Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), organisasi otonom (ortom), dan Majelis dan Lembaga PWM se-Jatim.
Teori kepemimpinan dan hasil pemilu
Menurut Hasan Nasbi, setelah memahami dan terjun langsung dalam politik, sebenarnya calon pemimpin itu tidak banyak. Hitungan jari saja calon pemimpin itu. Sebagian besar memang jadi umat saja.
“Maka sebenarnya yang perlu di-training itu kita. Di-training jadi umat, masyarakat atau warga. Bukan di-training jadi pemimpin. Kalau ada istilah anda pemimpin bagi diri sendiri, itu beda urusan. Pemimpin dalam arti sebenarnya tidak gampang, apalagi untuk pemimpin level negara,” ujarnya.
Dia menjelaskan, ada anggapan hadirnya Gibran dalam pemilu capres-cawapres itu menghalangi anak-anak muda dan orang-orang lain yang akan maju. Kenapa? Itu nepotisme.
“Saya bilang, tidak ada Gibran pun kita tak ada di kertas suara juga. Saya dan Mas Eep Saefulloh tidak ada di kertas suara juga. Karena sangat selektif untuk terpilih menjadi pemimpin,” ungkap pria kelahiran Bukittinggi ini.
Baca juga: Awal Tahun 2025 PPN Naik Jadi 12%, Pakar Umsida Beri Tanggapan
Dia mengajak melihat semua proses tidak berhenti di satu titik saja. Tapi dalam proses yang berjalan. “Perjalanan sejarah mungkin bisa membantu kita, bahwa kita tidak bisa menghukum sesuatu pada satu titik episode. Tapi mungkin setelah berjalan, kalau sudah terjadi, kita bisa bilang oh ternyata begini,” pesannya.
Dia mengingatkan untuk mencoba bijak dalam melihat semua proses yang terjadi, dan tidak pakai emosi. Segala macam protes yang terjadi hari ini sebagai sebuah hal yang wajar. Itu karena kita memilih jalur demokrasi.
“Apakah kemudian demokrasi menjamin terpilihnya pemimpin yang terbaik? Kadang iya kadang tidak. Karena demokrasi bisa menghasilkan Hitler. Namun demokrasi bisa juga menghasilkan orang seperti Nelson Mandela,” terang mantan wartawan Kompas ini.
Kalau kita bicara dalam konteks Indonesia, semua prosedur sudah dijalankan dalam pemilu, dan semua tahapan sudah dilewati. Kalau ada yang tidak puas maka lanjutkan ketidakpuasan itu lewat jalur yang disediakan.
“Kalau mas Eep Saefulloh misalnya, sangat gelisah dengan keadaan yang terjadi sekarang, maka karena keterbatasan jalur akhirnya sekarang bikin channel YouTube. Untuk mengekspresikan kegelisahan itu,” sindirnya kepada pemateri sebelumnya.
Ada yang punya bukti-bukti, bahwa misalnya ada kecurangan di sana-sini selama pemilu, jalurnya disediakan. Tapi, kecurangan di satu tempat akan jadi kecurangan di tempat itu saja. Karena Anda tidak bisa menghukum satu kejadian di satu tempat untuk berlaku secara nasional.
Menurutnya apabila ada kecurangan dan hasil suara pada pemilu saat ini dinilai tidak jujur maka harus ditemukan kecurangan pada ribuan TPS untuk mengubah posisi suara capres dan cawapres terpilih.
Baca juga: Bumil Tapi Puasa? Ini 10 Tipsnya dari Dosen Umsida
“Untuk mengubah satu persen saja dari angka-angka yang ada sekarang itu, anda harus menemukan kejanggalan di 8000 TPS. Meminta pemungutan suara ulang dan orang yang anda tunjuk curang itu harus kalah 100 persen di sana,” tegas pria yang punya hubungan keluarga dengan almarhum Buya Syafii Maarif.
Misalnya, lanjutnya, pasangan Prabowo Gibran dituduh curang pada pemilu 2024 ini. Untuk mengubah 1 persen saja maka Anda harus bongkar 8000 TPS. Bikin pemungutan suara ulang, dan Anda harus menang 100 persen di 8,000 TPS itu.
“Untuk mengubah ini menjadi dua putaran, minimal Anda harus bongkar 64.000 TPS. Buktikan ada curang di 64.000 TPS, bikin pemungutan suara ulang dan Anda harus menang 100 persen di 64.000 TPS. Jadi skala itu penting. Membayangkan ada kecurangan harus jelas. Kecurangannya di mana, kapan, berapa banyak,” jelasnya.
Dia mengungkapkan, mari kita obyektif melihat persoalan. Tolong dirasa-rasa. Apakah ini perasaan kita saja, masalah kita saja, atau masalah seluruh bangsa. Jangan-jangan ini masalah kita saja. Terus kita anggap masalah seluruh bangsa.
“Kalau Anda betul-betul yakin ini masalah seluruh bangsa, saya yakin akan beresonansi dengan perasaan publik.
Kalau dia tidak beresonansi dengan perasaan publik, maka introspeksi diri. Benar tidak, ini masalah bangsa, jangan-jangan masalah kita sendiri,” tuturnya.
Sumber: pwmu.co