Umsida.ac.id – Akhir-akhir ini, ramai di media sosial tentang tren “Marriage is Scary” atau “Pernikahan Itu Menakutkan”. Ditambah lagi, ada beberapa influencer yang mengalami masalah keluarga hingga Kekerasan Rumah Tangga (KDRT). Kejadian itu tentu memantik berbagai reaksi warganet.
Pilihan editor: Apa Baby Blues Termasuk Gangguan Kecemasan? Pakar Umsida Beri Jawaban
Memangnya, apa yang menyebabkan fenomena ini terjadi? Apa dengan banyaknya kasus itu membuat masyarakat memiliki pandangan baru tentang sebuah pernikahan hingga menyimpulkan bahwa “marriage is scary”?
Dalam artikel ini, pakar psikologi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Ghozali Rusyid Affandi SPsi MA akan menanggapi fenomena itu dari sisi psikologi.
Suatu hal yang wajar
“Marriage is scary itu wajar. Rasa takut itu wajar menjelang pernikahan karena semua orang yang akan menikah tetap merasa khawatir terkait dengan kondisi kehidupan kedepannya,” ujar dosen yang sedang mengenyam pendidikan S3 Psikologi Unair itu.
Namun, papar dosen psikologi itu, yang tidak wajar adalah ketika ketakutan itu mengganggu kehidupannya dan menjadi permasalahan. Rasa takut itu akan terus menghantuinya hingga seseorang memutuskan untuk tidak menikah atau mengalami gangguan lain.
Mengapa “Marriage is scary”?
Dalam konsep psikologi ketakutan seseorang terhadap pernikahan itu tidak bisa dipilah secara ketat. Bisa saja dipengaruhi oleh diri sendiri, lingkungan, dan media sosial.
Dari sisi psikologis, dosen yang akrab disapa Ghozali itu menjelaskan beberapa penyebab perasaan dari tren “marriage is scary”, seperti:
1. Ketakutan akan kegagalan menikah, mungkin dari trauma masa lalu atau pengalaman orang terdekat
“Contohnya ketika seseorang melihat orang tuanya bercerai, hal itu akan semakin memperkuat ketakutannya untuk menikah. Di sisi, lain pengaruh lingkungan dan media sosial bisa berdampak negatif terhadap pernikahan,” terang Ghozali.
2. Ketidakpastian tentang masa depan. Seseorang menganggap dirinya tidak memiliki masa depan yang cerah sehingga ia takut untuk menikah
Banyak contoh di media sosial yang menggambarkan betapa rumitnya sebuah pernikahan. Itu semakin menjadi problematika seseorang ketika akan menikah dan memunculkan pikiran buruk.
Menurut Ghozali, seharusnya media sosial dan lingkungan mengimbangi fenomena tersebut. Jadi selain menggambarkan sisi buruk pernikahan, tapi juga menampilkan hal yang positif. Itu berpengaruh kepada orang yang sering melihatnya.
3. Tekanan untuk memenuhi harapan sosial. Harapan sosial itu berkenaan dengan harapan-harapan keluarganya. Ketika menikah, ia harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu, terlebih di pihak laki-laki
4. Ketakutan akan kehilangan kebebasan. Mereka takut tak bisa berhubungan dengan orang lain, rasa cemas akan komitmen jangka panjang dan ketidakpastian finansial
Dosen lulusan magister sains psikologi UGM itu melanjutkan, “Bagi seseorang yang menginginkan kebebasan menganggap sebuah pernikahan itu sebagai ancaman yang serius. Ia merasa terancam ketika ia memiliki pasangan yang mengikatnya,”.
Hal itu, lanjutnya, bisa menjadi suatu tekanan akan adanya kebebasan individu untuk memilih untuk tidak menikah, atau memiliki pasangan tanpa menikah, bahkan memilih lajang seumur hidup.
5. Takut akan perubahan kehidupan. Misalnya, seseorang yang sebelumnya menjalankan aktivitas sehari-hari sendirian, kemudian dia harus berpasangan hingga mengasuh anak. Mereka cemas akan sesuatu yang berdampak jangka panjang di hidupnya.
6. Berdalih belum siap
Menurut Ghozali, ketika orang terus menunda pernikahan sampai benar-benar siap, bisa dipastikan bahwa tidak ada seseorang yang dikatakan siap untuk menikah. Berapapun umurnya mereka akan tetap mengalami kecemasan tentang pernikahan.
Pengaruh “marriage is scary”
Tren marriage is scary tentu mempengaruhi pola pikir masyarakat, terlebih anak muda. Hal itu dikarenakan ketika seseorang di lingkungan yang setuju tentang tren ini, maka dia akan mendapatkan informasi terkait kecenderungan menghindari atau menunda pernikahan. Dari situ banyak memunculkan pertanyaan nilai-nilai terkait pernikahan itu sendiri.
Ghozali menerangkan, “Dari nilai-nilai tersebutlah seseorang bisa menjadikannya sebagai pertimbangan kira-kira alternatif apa yang bisa menggantikan menikah. Mungkin mereka akan berpikir tentang hidup bersama tanpa menikah atau menunda pernikahan sampai benar-benar siap,”.
Selain lingkungan, media sosial juga memiliki dampak yang sangat kuat terhadap orang-orang yang memandang pernikahan itu menakutkan. Apalagi di sana terdapat narasi-narasi negatif tentang pernikahan.
Ketika seseorang terus menerus terpapar dampak narasi itu, maka akan memperbesar ketakutan generasi muda yang akan menikah dan akhirnya mereka ragu. Belum lagi jika media sosial yang membandingkan kehidupan satu tokoh dan tokoh lainnya.
Problematika anak muda tentang pernikahan
Trend marriage is scary ternyata dapat membuat generasi muda lebih memilih untuk menunda pernikahan atau memilih lajang. Menurut Ghozali hal tersebut sangat berbahaya untuk generasi selanjutnya.
Misalnya negara seperti Jepang juga mengalami hal serupa. Mereka menghindari pernikahan karena takut untuk menjadi komitmen. Jika diteruskan hal itu bisa berdampak pada krisis penduduk.
Pilihan editor: Provision of Contraceptive Devices for Students, Here’s What Umsida Lecturers Say
Problematika lainnya yang muncul akibat dampak negatif tren ini adalah meningkatnya kasus seks bebas. Orang yang ingin bebas cenderung menginginkan hal yang tidak terikat tapi.
Tapi di sisi lain, bisa jadi juga seseorang menunda pernikahan karena ingin fokus pada pendidikannya sebelum mempertimbangkan tentang perikanan.
“Memang perlu adanya edukasi yang baik dan seimbang antara dampak positif dan negatif dari sebuah pernikahan,” tegasnya.
Sumber: Ghozali Rusyid Affandi SPsi MA
Penulis: Romadhona S.