Umsida.ac.id – Hak veto telah lama menjadi simbol ketimpangan dalam tatanan global. Negara-negara besar yang memegang hak veto merupakan pemenang Perang Dunia II.
Lihat juga: Umsida Terus Lantangkan Dukungannya untuk Palestina
Namun apakah konfigurasi geopolitik dunia tidak berubah sejak 1945?
Populasi dunia saat ini lebih dari 8 miliar jiwa. India, negara demokrasi terbesar di dunia, dengan 1,4 miliar penduduk, tak punya tempat di Dewan Keamanan.
Begitu pula Brazil, Afrika Selatan, Indonesia, Jepang, bahkan Jerman yang merupakan kekuatan ekonomi utama dunia.
Tidak satu pun dari negara-negara ini memiliki suara dalam pengambilan keputusan strategis di Dewan Keamanan.
Mereka bisa saja duduk sebagai anggota tidak tetap selama dua tahun, tapi tetap tidak punya kekuatan untuk menandingi hak veto.
Ibarat dunia sedang mengatur ulang arah kapal besar, namun kemudi utama tetap dikunci oleh lima negara yang sudah uzur secara geopolitik.
Akibatnya, dunia sering terjebak dalam kebuntuan. Ketika Rusia menginvasi Ukraina pada 2022, Rusia menggunakan hak veto untuk menggagalkan semua resolusi yang menentangnya.
Ketika Tiongkok mendapat sorotan terkait pelanggaran HAM di Xinjiang, hak veto lagi-lagi menjadi tameng.
Stabilitas Hak Veto di Negara Konflik

Veto bukan hanya soal prosedur diplomatik. Ia berdampak langsung pada kehidupan nyata.
Dalam krisis kemanusiaan, hak ini kerap menghambat pengiriman bantuan, memperlambat gencatan senjata, atau menutup pintu penyelidikan kejahatan perang.
Di Suriah misalnya. Rusia dan Tiongkok telah lebih dari selusin kali memveto resolusi yang ditujukan untuk menghentikan kekerasan, membuka akses bantuan, atau menyelidiki penggunaan senjata kimia.
Akibatnya, jutaan warga sipil menjadi korban tanpa perlindungan nyata dari lembaga internasional.
Di Myanmar, krisis Rohingya menjadi sorotan global, namun upaya mengintervensi secara sah lewat PBB terhambat karena kekhawatiran veto oleh negara-negara yang memiliki kepentingan di kawasan tersebut.
Di Yaman, konflik berkepanjangan juga tak kunjung menemukan resolusi konkret akibat tarik-menarik politik antar-kekuatan besar.
Semua ini menandakan satu hal: veto tidak lagi menjadi alat untuk menjaga stabilitas, tapi telah menjelma menjadi benteng impunitas bagi pelaku kejahatan kemanusiaan dan ketidakadilan struktural.
Mungkinkah Veto Direformasi?
Secara hukum, penghapusan hak veto nyaris mustahil. Piagam PBB menetapkan bahwa amandemen terhadap hak istimewa ini harus disetujui oleh dua pertiga negara anggota, termasuk lima negara pemegang veto itu sendiri.
Artinya, negara yang diuntungkan oleh sistem harus secara sukarela melepaskan keuntungannya.
Ini seperti meminta raja untuk menyerahkan mahkotanya tanpa perlawanan.
Namun tekanan publik dan diplomasi moral tidak boleh berhenti. Sudah ada berbagai proposal reformasi Dewan Keamanan.
Salah satunya adalah pembatasan penggunaan veto dalam kasus genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan pelanggaran HAM berat.
Usulan lainnya adalah kewajiban negara yang menggunakan veto untuk memberikan penjelasan terbuka di hadapan Majelis Umum.
Selain itu, ada pula wacana untuk memperluas keanggotaan Dewan Keamanan tetap agar mencerminkan realitas geopolitik masa kini.
Bahkan di tingkat masyarakat sipil, kampanye seperti “Uniting for Peace” mulai kembali digelorakan.
Resolusi Majelis Umum tahun 1950 ini memungkinkan Majelis mengambil tindakan kolektif jika Dewan Keamanan gagal bertindak akibat veto.
Reformasi Hak Veto Sebagai Langkah Awal

Palestina hanyalah satu dari sekian banyak korban sistem global yang timpang.
Dunia membutuhkan sistem multilateral yang benar-benar mewakili suara seluruh umat manusia, bukan hanya elite geopolitik pasca-Perang Dunia II.
Di tengah ketidakpastian global—mulai dari perubahan iklim, krisis pangan, konflik bersenjata hingga bencana kemanusiaan—dunia butuh tatanan baru yang lebih adil, transparan, dan manusiawi.
Reformasi hak veto adalah langkah awal, bukan satu-satunya solusi. Tapi selama kekuasaan absolut ini masih dipertahankan, upaya kolektif dunia akan selalu rentan dibatalkan oleh kepentingan segelintir negara.
Keadilan bukan hasil dari konsensus para penguasa, melainkan buah dari keberanian kolektif untuk melawan ketimpangan.
Perubahan tak akan datang jika kita berhenti berharap. Namun harapan saja tak cukup.
Lantas, apakah perlu tragedi selevel Perang Dunia II untuk menciptakan sebuah tatanan baru itu?.
Lihat juga: Hak Veto dan Kebijakannya Terhadap Bangsa Palestina
Tentu tidak. Karenanya kita perlu tindakan nyata, suara yang terus disuarakan, dan solidaritas global yang tak lekang oleh veto.
Penulis: Dr Kumara Adji Kusuma
Artikel ini telah tayang di majelistabligh.id dengan judul Ketika Keadlian Dunia Dikunci oleh Hak Veto.