Umsida.ac.id – Imam al-Ghazali (1058-1111M), Hujjatul ilmu Tasawuf, dalam karyanya Ihya’ Ulumuddin membagi kualitas seorang mukmin dalam tiga tingkatan puasa, yaitu puasa orang yang awam, puasa hamba yang khusus, dan puasa mereka yang spesial.
3 Tingkatan Puasa
1. Puasa Awam

Tingkatan puasa yang pertama adalah puasa orang yang awam (‘ām) adalah puasa orang-orang pada umumnya. Pada tingkatan puasa ini, mereka sekedar menahan diri dari makan dan minum, serta mencegah kemaluannya dar bersenggama sejak memasuki waktu subuh hingga maghrib.
Menurutnya, tingkatan puasa orang ini dengan nilai yang rendah.
Lihat juga: 4 Korelasi Ibadah Puasa dan Ketakwaan dalam Islam yang Harus Diketahui
Dalam hal ini ada seorang ulama’ bijak pernah mengatakan, “Siapa saja yang pada siang hari di bulan Ramadhan qalbunya tergerak atau tertuju mengumpulkan bahan makanan serta minuman sebagai bekal berbuka puasa, niscaya akan dituliskannya baginya satu kekurangan (cela atas nilai puasanya.), kecuali bagi seorang hamba yang bermaksud menyediakan hidangan berbuka bagi orang-orang yang berpuasa.
2. Puasa Hamba Khusus

Ada pula tingkatan puasa bagi hamba yang khusus (khawwash), yaitu puasa yang tidak hanya sekedar menahan diri dari memenuhi keinginan perut serta hubungan suami-istri di siang hari, akan tetapi juga menjaga pendengaran, penglihatan, lidah, tangan, kaki, dan semua anggota tubuh lainnya dari segala perbuatan dosa maupun maksiat.
Inilah tingkatan puasa orang yang shalih. Untuk menjamin kesempurnaan puasanya, mereka melakukan enam amalan berikut:
1. Menjaga Pandangan
Pertama, menjaga pandangan dari segala sesuatu yang tercela dan munkar, juga dari sesuatu yang memalingkan perhatian dari mengingat Allah SAW.
Sebagaimana Rasulullah Saw. Bersabda: “Pandangan yang liar laksana anak panah beracun dari anak-anak panah milik iblis yang terkutuk. Siapa saja yang menjaga pandangannya karena takut kepada Allah, niscaya Allah akan menganugerahkan keimanan yang dipatrikan dalam qalbunya.”
(HR. Imam al-Hakim, isnadnya disahihkan dari Hudzaifah bin al-Yaman ra, dan didha’ifkan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani).
2. Menjaga Lisan
Kedua, menjaga lidah dari perkataan yang sia-sia, berdusta, mengumpat, memfitnah, perkataan yang kotor dan keji, menghina serta ungkapan yang penuh kebencian.
Oleh karena itu, sangat dianjurkan diam daripada harus berbicara tentang sesuatu yang mengandung unsur maksiat, lalu cepat-cepat membaca dan mengkaji al-Qur’an, serta menyibukkan diri dengan berdzikir kepada Allah SWT.
Sufyan al-Tsauri, Ulama Fiqh masa Abbasiyah, pernah mengatakan bahwa mengumpat itu merusak nilai puasa. Ini didasarkan pada hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra:
خمسٌ يفطّرنَ الصائم: الكذبُ، والنميمةُ، والغيبةُ، واليمينُ الكاذبةُ، والنظرُ بشهوةٍ
Artinya: “Ada lima perkara yang dapat menghilangkan pahala orang yang berpuasa, yakni: berbohong, menggunjing, mengadu domba, bersumpah dusta, dan memandang dengan syahwat.
Dalam sebuah riwayat, pada masa Rasulullah, ada dua orang wanita yang sedang berpuasa. Pada akhir siang menjelang sore, mereka merasa amat sangat lapar dan haus, sehingga hampir pingsan.
Lalu salah seorang diantara keduanya menemui Rasulullah Saw, dan meminta izin untuk berbuka.
Tetapi Rasulullah malah memberi mereka sebuah wadah seraya berkata kepada mereka: ‘muntahkanlah ke dalam wadah ini apa yang telah kalian makan.’ Maka mintalah salah seorang dari mereka berupa darah dan daging mentah sampai setengah wadah.
Lalu muntah pula yang seorang lagi dengan muntahan persis seperti yang pertama, sehingga penuhlah wadah tersebut oleh muntahan keduanya.
Seketika merasa heranlah orang-orang yang menyaksikannya. Kemudian Rasulullah Saw. Menjelaskan, ‘Kedua Wanita ini telah berpuasa dari apa yang dihalalkan oleh Allah Azza wa Jallah, akan tetapi mereka tidak berpuasa terhadap apa yang dilarang oleh Allah.
Keduanya suka mengumpat dan menggunjing orang lain yang hukumnya haram, sehingga inilah daging manusia, saudara mereka sendiri yang telah mereka makan.
3. Menjaga Pendengaran
Ketiga, menjaga pendengaran dari mendengar segala sesuatu yang dilarang. Setiap perkataan yang dilarang oleh Allah SWT, maka mendengarkannya dilarang.
Oleh karena itu dengan mendengarkan sesuatu yang haram dan memakan apa yang diharamkan oleh Allah SWT, ditempatkan pada tigkatan yang sama. Sebagaimana Allah Swt. berfirman:
سَمّٰعُوْنَ لِلْكَذِبِ اَكّٰلُوْنَ لِلسُّحْتِۗ فَاِنْ جَاۤءُوْكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ اَوْ اَعْرِضْ عَنْهُمْۚ وَاِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَّضُرُّوْكَ شَيْـًٔاۗ وَاِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ ٤٢
sammâ‘ûna lil-kadzibi akkâlûna lis-suḫt, fa in jâ’ûka faḫkum bainahum au a‘ridl ‘an-hum, wa in tu‘ridl ‘an-hum fa lay yadlurrûka syai’â, wa in ḫakamta faḫkum bainahum bil-qisth, innallâha yuḫibbul-muqsithîn
Artinya: Mereka (orang-orang Yahudi itu) sangat suka mendengar berita bohong lagi banyak memakan makanan yang haram. Maka, jika mereka datang kepadamu (Nabi Muhammad untuk meminta putusan), berilah putusan di antara mereka atau berpalinglah dari mereka. Jika engkau berpaling, mereka tidak akan membahayakanmu sedikit pun. Akan tetapi, jika engkau memutuskan (perkara mereka), putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.
4. Menjaga Tangan
Keempat, menjaga tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya dari segala perbuatan dosa yang tercela.
Juga menjaga perut dari segala makanan yang diharamkan maupun syubhat pada saat berbuka puasa.
Sia-sia orang yang berpuasa pada siang hari dengan meninggalkan makanan halal, akan tetapi saat berbuka puasa ia mengkonsumsi makanan yang diharamkan, baik obyeknya maupun cara mendapatkannya. Rasulullah Saw. Bersabda “banyak orang yang melakukan puasa, akan tetapi tidak ada sesuatupun yang didapatkan kecuali lapar dan haus.”(HR. an-Nasa’I dan Ibnu Hibban)
5. Terlalu Banyak Makan
Kelima, mencegah terlalu banyak makan, walaupun makanan itu halal, sewaktu berbuka puasa sehingga perut tidak kekenyangan.
Tidak ada kantung yang sangat dibenci oleh Allah SWT, selain perut manusia yang terisi penuh, hingga kekenyangan.
Bagaimana seseorang dapat mengambil hikmah puasa kalau pada saat berbuka puasa melahap makanan hingga kekenyangan, karena membalas lapar dan hausnya disiang hari.
6. Memelihara Qalbu
Keenam, memelihara qalbu agar tetap khusyu’ kepada Allah Swt. melalui sikap takut dan berharap, juga dengan sabar dan do’a.
Sebab orang yang berpuasa tidak mengetahui apakah puasanya diterima atau ditolak?, apakah termasuk seorang yang dekat dengan Allah atau tidak?.
Sudah menjadi kewajiban bagi setiap hamba untuk melakukan ibadah yang terbaik kepada Allah Swt.
-
Puasa Mereka yang Spesial

Tingkatan puasa yang tertinggi adalah puasa yang dimiliki oleh para Rasul, Nabi dan Siddiqūn dan muqarrbīn.
Mereka yang ada di tingkatan puasa ini, dengan ikhlas mengorbankan seluruh jiwa raga serta harta hanya untuk mencari keridhaan Allah Swt. mereka menghadapkan pikiran sepenuhnya kepada Allah ‘Azza wa jalla.
Semoga Allah memudahkan kita untuk menempatkan puasa kita pada tingkatan puasa orang-orang yang khusus (khowwas) dengan berittiba’ kepada cara puasanya para anbiya’ dan Rasulullah Muhammad Saw.
Karena Rasulullah Saw. saat membawakan firman Allah “Sesungguhnya Allah menyurh kalian menyampaikan Amanah kepada yang berhak menerimanya,” (QS. An-Nisa’:58), beliau meletakkan tangan kanan pada posisi telinga dan kiri pada posisi mata, seraya bersabda: “pendengaran ini adalah Amanah dan penglihatan ini juga Amanah (HR. Abu Dawud).
Lihat juga: Puasa dan Manfaatnya Bagi Kesehatan Jiwa dan Raga, Yuk Simak
Keterangan: sebagian hal tentang tingkatan puasa dikutip dari kitab Ihya’ Ulumuddin, karya Imam Ghazali
Penulis: Rahmad Salahuddin TP SAg MPdI