Umsida.ac.id – Tradisi halal bi halal biasa dilakukan oleh umat islam. Peristiwa yang memiliki makna kultural ini erat kaitannya dengan implementasi dan aktualisasi ajaran agama islam. Hal ini disampaikan langsung oleh Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (Sekum PP) Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’ti Med dalam kegiatan Halal Bi Halal dan Launching Unit Bisnis PT Umsida Sinergi Utama yang bertempat di Auditorium KH Ahmad Dahlan Univeritas Muhammadiyah Sidoarjo, Selasa (10/5).
Prof Mu’ti mengatakan, tradisi halal bi halal sudah ada sejak tahun 1924 dengan istilah chalal bi chalal. Kemudian tahun 1926 iklan di majalah Suara Muhammadiyah menyebutkan halal bi halal. “Iklan di majalah Suara Muhammadiyah itu dimaksudkan untuk mereka yang tidak sempat silaturahim langsung ke rumah, bisa bersilaturahim melalui majalah Suara Muhamamdiyah,” jelasnya.
Sehingga menurutnya, halal bi halal bukan ada sejak tahun 1948. Hal tersebut merupakan tradisi yang berkembang dari sebuah kata. “Karena sesungguhnya ini tradisi berkembang kata, ini bukan cerita dari mulut ke mulut tapi memang ada dokumentasinya di majalah Suara Muhammadiyah,” ujarnya.
Selain itu, tradisi ini juga merupakan wujud aktualisasi nilai-nilai ajaran agama islam yang berkembang menjadi budaya bersama dan diterima oleh berbagai kalangan dengan latar belakang apapun. “Halal bi halal adalah bukti bahwa islam sebagai agama yang membentuk budaya dan membentuk khazanah serta peradaban bangsa Indonesia,” ucapnya.
Tidak hanya itu, perkembangan islam menjadi sangat kuat dari waktu ke waktu dalam memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan. Misalnya saja dalam bidang kesenian. “Banyak sekali pengaruh islam dalam berbagai aspek kehidupan bangsa termasuk kaitannya dalam kesenian, tidak kalah pentingnya berbagai budaya bangsa salah satunya puisi dan pantun, itu sangat kuat pengaruhnya dari islam,” tuturnya.
Sehingga dari hal tersebut, sambung Prof Mu’ti, islam beserta nilai-nilai ajarannya telah membentuk peradaban yang sangat kuat dalam proses akulturasi. Ia mencontohkan, momen mudik lebaran bukan lagi hanya menjadi momen penting bagi umat islam saja, namun justru menjadi milik bangsa Indonesia.
“Kalau kita halal bi halal itu yang bergembira tidak hanya masyarakat islam, akan tetapi telah menjadi milik bangsa Indonesia apapun agamanya, apapun sukunya, bahkan mereka yang mudik tidak hanya umat islam,” tandasnya. (Shinta Amalia/Etik)
*Humas Umsida