بسم الله الرحمن الرحيم
الله اكبر الله اكبر الله اكبر الله اكبر الله اكبر الله اكبر الله اكبر الله اكبر الله اكبر
لااله الا الله والله. الله اكبر والله الحمد. الله اكبر كبر والحمد الله كثير وسبحان الله بكرت واصيله لااله الا الله والله. الله اكبر والله الحمد
الحمد لله رب العلمين : الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالحَيَوتَ لِنَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلَ وَهُوَالعَزِيْزُ الغَفُورْ : اشهد ان لااله الاالله واشهد ان محمد عبده ورسوله لَانَبِيَ بَعْدَهُ : اللَّهُمَّ صلِّى على محمد وعلى ال محمّد كما صَلَّيتَ على ابراهيم وعلى ال ابراهيم انَّكَ حميد مجيد, اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى محمد وعلى ال محمد كما باركت على ابراهيم وعلى ال ابراهيم انّك حميد مجيد
فَيَاعِبَدَالله أُوسِيكُم ونفس بتقوالله فقد فازالمتقوان: قال الله تعال في القران الكريم: اعود بالله من الشّيطان الرجيم بسم الله الرحمن الرحيم
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ (ال عمران : ١٠٢)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسٞ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدٖۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ (الحسر: ١٨)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٞ (البقراه: ٢٠٨)
Maasyiral Muslimin Rahimakumullah…
Puji Syukur al-hamdulillah senantiasa kita haturkan kehadirat Allah Swt, atas ijinnya kita masih diberi umur yang panjang hingga bisa melewati bulan suci Ramadhan 1444 H, bulan yang telah diberkahi oleh Allah sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah saw:
“telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, Allah telah menetapkan puasa atas kalian, dibulan ini telah dibuka pintu-pintu surga, dan ditutup pintu-pintu neraka, dan telah dibelenggu syaitan. Didalamnya juga terdapat malam yang memiliki nilai kebaikan seribu bulan “(HR. Ahmad).
Alhamdulillah, Kita juga telah diberi kesempatan oleh Allah untuk melewati malam yang ditetapkan oleh Allah dengan nilai kebaikan seribu bulan, yakni malam lailatul qadar dimana Allah telah berfirman tentangnya dalam QS. al-Qadr [97]: 1-5
“Sesungguhnya Kami telah menurukannya (al-Qur’an) pada malam qadar (1); Dan tahukah kamu apakah malam qadar itu? (2); yakni malam kemuliaan yang lebih baik daripada seribu bulan (3); Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) denga izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan (4); Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar (5).
Semoga dengan melewati keduanya kita termasuk kelompok manusia yang dimulyakan oleh Allah Swt dengan capaian ketaqwaan, sebagaimana menjadi tujuan dari pelaksanaan ibadah puasa la’allakum tattaqun”, semoga amalan-amalan Ibadah kita selama bulan bulan Ramadhan tercatat sebagai amalan yang mampu mendekatkan kita kepada Allah, dan amalan yang memiliki nilai kebaikan lebih dari seribu bulan sehingga kita mampu untuk mengagungkan Allah dengan cara bersyukur kepada-Nya.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabiullah Muhammad saw. Nabi akhir Zaman, penyempurna risalah kebenaran ajaran Islam. Nabi yang telah melatakkan dasar-dasar peradaban umat manusia, Nabi panutan dan teladan yang dari sunnah-sunnahnya kita dapat manjadikan pribadi kita menjadi diri yang shaleh, tawadlu’, qonaah, manjadi jati diri yang sesungguhnya dibawah keagung fitrah Allah (QS. Ar-Rum:31, sehingga terbentuk sosok manuasia yang rahmatan lil’alamin, sebagaimana tujuan Allah mengutus kerasulannya. “Tidaklah kami mengutusmu (Muhammad) melainkan membawa rahmat untuk seluruh alam semesta (QS.al-Anbiya: 107).
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah…
Hari Raya Idul Fitri 1444 H kali ini merupakan hari raya yang sangat istimewa, disamping karena akhir bulan Ramadhan ditandai dengan fenomena dan tanda-tanad kebesaran Allah melalui gerhana matahari hibrida bertepatan dengan hari kamis, 20 April 2023 pkl. 10:54 (puncak gerhana pada titik lokasi di Jawa Timur), pada idul fitri tahun ini, juga terjadi perbedaan dikalangan umat muslim dalam menetapkan 1 Syawal 1444H.
Fenomena gerhana matahari hibrida terjadi ketika matahari, bulan dan bumi tepat segaris, sehingga disuatu tempat tertentu terjadi peristiwa piringan bulan teramati dari bumi lebih kecil dari piringan matahari, dan ditempat lain terjadi peristiwa piringan bulan yang teramati sama dengan piringan matahari dan menghasilkan dua tipe gerhana yakni gerhana matahari cincin, sekaligus gerhana matahari total dalam satu waktu dan tempat yang berbeda.
Fenomena gerhana matahari ini juga merupakan pertanda akhir bulan Ramadhan yang oleh para ahli falaq disebut sebagai tejadinya ijtima’ (konjungsi) antara matahari dan bulan. Allah Swt telah berfirman: “Dialah Allah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesarn-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. Yunus[10]: 5).
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah…
Terjadinya perbedaan ulama’ dalam menetapkan 1 Syawal 1444H, disebabkan oleh penetapan kreteria hilal (bulan baru) di atas ufuk (horizon) saat matahari ghurub (terbenam) pasca terjadinya ijtima’. Hal ini menjadi persoalan tersendiri ketika tinggi hilal saat matahari ghurub -yang menurut catatan hasil hisab pada hari kamis, 20 April 2023 – berkisar 1°58’ untuk wilayatul hukmi Indonesia.
Bagi kreteria “Wujudul Hilal” kondisi bulan saat itu menjadi pertanda masuknya awal bulan Syawal 1444H. kreteria ini mensyaratkan telah terjadinya ijtima’ saat sebelum matahari ghurub, dan posisi bulan berada di atas horizon (ufuk) saat matahari ghurub berapapun ketinggiannya, atau meskipun dalam posisi hilal tersebut tidak terlihat oleh kasat mata.
Berbeda dengan kretaria “Imkanu Rukyah” yang juga mensyaratkan terjadinya ijtima’ sebelum matahari ghurub, namun posisi ketinggian hilal di atas ufuk saat matahari ghurub (terbenam) minimal >3°, dan memungkinkan untuk dapat dilihat oleh kasat mata. Perbedaan kreteria inilah yang menimbulkan perbedaan dalam menentukan awal bulan syawal dimana kreteria Wujudul Hilal menetapkan 1 Syawal jatuh pada hari Jum’at, 21 April 2023, dan kreteria Imkanur Rukyah menetapkan 1 Syawal jatuh pada hari Sabtu, 22 April 2023.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah…
Perbedaan tersebut sesungguhnya bukan diakibatkan dari penerapan antara hisab dan rukyat, Sungguh keduanya merupakan perbuatan yang saling melengkapi dimana hisab digunakan untuk menemukan tanggal serta posisi matahari dan bulan, sementara rukyat digunakan sebagai pembuktian hasil hisab atau juga berlaku sebaliknya rukyat dimanfaat sebagai sarana pengkajian (meng iqra’ semesta) untuk merumuskan ilmu-ilmu hisab. Perbedaan tersebut juga bukan pada pengambilan dalil (sumber hukum).
Keduanya juga merujuk pada sumber al-Qur’an surah al-Baqarah: 184-185, dan hadits Rasulullah tentang cara penetapan waktunya berpuasa di bulan ramadhan dan waktunya berbuka (idul fitri), sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Umar Ibn Khottob: “Jika Kamu melihatnya (hilal) maka berpuasalah dan jika kamu melihatnya (hilal) maka berbukalah, dan jika tertutup olehmu (hilal) karena awan atau sebab lain, maka hitunglah. (HR. Bukhari).
Perbedaan kreteria tersebut terjadi karena perbedaan dalam menggunakan kaidah pemahaman atas sumber hukum yang digunakan yakni: dengan menggunakan pendekatan bayaniyun (tekstual) dan pendekatan burhaniyyun (kontekstual).
Pendekatan bayaniyyun memahami dalil tersebut dengan menggunakan penjelasan dari hadist lain yang memerintahkan untuk melakukan rukyatul hilal yakni: “berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal, namun jika tertutup olehmu hilal tersebut maka sempurnakanlah bulan sya’ban menjadi 30 hari” (HR. Bukhari).
Dengan demikian sudah bisa dipastikan dengan kegiatan rukyatul hilal merupakan salah satu amaliyah ibadah yang diikatkan dengan kewajiban puasa Ramadhan itu sendiri., artinya amalan ini menjadi amalan yang wajib bagi mereka yang memiliki ilmu. Memastikan untuk terlihatnya hilal menjadi dikeluarkannya hukum penetapan awal bulan Ramadhan maupun bulan Syawal, tentunya dengan konsekuensi hilal akan terlihat ketinggian hilal diatas 6 derajat di atas ufuk saat matahari terbenam. Dan imkanur rukyat merupakan hasil ijtihadi untuk merendahkan posisi ketinggian hilal menjadi diatas 3 derajat dengan asumsi mungkin hilal bisa terlihat dengan mata telanjang.
Sementara metode burhaniyyun berusaha mencari penjelasan dalil dengan merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an, maupun hadits dan mengkomunikasikannya dengan bukti-bukti kebenaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
Adapun penggunaan bukti-bukti kebenaran ilmu pengetahuan dan teknologi (dalam hal ini ilmu hisab mutlaq) sebagaimana difirmankan oleh Allah tentang fenomena matahari dan bulan sebagai alat untuk menentukan waktu bulan dan tahun seperti dalam al-Qur’an surah Yaasin [36]: 39-40 artinya “Dan telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah ia sebagai bentuk tandan yang tua.
Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” Juga penjelasan dalam al-Qur’an surat ar-Rahman[55]: 5, artinya: “Matahari dan Bulan beredar menurut perhitungan.”
Pelaksanaan rukyatul hilal menurut pemahaman dari pendekatan ini bukanlah maksud syariatnya, karena amalan ini diperintahkan oleh Rasulullah dalam kondisi dimana umat muslim pada saat itu belum mengenal ilmu hisab sebagaimana sabdanya: “Sesungguhnya ummatku itu ‘ummi’ tidak bisa menulis dan tidak bisa menghitung, bulan itu ini dan ini, bisa dua puluh sembilan hari dan bisa tiga puluh hari” (HR Bukhari).
Sehingga cukup dengan menggunakan ilmu pengetahuan yang dikenal dengan ilmu falaq/astronomi, umur bulan dan perjalanan matahari dapat ditemukan, dalam rangka pelaksanaan ibadah kepada Allah sesuai waktu-waktu yang diperintahkan-Nya. Sementara bagi kita yang tidak menguasai ilmu tersebut cukuplah ber ittiba’ kepada para ulama’ yang memiliki kapasitas keilmuan tersebut.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah…
Oleh karenanya, perbedaan tersebut bukanlah menjadi penghalang bagi kita umat muslim -khususnya di bumi pertiwi ini – untuk mempererat tali silaturrahim, dan menjalankan perintah agama dalam bingka kebersamaan. Perbedaan tersebut bukanlah perbedaan secara ushulliyah, namun perbedaan tersebut merupakan perbedaan furu’iyyah, yang menunjukkan semakin luasnya ilmu pengetahuan Islam itu sendiri. dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk menggunakan ilmu dalam menjalankan amaliyah ibadah kepada Allah Swt.
Imam as-Syafi’i dalam hal ini melalui maqolahnya dalam sebuah Atsar maqtu’ dan dihasankan oleh Imam baihaqi dari kitab manaqib as-Syafi’i, menyatakan bahwa dalam hal urusan ibadah maupun urusan dunia, setiap umat muslim, wajib menggunakan ilmu pengetahuan agar mereka tidak tersesat. “Dari Rabi’ah Ibu Sulaiman berkata; saya telah mendengan Imam as-Syafi’i berkata: barangsiapa yang menginginkan kebaikan dunia, maka gunakanlah ilmu dan barangsiapa menginginkan kebaikan akherat maka gunakanlah ilmu.
Umat Islam harus menunjukkan sebagai umat yang berkepribadian maju, terbuka, dan memiliki sikap toleran untuk menghargai setiap perbedaan yang muncul dari hasil ijtihadi para ulama’. Perbedaan hasil ijtihad di dunia Islam merupakan hal wajar, mengingat Islam merupakan agama yang tinggi “al-Islam ya’lu wala yu’la alai”, dimana setiap istinbath hukum yang dikeluarkan oleh para ulama’ merupakan bentuk pengejawantahan untuk menghadirkan Islam “shahih likulli zaman wa makan” artinya “kebenaran Islam dapat dihadirkan dalam setiap waktu dan tempat”.
Dan Tindakan ijtihadi ini telah disetujui oleh Rasulullah melalui kisah penugasan Muadz bin Jabbal untuk menjadi penguasa dan hakim agung di negeri Yaman dengan sabdanya: “Alhamdulillahiladzi waffaqa rasula Rasulillahi lima yurdhi Rasulullah” artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah menuju apa yang diridhai oleh Rasulullah.”
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah…
Sikap terbuka dengan tetap mengedepankan ilmu dalam beragama agar terbingkai nilai-nilai kebersamaan telah diteladankan oleh sikap dari kedua ulama’ fiqh muktabarah yakni: Imam Malik dan Imam Syafi’i. keduanya terkadang berbeda dalam berpendapat, namun tetap saling menghargai pendapat lainnya.
Dituliskan dalam sejarah bahwa Imam Malik adalah guru dari Imam Syafi’i, sosok ulama yang sangat cerdas dan memiliki ratusan karya fiqh. Imam Malik berpendapat bahwa rizqi Allahlah yang mendatangi setiap hamba-Nya, karena Allah Swt telah menetapkan manusia, mulai dari umur, rizqi hingga ajalnya. “Wayu’maru bi arbain kalimatin: bikatbi rizqihi, wa ajalihi, wa amalihi, wa syaqqi au sa’idun…” artinya: “dan dia (malaikat) diperintahkan untuk menetapkan empat perkara: menetapkan rizkinya, ajalnya, amalnya dan celaka atau bahagianya.” (HR Bukhari Muslim).
Berbeda dengan Imam Syafi’I yang berpendapat bahwa manusia membutuhkan ikhtiar dan berbuat untuk mendapatkan rizkinya. Maka Imam Syafi’i bemaksud ingin membuktikan kebenaran atas pendapatnya yang berbeda dengan gurunya tersebut.
Kemudian Imam Syafi’i melepaskan baju ulama’nya, beliau tidak segan menjadi buruh pemetik buah anggur, dan bekerjalah beliau selama seharian dan mendapatkan upah dari pekerjaannya tersebut. Setelah mendapatkan upah dan sekeranjang buah anggur dari hasil bekerja menjadi buruh pemetik buah anggur tersebut beliau ingin menunjukkan kepada gurunya, Imam Malik bahwa pendapatnya adalah benar bahwa rizqi Allah akan diberikan kepada siapapun yang telah berusaha (berikhtiar) untuk mencarinya.
Sesampai di majelis Imam Malik, Imam Syafi’i memberikan anggur tersebut kepada gurunya untuk dinikmati sembari menyampaikan pendapatnya adalah benar dan dibuktikan dengan buah anggur merupakan rizki yang diberikan oleh Allah dari hasil usahanya menjadi buruh pemetik buah anggur.
Kemudian Imam Malik menikmati lezatnya buah anggur tersebut sambal tersenyum dan mengatakan bahwa dirinya, Imam Malik, dari pagi hingga sore ini tidak meninggalkan majelis, saya hanya mengajarkan ilmu agama kepada ummat yang membutuhkan pengajaran agama, namun Allah telah mendatang rizki buah anggur tersebut melalui engkau, syafi’i. Selanjutnya kedua ulama’ tersebut saling tertawa dan berpelukan, keduanya menyadari bahwa hasil ijtihad orang lain merupakan suatu ilmu yang saling menyempurnakan.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah…
Kisah ini dapat menjadi teladan bagi kita semua untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan pendapat tertutama dalam menentukan hari raya idul fitri kali ini, setiap umat Islam harus saling terbuka, dalam konteks meyakini kebenaran pendapatnya tanpa harus menegasikan pendapat orang lain. Dan bagi umat yang masih awam, diperbolehkanya berittiba’ terhadap salah satu pendapat ulama’ yang diyakini kebenarannya, dan tetap saling menghormati umat muslim lain yang memilih jalan berittiba’ kepada ulama’ lain yang juga diyakini kebenarnnya.
Semoga kita semua senantiasa mendapatkan perlindungan dari Allah Swt, untuk tetap menjadi umat muslim yang rukun, bersatu untuk membangun negeri ini, umat muslim yang terbuka dan siap menerima perbedaan dalam menjalankan amaliyah badahnya, untuk saling mengenali dan meningkatkan khazanah ilmu keislaman sebagai dasar cara beragama yang maju dan moderat. Allah Swt berfiman: “walau sya’allahu laj’alakum ummatan wahidan walakin yudhillu mayyasya’ wayhdi mayyasya’ walatus’alunna amma kuntum ta’malun” artinya “dan jika Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Dia menyesatkan apa yang Dia kehendaki dan memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.
Tetapi kamu pasti akan ditanya tentang apa yang telak kamu kerjakan.” (QS. an-Nahl [16]: 93). Dalam ayat lain Allah juga berfirman: “Yaa ayyunannas, Inna Kholaqnaakum min dzakarin wa unsaa waj’alnaakum syu’uuban waqobaa’ila lita’aarofu inna akromakum ‘indallahi atqaakum innallah ‘aliimun khobiir.” Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (QS. al-Hujuraat [49]: 13)
“Wakadalika ja’alnaakum ummatan wasathan litakuunu syuhadaa’a ‘alannaasi wayakuuna ar-rasuulu ‘alaikum syahiidan, wamaa ja’alnaa al-qiblatallatii kunta alaiha illa lina’lama maiyyatabi’urrasuula mimmayyanqalibu ‘ala aqibaihi. Wain kaanat lakabiirotan illa ‘alaa alladzina hadallahu, wama kaanallaha liyudhii’a iimaanakum, Innallaha binnassi lara uufurrakhiim.” Artinya “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah [2]: 143).
Billahi taufiq wal hidayah
Wassalamu’alikum Wr. Wb