Umsida.ac.id – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh gugatan yang telah diajukan oleh pasangan calon presiden nomor urut 01, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar dan capres-cawapres nomor urut 03, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD. Hal tersebut disampaikan dalam sidang sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 di Gedung MK, Jakarta Pusat pada Senin, (22/04/2024). Hasil dari putusan tersebut juga telah diunggah di situs resmi Mahkamah Konstitusi.
Lihat juga: MK Perbolehkan Parpol Kampanye di Tempat Pendidikan, Pakar Hukum Umsida Beri Tanggapan
Menanggapi perselisihan Pilpres tersebut, dosen pakar hukum Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr Rifqi Ridlo Phahlevy SH MH menyampaikan tiga poin atas keputusan sengketa Pilpres yang telah diresmikan MK.
3 poin tanggapan sengketa Pilpres
“Berdasarkan pembacaan putusan MK kemarin, ada beberapa catatan penting yang harus diperhatikan dan dijadikan pelajaran untuk bangsa ini dalam berdemokrasi,” tuturnya.
Kedudukan PHPU
Poin pertama menurut dosen prodi Hukum yang akrab disapa Dr Rifqi ini, berpendapat bahwa MK melalui putusannya kemarin, telah menegaskan kedudukan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) dalam skema penegakan hukum Pemilu. PHPU merupakan tempat bagi para kontestan pemilu untuk mempersoalkan hasil Pemilu, bukan persoalan tentang proses Pemilu. MK memberi penegasan bahwa proses PHPU adalah bagian dan merupakan rangkaian dari sistem penyelesain sengketa Pemilu yang fokus pada hasil Pemilu.
“Adapun sengketa terkait proses Pemilu, termasuk terkait kecurangan yg dituduhkan oleh Pemohon, harusnya diselesaikan pada ruang penegakan hukum oleh Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu),” ucap kepala Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Umsida itu.
Sikap MK tersebut, sambungnya, merupakan bentuk konsistensi MK dengan putusannya pada perkara PHPU tahun 2019. Saat itu MK menolak penggunaan sengketa proses yang bersifat Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) sebagai objek PHPU.
Lihat juga: Pakar Umsida Tentang Putusan MK: Kedudukan Penggugat Hingga Angin Segar Pemimpin Muda
Tidak ada bukti pemohon yang meyakinkan
Yang kedua, Dr Rifqi menjelaskan bahwa dalam pertimbangan Mahkamah, dapat dilihat bahwa Pemohon dipandang gagal memberikan satu argumentasi yang memadai dalam membuktikan dalil yang diajukan di peradilan.
Hal itu juga menegaskan positioning MK dalam penanganan gugatan ini. Bahwa MK sejatinya masih mempertimbangkan kemungkinan untuk mengabulkan permohonan Pemohon jika dapat membuktikan secara meyakinkan dalil yang diajukan.
Ia melanjutkan, “Masalahnya, sebagian besar argumentasi yang diajukan pemohon tidak berdasarkan atas hukum. Artinya, tidak cukup memiliki causa verband dengan obyek perkara yang seharusnya terkait dengan hasil Pemilu,”.
Adanya dissenting opinion
Poin ketiga yang dikutip oleh pakar hukum Umsida tentang sengketa Pilpres 2024 merupakan topik yang mungkin cukup kontroversial, yaitu putusan MK ini mengandung adanya dissenting opinion (perbedaan pendapat hakim dengan hakim yang lain) oleh 3 orang hakimnya. Dari delapan hakim yang memutus perkara ini, tiga dari mereka yakni Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat.
Menurut Dr Rifqi, dissenting opinion yang diajukan oleh tiga hakim tersebut menggaransi hadirnya proses berhukum yang independen dan imparsial di dalam diri Mahkamah. Hadirnya dissenting oleh tiga hakim tersebut menegaskan adanya perspektif hukum yang berbeda dan dinamis dalam proses pembentukan putusan di MK.
Lihat juga: Menunggu Kebijaksanaan Mahkamah Konstitusi
“Kondisi ini (adanya dissenting opinion) memperlihatkan adanya konsistensi sikap dan positioning beberapa hakim dalam proses kontestasi Pilpres. Sikap ketiga hakim tersebut adalah bentuk konsistensi mereka atas pandangan dan sikap hukum mereka pada perkara PUU No 90 Tahun 2023 lalu,” tutupnya.
Sumber: Dr Rifqi Ridlo Phahlevy SH MH
Penulis: Romadhona S.