Umsida.ac.id – Pemerintah Australia resmi membuat kebijakan “Right to Disconnect” atau hak untuk menolak memantau, membaca, atau merespons kontak atau upaya kontak dari atasan mereka atau pihak ketiga (misalnya, klien) di luar jam kerja.
Kebijakan ini mulai diterapkan pada Selasa, (26/8/2025) oleh Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese.
Lihat juga: Pengangguran Meningkat, Dosen Umsida Sebut 4 Pemberdayaan Masyarakat Ini Jadi Solusi
Kebijakan ini memberikan hak hukum kepada pekerja untuk menolak panggilan dan email kerja di luar jam kerja. Bahkan kebijakan ini juga berlaku pada karyawan di usaha kecil.
Dengan kebijakan “Right to Disconnect”, pekerja tidak boleh diberi sanksi ika secara wajar menolak perintah di luar jam kerja mereka.
Menanggapi kebijakan tersebut, dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Isna Fitria Agustina SSos MSi, menjelaskan bahwa UU dan peraturan di tempat kerja melindungi hak semua pekerja.
“Pemerintah memenuhi berbagai hak pekerja, mulai dari hak atas upah minimum, keselamatan tempat kerja, bebas diskriminasi, bebas perundungan dan pelecehan, pemberhentian yang tidak adil,” jelas dosen Prodi Administrasi Publik itu.
Di Australia, tambah Isna, “Right to Disconnect” merupakan perluasan dari UU ketenagakerjaan.
Dasar Hukum dan Penerapan
Ia mengungkapkan bahwa hak ini diatur dalam Fair Work Act 2009, sebagai bagian dari amandemen yang lebih besar yang dikenal dengan undang-undang “Closing Loopholes”.
Terkait waktu pemberlakuan, sebenarnya Australia sudah menerapkannya sejak tahun lalu, tepatnya untuk bisnis non-kecil yang memiliki 15 karyawan atau lebih.
Sedangkan bisnis kecil yang memiliki kurang dari 15 karyawan, menerapkan kebijakan ini mulai Agustus 2025.
Apa yang Diatur dalam “Right to Disconnect”?
- Hak Karyawan. Karyawan memiliki hak untuk menolak memantau, membaca, atau merespons kontak atau upaya kontak dari atasan mereka atau pihak ketiga (misalnya, klien) di luar jam kerja.
- Pengecualian “Tidak Wajar”: Hak ini tidak berlaku jika penolakan tersebut dianggap “tidak wajar” (unreasonable).
“UU ini tidak secara eksplisit melarang atasan untuk menghubungi karyawan di luar jam kerja. Sebaliknya, UU ini memberikan hak kepada karyawan untuk menolak kontak tersebut tanpa takut menerima hukuman atau tindakan yang merugikan,” terang Isna.
Manfaat “Right to Disconnect”

Dari kebijakan “Right to Disconnect”, ada beberapa manfaat yang dirasakan kedua pihak, dari pihak perusahaan dan karyawan.
Kepala Lembaga Kerjasama dan Urusan Internasional (LKUI) Umsida itu berpendapat bahwa kebijakan ini bisa menjawab tantangan kerja modern yang semakin kesini semakin kabur batasnya.
-
Mengakui Perubahan Lingkungan Kerja
Munculnya smartphone, laptop, dan aplikasi komunikasi seperti email serta Slack telah menciptakan “budaya selalu terhubung.”
“Karyawan seringkali merasa harus merespons pesan atau telepon dari atasan di luar jam kerja, bahkan saat sedang istirahat atau cuti,” kata dosen yang sedang mengenyam pendidikan doktor di Unair itu.
Pandemi Covid-19 mempercepat adopsi kerja jarak jauh, yang membuat batas antara kehidupan pribadi dan profesional semakin tipis.
Kebijakan ini, imbuhnya, mencoba mengembalikan batasan tersebut secara hukum.
-
Kesejahteraan dan Kesehatan Mental Karyawan
Tekanan untuk selalu standby dapat menyebabkan burnout (kelelahan fisik dan mental), stres, dan kecemasan.
Dari “Right to Disconnected” bisa memberikan dasar hukum bagi karyawan untuk memprioritaskan istirahat mereka tanpa takut akan konsekuensi negatif.
Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk menciptakan keseimbangan yang lebih sehat.
“Karyawan benar-benar memiliki waktu pribadi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas dan kepuasan kerja,” jelasnya.
-
Memberikan Kejelasan dan Perlindungan Hukum
Sebelum adanya UU ini, banyak karyawan yang mungkin merasa takut untuk tidak merespons panggilan atau pesan di luar jam kerja karena khawatir akan dipecat atau dilewati untuk promosi.
Kini, ada perlindungan hukum yang jelas, yang memungkinkan karyawan untuk menggunakan hak mereka tanpa rasa cemas.
Dengan adanya Fair Work Commission (FWC) sebagai pihak penengah, kebijakan ini menyediakan jalur formal untuk menyelesaikan perselisihan antara karyawan dan atasan.
“Ini memastikan bahwa hak tersebut tidak hanya ada di atas kertas, tetapi juga bisa ditegakkan,” tutur Isna.
Resiko Kebijakan

Meskipun dianggap langkah yang tepat, Isna mengungkapkan bahwa kebijakan ini juga memicu perdebatan.
Kebijakan ini dapat mengurangi fleksibilitas yang dibutuhkan oleh beberapa industri, seperti layanan darurat atau peran manajemen senior.
UU mencoba mengatasi hal ini dengan memasukkan klausul “pengecualian tidak wajar”, yang memungkinkan kontak di luar jam kerja jika situasinya memang mendesak.
Lihat juga: Dosen Umsida: Perguruan Tinggi Jadi Pemasok SDM Berkualitas untuk Atasi Pengangguran
“Ada kekhawatiran bahwa batasan yang terlalu ketat dapat menghambat kolaborasi dan respons cepat yang terkadang diperlukan, terutama dalam bisnis yang beroperasi secara global,” pungkasnya.
Penulis: Romadhona S.